Hai sahabat pembaca budiman!
Dari semenjak dahulu kala, peperangan Dewa/Malaikat dan Asura/Iblis tak pernah berhenti.
Sebagaimana tertulis dalam Epic Ramayana dan Mahabharata, peperangan antara Kebaikan dan Kejahatan, Dewa/Malaikat melawan angkara murka Asura/Iblis mewarnai semesta raya ini ribuan tahun silam.
Kini kita hidup di zaman modern, yang mana Dewa/Malaikat dan Asura/Iblis berperang di pikiran kita. Siapa yang berkuasa, maka ia berkuasa atas Ruh diri kita kelak.
Karena baik malaikat maupun Iblis, semuanya memiliki kemampuan mistis yang mampu memperkecil ukuran dirinya, dengan merubah wujud diri menjadi energi yang hadir pada pikiran kita. Hal ini dijelaskan dalam Al-Hadits:
Rasulullah S.A.W bersabda, “Sesungguhnya setan dan iblis menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan dan iblis itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (Muttafaqun ‘alaih. Hadits Riwayat Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175).
Malaikat menjadi energi positif, sementara iblis sebaliknya.
Malaikat akan merasa terbantu dalam peperangan di dalam pikiran kita, apabila kita senantiasa mengingat Nama Suci Tuhan sesuai keyakinannya, baik dilisankan atau didawamkan dalam hati. Dan juga sangat terbantu jika kita menghindari konsumsi daging-dagingan juga minuman keras, dan makanan juga minuman yang dilarang oleh agama.
Mengapa daging-dagingan berpotensi mereduksi kesadaran? Karena pembawaan sifat hewani pada daging yang mempengaruhi pola pikir kita. Walau sejatinya daging yang dihalalkan dalam ajaran Islam, itu baik untuk daya kritis pengonsumsinya sehingga kesempatan untuk muhasabah/introspeksi di masa dewasa kemungkinan besar terjadi.
Sebaliknya Iblis akan merasa terbantu jika kita tidak mengingat Nama Suci Tuhan, bahkan dengan rakusnya makan daging-dagingan secara berlebihan, juga mengonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan oleh agama.
Iblis berupa ego palsu dalam diri kita, sementara Malaikat berupa Kecerdasan dalam diri kita.
Kecerdasan pikiran kita mengantarkan diri manusia pada kemujuran dan keberuntungan. Dengan cerdasnya manusia melalui pikirannya menghindari segala ikatan duniawi yang menyengsarakan. Maka hidupnya dipenuhi kesederhanaan, sikap penuh kesalehan dan selalu terjaga dari segala kesalahan fatal yang kelak membuatnya putus asa.
Sementara ego palsu pada pikiran kita mengantarkan diri kita pada keputusasaan dan kemalangan. Ego palsu membuat manusia selalu berpikiran hedonistik dan materialistik, selalu mengejar pemenuhan syahwat, melanggar norma, hingga akhirnya rugi sendiri karena kesalahan fatal yang diperbuat dirinya sendiri.