Mohon tunggu...
Syaifullah Aji Trianto
Syaifullah Aji Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - WNI

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Drama Tragis Hamlet dan Psikoanalisis

2 Februari 2017   09:44 Diperbarui: 2 Februari 2017   11:33 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://legalmosaic.com

Melalui psikoanalisa, Sigmund Freud mencoba menyingkap misteri tersebut dengan konsep Oedipus Complex yang ia usulkan. Yang kurang lebihnya konsep tersebut menjelaskan tentang suatu tahap psikoseksual yang berkembang sejak masa anak-anak. Di mana pada tahap tersebut, seorang anak memiliki hasrat untuk cenderung menyukai orang tua mereka dengan jenis kelamin berbeda. Sesuai dengan nama konsep tersebut, Oedipus sendiri merupakan sosok fiktif dari Yunani yang dikisahkan telah membunuh ayah kandungnya sendiri demi dapat menikahi ibunya.

Terkait dengan kasus bimbangnya Hamlet ini, Freud memberikan pendapatnya. Bahwasanya, selama ini Hamlet memiliki keinginan yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya, ialah keinginan untuk dapat menikah dengan ibunya, Ratu Gertrude. Dan sosok ayah bagi Hamlet menjadi penghalang untuk dapat melakukan tindakan demikian. Dan secara tidak langsung, dalam alam bawah sadarnya, Hamlet sebenarnya memiliki keinginan untuk menyingkirkan ayahnya. Yang sampai pada akhirnya, terjadilah peristiwa pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan oleh paman Hamlet sendiri, Claudius. Dan pamannya itu pun akhirnya menikahi ibunya, Ratu Gertrude. Antara sadar dan tidak sadar, Hamlet merasa disatu sisi tindakan pamannya tersebut telah mencerminkan keinginan terpendamnya selama ini. Dalam hal ini, Hamlet akan memilih untuk tetap menjalankan hidupnya (to be) dan menyerah pasrah menerima keadaan yang ada.

Namun di sisi lain, Hamlet juga merasa tidak senang dengan Claudius karena telah membunuh ayahnya dan menikah dengan ibunya. Untuk yang terakhir inilah, Hamlet akhirnya mampu dengan berani melawan keadaan dan berhasil membunuh pamannya dan sadar dengan konsekuensi bahwa dirinya juga akan mati (not to be).

Kontra antara keinginan sadar dan tidak sadarnya itu pula yang sempat menyebabkan Hamlet lumpuh. Dalam psikoanalisis gangguan ini disebabkan karena histeria yang termasuk dalam kategori gejala neurosis. Sederhananya, terganggunya organ atau anggota fisik seseorang, seperti lumpuh atau bahkan buta, terdapat kemungkinan bahwa gangguan fisik tersebut bisa diakibatkan karena faktor kondisi kejiwaan orang itu sendiri.

Terakhir, bagi anda yang sudah membaca novel karya Jed Rubenfeld tersebut, mungkin telah menemukan jawaban alternatif lain terkait sikap bimbangnya Hamlet yang misterius itu. Sebenarnya terdapat dua jawaban alternatif yang lain, tapi saya tidak akan membahasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun