"Kapan Megengan?"
Begitu pertanyaan ibu-ibu yang sedang belanja di mlijo depan rumah. Megengan atau punggahan adalah tradisi selamatan dan nyekar ke makam ketika mau mengawali puasa.
Biasanya kalau megengan atau punggahan tradisi di kampungku berkenduri gantian ke rumah-rumah. Sudah dibagi per kelompok antara 10-12 keluarga. Untuk menghindari membludaknya makanan di rumah dan sia-sia karena tak termakan.
Bayangkan kalau misalnya ditempatku ada 12 keluarga. Masak untuk selamatan berarti 12. Nah nanti setiap keluarga pasti akan dapat berkat (makanan 12 jenis sudah siap makan) nah kalau keluarganya sedikit tak kan habis.
Begitulah hidup di desa kompak. Dan selalu ingin memberi itu budaya orang di tempatku bila dengan tetangga. Jangankan megengan, setiap hari saja bila sedang memiliki sesuatu sering dibagi dengan tetangga. Tak ayal untuk kehidupan sehari-hari rukun dan saling memberi masakan atau makanan.
Kembali ke acara megengan atau punggahan. Menu jajan yang harus ada apem. Masak apa saja pasti ada apem minim 2 biji. Menurut tokoh masyarakat itu sebagai tanda akan datangnya bulan penuh berkah dan ampunan.
Meski puasanya bareng, tapi selamatan megengan tidak bareng. Yang mengikuti hitungan rukyah biasanya mendahului. Ada yang ikut adat jawa biasanya besuknya. Namun ini tidak menjadi masalah. Bahkan bisa diterima sebagai rizki yang berlanjut.
Selamatan megengan tidak hanya diberikan pada warga muslim. Tapi tidak pandang bulu. Toleransi dan persaudaraan ditempatku sangat tinggi. Alhamdulillah. Ketika saat natal atau hari raya hindu, di rumah kami yang muslim juga penuh hantaran makanan dari saudara yang merayakan. Jadi tak heran jika megengan dan lebaran kami juga berbagi kebahagiaan dengan saudara yang beragama lain. Kalau masalah ibadah kami tetap saling menghargai perbedaan.
Sebelum acara selamatan biasanya kami akan nyekar (berdoa untuk leluhur di makam masing-masing). Ini sebagai bentuk kasih sayang terhadap keluarga, penghormatan dan selalu mendoakan meski telah kembali ke alam barzah (alam kubur).