Mohon tunggu...
Ria Juliana
Ria Juliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengatasi Stres dan Kecemasan di Tengah Kesibukan Mahasiswa

18 Maret 2024   19:08 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:42 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Stres dan kecemasan bukanlah hal yang tabu diperbincangkan dalam dunia perkuliahan. Kesibukan Mahasiswa yang tak lepas dari tugas ditambah faktor eksternal yang mungkin saja terjadi sehari-sehari dapat meningkatkan kecemasan pada seseorang apabila tidak dapat memanajemen hal tersebut. Faktor eksternal yang ditemui mahasiswa dapat muncul baik dalam ruang lingkup pertemanan maupun keluarga. Tingkat stres dan kecemasan yang berlarut-larut tanpa adanya batasan dari seseorang dalam mengelola hal tersebut akan berdampak buruk bagi kesehatan jasmani dan rohani seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, edukasi akan adanya stress dan kecemasan sangat perlu dilakukan mengingat banyaknya dampak buruk yang dapat terjadi bahkan dalam beberapa kasus hal ini beresiko pada kematian karena bunuh diri.

 Kecemasan adalah perasaan seseorang yang muncul akibat dari sebuah tekanan, perasaan ini ditandai dengan kekhawatiran, ketakutan, dan cara berpikir yang berlebihan akan suatu hal. Kecemasan pada mahasiswa dapat terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Menurut Santrock, 2011 (dalam Aninda Cahya Savitri & Luh Indah Desira Swandi, 2023) mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya akan mencoba membangun struktur kehidupan mereka sendiri. Mahasiswa harus melalui fase penyesuaian terhadap lingkungan perguruan tinggi saat mereka berada di tahap perkembangan dewasa awal. Kesehatan mental seseorang tentunya tidak terpengaruh secara langsung oleh proses penyesuaian ini. Faktor utama yang menyebabkan masalah ini ialah ketidakmampuan mahasiswa untuk beradaptasi dengan dunia perkuliahan dan menyebabkan kecemasan sebagai salah satu penyakit kesehatan mental yang banyak digandrungi ole mahasiswa.

 Sebagian orang mungkin mengangggap bahwa perkuliahan merupakan masa kebebasan, bersenang-senang tanpa terikat dengan tanggung jawab yang tinggi. Akan tetapi, dibalik itu semua mahasiswa menyimpan penuh tekanan yang terkadang tidak dapat mereka sampaikan pada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan dalam hal komunikasi juga dapat memengaruhi tingat kecemasan pada seseorang. Secara umum terdapat dua tekanan yang kerap dirasakan oleh mahasiswa yakni tekanan akademik dan tekanan sosial. Tekanan akademik merupakan tekanan yang berkaitan dengan kewajiban utama seorang mahasiswa yaitu dalam bidang pembelajaran, baik itu dari tugas-tugas yang diberikan dosen, ujian, dan beberapa proyek yang seringkali datang dalam waktu yang bersamaan dapat menambah tingkatan stress mahasiswa. Tidak hanya itu beberapa orang yang mungkin memiliki kepribadian prefeksionis akan mendapatkan stress yang lebih tinggi dari mahasiswa lain apabila sesuatu yang dia kerjakan tidak dapat memenuhi ekspektasi, ditambah lagi beban dari harapan-harapan lingkungan sekitar seperti keluarga juga kerap memicu stress. Selanjutnya faktor sosial pun tak kalah penting perannya dalam memperkeruh stress pada mahasiswa, adanya adaptasi terhadap dunia perkuliahan seperti hubungan mahsiswa dalam pertemanannya atau dengan para dosen memiliki tantangan tersendiri bagi setiap orang, terkhusus bagi seseorang yang cenderung introvert atau memiliki kesulitan dalam bersosialisasi memungkinkan orang tesebut semakin terpuruk dalam dunianya. Beban yang semakin bertumpuk tanpa keberdayaan untuk menceritakannya pada orang terdekat menjadikan stress seseorang semakin tinggi.

Menurut (Ambarwati et al., n.d.) stres dapat disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, dan keadaan sosial yang tidak terkontrol. Studi tentang prevalensi stres yang dilakukan oleh Health and Safety Executive di Inggris dari tahun 2013-2014 melibatkan 487.000 orang di Inggris yang masih produktif, menunjukkan bahwa hampir 350 juta orang di seluruh dunia mengalami stres, yang merupakan penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia menurut WHO. Data menunjukkan bahwa tingkat kejadian stres lebih tinggi pada wanita (54,62%) daripada pria (45,38%). Sedangkan pada beberapa universitas di seluruh dunia, penelitian telah dilakukan mengenai tingkat stres mahasiswa berdasarkan fakultas mereka. Jumlah siswa yang mengalami stres di seluruh dunia adalah 38--71%, sedangkan di Asia adalah 39,6-61,3% (Habeeb 2010, Koochaki 2009). Di Indonesia sendiri, jumlah siswa yang mengalami stres adalah 36,7- 71,6%. Dari tingginya data tersebut perlu dilakukan tindakan lebih lanjut baik dalam bidang edukasi maupun praktik untuk memanajemen tingkat kecemasan.

Terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan mahasiswa dalam mengelola stress diantaranya adalah :

1.Healing

Menurut Abraham et al., 2013 (dalam Amsyiah et al., n.d.) Asal istilah healing berasal dari ilmu psikologi yang berarti penyembuh atau menyembuhkan, karena sering disejajarkan dengan kata al-Syifa' yang bermakna pengobatan. Kata healing merupakan suatu yang sangat umum diperbincangkan dalam ruang lingkup generasi muda masa kini atau seing disebut Gen Z. Healing merupakan salah satu alternatif yang paling efektif dilakukan utnuk menghilangkan rasa penat, mengalihkan pikiran dari sesuatu yang memberatkan, atau hanya sekedar untuk beristirahat dari kebisingan yang ada di lingkungan sekitar. Bahkan healing saaat ini telah menjadi trend yang banyak dilakukan setiap orang, beberapa musik yang menduduki tingkat pertama pun membahas tentang hal ini. Tentunya healing merupakan suatu kegiatan positif yang sangat direkomendasikan untuk menghilangkan kecemasan dan stress di kalangan mahasiswa.

2.Olahraga

Menurut (Andalasari & Berbudi, n.d.) mengemukakan bahwa olahraga dapat membantu mengurangi kecemasan, depresi, dan stres. Kemungkinan menderita masalah kesehatan mental berkurang jika olahraga dilakukan dengan lebih sering. Hormon tertentu, yang meningkatkan suasana hati dan membuat tubuh lebih rileks, dihasilkan oleh tubuh saat melakukan aktivitas fisik. Selain itu, kualitas tidur seseorang akan meningkat. Dalam beberapa kasus olahraga juga membantu dalam akademik.

3.Thought Stopping

Menurut Sutriyani, 2020 ( dalam Aninda Cahya Savitri & Luh Indah Desira Swandi, 2023) Joseph Wolpe menjelaskan thought stopping sebagai cara untuk memperbaiki pikiran negatif yang dapat merusak dirinya dengan mengatakan "STOP" dan menggunakan pikiran positif untuk memperbaikinya. Dapat disimpulkan bahwa pemikiran positif yang sering kali dinomor duakan sebenarnya memiliki dampak yang besar terhadap pemikiran seseorang yang berpengaruh pada kesehatan mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun