Mohon tunggu...
Fransiska Ria Aninda
Fransiska Ria Aninda Mohon Tunggu... -

Salah satu warga Jogja yang doyan wisata kuliner, bersepeda, baca buku, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Identitas Agama, Masih Relevankah?

19 Desember 2011   09:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan November lalu, kedua orang tua, adik, dan saya mengikuti serangkaian proses pembuatan E-KTP di kecamatan tempat kami tinggal. Masing-masing Rukun Tetangga (RT) disediakan waktu kurang lebih sekitar satu jam. Kami tiba di kecamatan pukul 10.30 WIB.

Sesampai disana, kami berjumpa dengan beberapa tetangga yang masih menunggu antrian. Prosedur pertama kami diminta menyerahkan KTP lama ke meja registrasi untuk diberikan nomor urut. Setelah mendapat nomor urut, kami mengantri untuk diproses dan difoto. Saya sudah tidak kaget lagi karena sesampai disana, di meja registrasi tidak terlihat satu pun petugas yang berjaga. Padahal di meja tersebut tertera tulisan bahwa waktu istirahat petugas program E-KTP dari jam 12.00-13.00. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 10.30. Kemana mereka? Belum waktunya istirahat kok sudah menghilang. Nah, lho.

Akhirnya setelah menunggu kurang lebih 15 menit, petugas registrasi kembali sambil mengelap mulutnya dengan saputangan, sepertinya menunjukkan baru saja menenggak minuman atau menyantap makanan bukan?

Selesai proses registrasi, kami menunggu di depan salah satu ruangan untuk menjalani proses selanjutnya. Saya mendapat urutan nomor 139. Lumayan, menunggu sekitar 30 nomor lagi. Selama menunggu giliran, saya mengamati banyak hal yang terjadi di sekitar saya.

Tempat dimana saya duduk dan menunggu antrian tidak jauh dari ruang pemrosesan E-KTP, sehingga saya bisa mendengar semua percakapan yang terjadi di ruangan itu. Ternyata, banyak penduduk yang tidak mengetahui kapan tepatnya dia lahir, terutama orang-orang tua dan lansia yang belum melek literasi. Patokan dalam menentukan tanggal lahir mereka adalah kejadian alam seperti gunung meletus atau bahkan ketika perang melawan Jepang dan  ketika masa PKI berlangsung. Jujur, saya geli sekaligus memaklumi kalau mereka tidak mengetahui secara tepat kapan mereka lahir.

Segala macam hal bisa menjadi obrolan di dalam ruangan itu. Bahkan hal yang merupakan ranah pribadi seperti masalah dapur dan utang pun bisa diperbincangkan sehingga alokasi waktu per orang yang hanya 5 menit diproses bisa melantur sampai 10 hingga 15 menit.

Suasana di luar ruangan pun tak kalah menarik untuk diamati. Saya kasihan melihat seorang kakek yang ikut mengantri. Setiap kali petugas menyebutkan urutan peserta, kakek itu terlihat bingung dan selalu bertanya kepada orang yang bisa ditanya. Kakek itu ternyata tidak bisa membaca nomor urut yang dibawanya. Dia menggenggam erat nomor itu sembari berharap cemas nomornya akan dipanggil. Orang yang ditanyai kakek itu pun rata-rata cuma menjawab seadanya saja, seperti “Isih suwi kuwi” (Masih lama itu).

Sesampai di dalam, kakek itu diminta untuk menyerahkan surat dari RT masing-masing. Tetapi kelihatannya kakek itu tidak tahu perihal surat yang dimaksud. Untung saja, ada salah satu sanak saudara yang membantunya. Sama seperti kebanyakan penduduk lansia yang sudah saya ceritakan tadi, ketika ditanya kapan dia lahir, kakek itu hanya mengatakan lahir pada saat gunung meletus. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan bagi petugas E-KTP. Entahlah apa yang mereka lakukan untuk memanipulasi data itu.

Selain melihat kakek yang kebingungan tadi, saya mengamati perilaku beberapa pegawai di kecamatan tersebut. Kebetulan tempat saya mengantri bersebelahan dengan ruangan pegawai kecamatan yang lain. Ada tiga orang pegawai dalam ruangan itu dan semuanya perempuan. Dari ketiga pegawai itu ada yang bermain handphone, ada yang sedang berdandan, dan ada juga yang sekedar melamun tanpa melakukan kegiatan apa pun. Saya jadi bertanya, mereka digaji untuk apa?

Saya prihatin melihat kondisi itu. Kenapa mereka tidak punya inisiatif untuk melayani penduduk seperti para lansia yang kebanyakan belum melek huruf tadi? Bisa juga membantu penduduk difabel yang mengalami keterbatasan fisik sehingga perlu bantuan. Atau mungkin mereka merasa itu bukan bagian dari tanggungjawab mereka.Yah, apalah alasannya, menurut saya mereka kurang peka terhadap situasi yang ada.

Sampailah pada giliran saya. Saya dipersilakan duduk. Di belakang saya sudah terpasang backdrop warna biru tua. Jari tangan dan kedua mata saya dipindai, lalu saya difoto. Kemudian identitas pribadi saya dibacakan untuk kepentingan pengecekan. Tenyata, agama masih ditanyakan ya? Saya berharap unsur agama tidak perlu dimunculkan dalam KTP, cukup disimpan dan disembunyikan saja. Buat saya, memunculkan afiliasi terhadap agama tertentu di dalam KTP hanya akan menimbulkan pengkotak-kotakan saja.

Negara ini memang menjamin adanya kebebasan agama. Tetapi nyatanya masih banyak di luar sana tindakan semena-mena terhadap penganut agama lain terlebih kelompok minoritas. Agama itu memiliki dua sisi. Sisi baik agama bagi saya adalah sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan. Sisi buruknya adalah ketika agama dijadikan alat pembenaran terhadap sesuatu hal yang bisa merugikan orang lain.

Saya juga masih menjumpai beberapa kejadian ketika terjadi kecelakaan orang enggan menolong karena korban memiliki agama yang berbeda. Buat saya kita semua sama, yang membedakan adalah identitas kita. Jangan sampai karena identitas berbeda, lantas menimbulkan hal yang tidak diinginkan. Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun