Pada era JKN saat ini Puskesmas menjadi ujung tombak dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Puskesmas diharapkan menjadi gate keeper agar rumah sakit tidak menjadi puskesmas raksasa. Namun saat ini masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap puskesmas. Tidak bisa dipungkiri, masih banyak permasalahan yang terjadi di Puskesmas. Jumlah pasien yang membludak setiap hari, baik untuk berobat maupun hanya untuk meminta rujukan mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat petugas kesehatan menjadi lelah, belum lagi menghadapi pasien dengan berbagai karakter.
Ada tipikal pasien yang hampir setiap saat datang ke puskesmas walaupun belum waktunya kontrol dengan alasan karena merasa sudah membayar (menjadi peserta JKN). Dokter tidak mempunyai cukup waktu untuk memeriksa pasien dengan detil akibat antrian tersebut, pelayanan dari tenaga kesehatan di puskesmas yang dianggap kurang ramah ditambah dengan kondisi sarana prasarana, peralatan dan obat-obatan yang ada di Puskesmas belum memadai, serta ketidakmerataan tunjangan yang didapat untuk pegawai medis dan non medis menambah daftar permasalahan di puskesmas.
Puskesmas seakan – akan hanya berfokus pada pengobatan perorangan dan mengabaikan upaya preventif dan promotif sebagai upaya kesehatan masyarakat. Dengan kondisi seperti itu pelayanan prima seakan menjadi jauh api dari panggang.
Salah satu upaya penguatan fasilitas kesehatan primer yang sedang diwacanakan pemerintah saat ini adalah Dokter Layanan Primer (DLP). Wacana ini menjadi perbincangan hangat dan menjadi kontroversi di kalangan dokter. Apa sebenarnya DLP? Staf Khusus Menteri Bidang Peningkatan Pelayanan Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U (K) menjelaskan, DLP adalah dokter spesialis di bidang generalis yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip ilmu kedokteran keluarga, ditunjang dengan ilmu kedokteran komunitas dan ilmu kesehatan masyarakat dan mampu memimpin maupun menyelenggarakan pelayanan kesehatan primer.
Dengan kata lain DLP bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan kompetensi dokter yang memberikan pelayanan kesehatan di tingkat pertama dengan pengakuan dan penghargaan setara dengan dokter spesialis. Pengakuan setara dengan dokter spesialis diperlukan sebagai alternatif jenjang karir bagi dokter.
Peran DLP dalam pelaksanaan JKN menjadi sangat penting karena berkaitan dengan 155 penyakit yang tidak boleh dirujuk ke rumah sakit namun membutuhkan kompetensi yang lebih. Di negara-negara maju DLP disetarakan dengan dokter spesialis, sedangkan di Indonesia posisinya akan berada diantara dokter umum dan dokter spesialis.
Sebagai organisasi profesi yang menaungi seluruh dokter di Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak adanya DLP. DLP akan memberatkan calon dokter dan dianggap merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum yang sudah melayani di layanan primer. Selain itu ‎IDI menganggap, DLP akan sulit berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana, peralatan di fasilitas kesehatan, termasuk langkanya dosen Kedokteran di beberapa daerah terpencil.
Pengurus Pusat Himpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) telah mengajukan uji materi UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, namun Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan uji materi tersebut. Ini berarti, Fakultas Kedokteran wajib menyelenggarakan program DLP. Permasalahan lain, penerapan DLP harus benar-benar perlu diperhatikan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk seorang dokter menjalankan pendidikan tersebut.
Dokter dituntut untuk mengabdi di masyarakat dan terikat dengan kedinasan, namun disisi lain harus mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti pendidikan DLP 2 tahun. Kemampuan dokter untuk melakukan manajemen waktu harus benar-benar dipersiapkan agar tujuan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di tingkat primer tidak harus mengorbankan masyarakat.
Kompleksnya permasalahan di fasilitas kesehatan primer khususnya puskesmas memerlukan pemecahan masalah yang tepat. Prioritas saat ini adalah bagaimana puskesmas yang menjadi tumpuan harapan masyarakat bisa menjadi tempat pelayanan kesehatan yang nyaman. Masyarakat dari segala lapisan percaya dengan puskesmas, baik dari segi kemampuan dokternya, keramahan petugasnya, kelengkapan sarana prasarana penunjangnya serta kenyamanan lainnya, sehingga puskesmas tidak lagi dipandang sebelah mata.
Manajemen SDM di puskesmas menjadi sangat penting agar pelayanan prima tidak menjadi sekedar impian pasien puskesmas. Reward dan punishment yang jelas perlu dipertimbangkan untuk menjaga profesionalisme tenaga kesehatan di puskesmas. Pendekatan dan komunikasi yang baik terhadap pasien agar pasien mengerti dan memahami kondisi kesehatannya sangat penting diterapkan untuk mencapai kepuasan pasien.