Sengaja kutulis catatan perjalanan ini, agar keserederhanaan kisah hidup ini tidak hanya terkenang di dalam hati dan sirna seiring melemahnya ingatan, usia dan tulang belulang yang akan mati. Kukisahkan saja agar bisa sedikit menginspirasi.
Sore itu 23 November 2017, di tengah rintiknya hujan Jogja yang semu-semu mengguyur, kami bersiap untuk memulai projek follow up Bromo. Setelah persiapan yang matang, gonta-ganti proposal, perkelanaan mencari sponsorship, rapat dan koordinasi yang berkali-kali dan tentunya uji materi, dengan segelintir relawan yang sempat beberapa kali rombak formasi, kami memutuskan untuk pergi dan meniti projek pertama bagi kami relawan baru di komunitas ini. Dari terminal giwangan, bus kami melaju sekitar pukul lima sore.Â
Terlihat ekspresi kami ada yang begitu antusias untuk melakukan perjalanan ini, karena sudah terbiasa mendaki gunung. Ada yang harap-harap cemas karena mungkin ini adalah perjalanan pertamanya ke gunung. Ekspresi agak cemas salah satunya tergambar nyata diwajahku, karena memang ini adalah perjalanan pertamaku untuk mendaki gunung.Â
Perjalanan ini akan cukup panjang, karena bus kami harus melaju dan membelah wilayah DIY menuju ke Probolinggo, Jawa Timur. Estimasi perkiraan sampai adalah sekitar pukul empat pagi. Namun, ternyata kami baru tiba di Probolinggo pukul enam pagi.Â
Sesampainya di terminal Probolinggo, kami beristirahat di warung untuk sekedar minum teh hangat dan sarapan guna meredakan goncangan-goncangan selama perjalanan. Sambil menunggu teman kami yang sedang melakukan negosiasi mencari mobil engkel yang akan membawa kami menuju gunung Bromo.
Dengan mobil engkel yang berbodikan warna pucat kemerahan, kami bertandang menuju ke penginapan kami di desa Ngadirejo, Bromo. Udara pagi gunung Bromo nan segar seakan tak segan masuk ke mobil engkel kami, karena kaca mobil engkel ini terbuka lebar tanpa AC, membuat pemandangan berikut udara di Gunung Bromo ini terlihat dan terasa tak basa-basi. Lembah, bukit, lereng dan relief gunung dari kaki gunung Bromo hingga setengah ketinggian gunung ini dengan ramah memanjakan mata kami dengan keindahan.
Terlihat mereka sedang bersiap untuk melakukan aktivitasnya di pagi hari, ada yang sedang menaiki motor menuju kota, ada yang mencangkul ladangnya dan menabur pupuk. Terlihat pula beberapa warga yang memikul karung hasil panen dari ladang mereka. Sungguh inilah warisan kearifan lokal dari tuhan untuk Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan. Â
Rumah yang akan kami tempati ada sekitar empat rumah dengan jumlah kami yang akan disebar sekitar 4-5 orang setiap rumah. Rumah pak Mun inilah yang dulu ditempati oleh relawan komunitas kami saat erupsi gunung Bromo tahun 2011.Â
Saat itu relawan dari komunitas kami membantu desa Ngadirejo ini terutama di bidang pendidikan pasca erupsi. Diantaranya membantu membangun kembali sekolah yang rusak, memberikan pengajaran bagi anak-anak dan melakukan trauma healing bagi anak-anak. Kami juga disuguhi dengan sarapan pagi yang tak kalah nikmat dengan minuman teh diawal.Â