Menu yang dihidangkan memang sederhana yaitu mie rebus, tempe goreng dan telur dadar, tapi terasa mantap untuk mengganjal perut-perut kami dan menambah sedikit jaringan lipid yang nanti muaranya akan dibakar sebagai energi agar kami bisa bercengkrama akrab dengan dinginnya gunung Bromo.
Terlihat dikejauhan para dewa-dewi dengan ikatan sarung dipundak sudah sibuk bertani. Dengan hubungan yang sebelumnya telah terjalin, kami dengan mudah melakukan ramah tamah saat sosialisasi, bahkan ada beberapa yang menawari untuk bertandang kerumah mereka.Â
Sapaan dari ranumnya kehijaun sayuran tomat, daun bawang, seledri, kol, wortel, buncis dan jagung serta hamparan tanah berwarna hitam legam yang kaya humus dan jajaran pure-pure yang menawarkan kedamaian dan dinginnya udara Bromo yang belum bertali dengan matahari seakan berselimut hangat dengan keramahan dewa-dewi bersarung ini (warga suku Tengger).
Anak-anak di desa ini memiliki wajah yang kemerahan seperti tomat ranum yang siap dipanen, hematku rona merah dipipi ini adalah salah satu bentuk adaptasi kulit terhadap lingkungan yang bersuhu rendah. Kami juga sempat melakukan diskusi kecil dengan guru-guru di SD Ngadirejo ini mengenai persiapan yang harus dilakukan untuk projek esok hari.Â
Beberapa guru di desa ini juga ternyata seorang muslim karena menggunakan hijab, sebelumnya kukira di Bromo ini semua penganut Hindu, tapi setelah dikonfirmasi ada juga yang beragama muslim, kristen dan katholik.
Aku dan keempat temanku ditempatkan di rumah bu Ika. Bu ika adalah tipikal pribadi yang ramah, beliau langsung menyapa kami ketika kami tiba dirumahnya, seduhan teh hangat berwarna kemerahan khas Bromo kembali menyapa dinginnya tubuh kami. Seperti suku tengger umumnya, keluarga bu Ika juga mengenakan sarung di pundak.Â
Bu ika tinggal dengan dua anaknya, suami dan ibu mertuanya yang kami sapa dengan sebutan embah. Bu ika, anak serta ibu mertuanya menurutku menyimpan kecantikan khas suku tengger, tampak cantik meskipun tanpa make up, dengan alis tebal seperti semut beriring, hidung bangir, mata berbinar dan bibir yang selalu menyunggingkan senyuman.Â
Terpasang di ruang tamu bu Ika gambar dewa-dewi hindu yang tak ku paham namanya satu persatu. Seolah sedang berada di Eropa, udara di Bromo ini dingin sekali, setiap setelah kembali dari toilet atau bersentuhan dengan air kami segera ke ruang tengah rumah bu Ika untuk menghangatkan diri dengan tungku sambil mengobrol dengan keluarga bu Ika. Bu ika berbicara dengan anggota keluarganya menggunakan bahasa Jawa tengger yang tidak kami mengerti, bahasa jawa ini sedikit berbeda dengan bahasa Jawa yang biasanya kami temui di Jogjakarta.