Matahari musim semi menyapa kehadiran kami yang masih terpana di tengah kota Minamisanriku, Provinsi Miyagi yang rata dengan tanah. Puing bangunan dan bangkai mobil masih seperti keadaan aslinya. Genangan air sisa keganasan tsunami 11 Maret lalu terdapat di sana-sini. Hati terasa tergigit. Sakit.
(Sahabat, semoga engkau tenang di sana. Kehadiran kami di sini tak ingin mengusikmu. Kami hanya ingin mengobati luka yang ada di hati kerabatmu yang masih tertinggal di sini, di Hinanjo (Pengungsian) Shidzukawa Shogakko, Minamisanriku-cho. Kami racik soto bandung dan nasi goreng. Dengan penuh harapan, hati kita kan saling bertaut bahwa kerabatmu tidaklah sendirian.)
Hati ini demikian sakitnya. Tangan saya bergetar merekam sudut-sudut kepahitan. Mulut diam tak bicara. Akhirnya tangan ini tak kuasa menggenggam kamera, begitu lemah menahan sakit yang menjalar dari dada ke tenggorokan. Air mata menetes. Satu-satu.
Mobil perlahan menaiki bukit. Jejak tsunami masih saja terlihat di kanan kiri kami. Betapa dahsyatnya tanggal 11 itu. Air laut meluap hingga ketinggian lebih dari 20 meter. Tatkala mobil terparkir dan kami turun, sejauh mata memandang hanyalah jejak kesedihan. Angin laut berdesir tak henti menyanyikan sebuah elegi.
Hati yang risau ini segera terusir perlahan, perbekalan harus segera kami keluarkan. Di tengah rinyai hujan Sendai kami bergotong royong menurunkan 2 panci besar, panci-panci kecil, 3 kompor gas, 4 galon air bersih, bahan soto Bandung, dan jus buah dalam kemasan. Serta 200 paket buah tangan yang dikemas cantik berisi bumbu-bumbu dapur khas Jepang terdiri dari soyu (kecap Jepang), hondashi (penyedap masakan dari sari ikan), shokosho (campuran merica dan garam), miso (fermentasi kedelai), mayonaise, dan nori (rumput laut). Omiyage (buah tangan) itu kami imbuhkan kalimat penyemangat "Bersama kesulitan akan ada kemudahan".
Kami serentak tenggelam dalam tugas masing-masing. Merebus air, menyiapkan meja untuk makanan siap saji, meracik bahan-bahan soto ke dalam mangkuk. Malam minggu ini, Hinanjo Shidzukawa Shogakko akan menyantap hidangan istimewa. Soto Bandung.
Tenda dapur menjadi hangat. Karena ketiadaan aliran listrik, maka makan malam siap dihidangkan pukul 16.00. Wajah sumringah dan tanpa malu-malu untuk menambah 2 dan 3 kali menjadi kebahagiaan kami. "oishii (lezat)," kata mereka. Tak mencapai satu jam, 200 mangkuk Soto Bandung tandas. Ucapan arigatou dan senyum tulus para pengungsi kami simpan di dalam hati. Bahagia rasanya sudah berbagi.
Selimut malam merayap terbentang. Kami bergegas meninggalkan tempat. Hujan menjadi deras. Tiga mobil  beriringan menembus jalan tol. Dua jam perjalanan menuju Sendai. Teman-teman Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sendai siap menyambut kami untuk bermalam di asrama. Nasi putih menunggu diolah menjadi nasi goreng untuk sarapan esok.
Jarum jam sudah merambat pukul sepuluh malam. Kami empat wanita sibuk membuat 200 porsi nasi goreng. Kerupuk, telur ceplok, sosis goreng, dan irisan ketimun yang sebagian sudah disiapkan teman-teman PPI tidak ketinggalan. Menjelang subuh semua sudah siap. Aroma nasi goreng mengiringi kami melepas penat sejenak.
Takidashi (menyiapkan makanan) ini merupakan kali keempat. Sudah beberapa hinanjo yang menikmati masakan khas Indonesia. Aksi sosial ini mengatasnamakan Forkita (Forum Kajian Islam Tokyo dan sekitarnya), PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat), KMII Jepang ( Keluarga Masyarakat Islam Indonesia), FG Asmara (Family Gathering Assakinah Mawaddah Warahmah), Fahima (Forum Siaturahim Muslimah), FLP Jepang (Forum Lingkar Pena, KAMMI Jepang (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), IPTIJ (Ikatan Persaudaraan Trainee Jepang) dan Amir Malaysia (Organisasi Mahasiswa Malaysia).
Seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang berdiam di Jepang selama ini sangat giat berbagi ke berbagai hinanjo. Lebih dari seratus hinanjo yang tersebar di Provinsi Miyagi dan Iwate. Â Puluhan bendera organisasi berkibar di sana. Bencana Tohoku menghidupkan kembali pepatah di mana tanah dipijak di situlah langit dijunjung. Dompet Dhuafa Jepang, misalnya juga telah menyalurkan sejumlah toiletries, air minum dalam kemasan, sayuran dan buah-buahan ke beberapa hinanjo.
KBRI Tokyo sejak mula bencana pun telah menurunkan bantuan. DWP KBRI Tokyo (Dharma Wanita Persatuan) juga diam-diam bergiat bekerjasama dengan organisasi wanita Asia Pasifik. Bahkan untuk mendukung semangat teman-teman Jepang, PPI Jepang bekerjasama dengan KBRI Tokyo mempersembahkan videoklip yang menyentuh lewat "Story About You" yang bisa diunduh di youtube.
Finally, Minggu, 24 April pukul 07.30 pagi. Mata rasanya masih berat. Namun dikalahkan semangat demi menyambut senyum terimakasih teman-teman Jepang di hinanjo nanti. Tunggu kami, minna san (teman-teman).
Udara cerah. Hari kedua memasuki Minamisanriku. Tadaima! Saya datang! Pemandangan yang sama dengan hari kemarin menyambut kedatangan kami. Senyum saya kembangkan untuk semua jenazah yang tak tertemukan. Sekelumit doa dari hati berhembus tertiup angin.
Masih di Hinanjo Shizukawa Shogakko. Kompor segera dinyalakan. Wajan besar dan nasi goreng ditumpangkan. Tangan kekar  teman-teman pria beradu peluh mengaduk nasi goreng agar panas dihidangkan. Teng! Tepat pukul 11.00 minna san menyuap dengan lahap nasi goreng kami.  "Osenbe (kerupuk) udang ini kapan dimakannya?" Kami  tertegun mendengar pertanyaan itu. Oh, ya, ya ... "satu suap nasi satu gigitan kerupuk."
"Oh. Haik. Wakarimashita." (Oh. Baik. Mengerti)
Kami sama-sama membungkuk dan tersenyum simpul.
Di bawah siraman hangat mentari dan nasi goreng yang mengepul, kami beramai-ramai berfoto bersama. Senyum menebar bersama sejumlah pengungsi, tim kesehatan, tim kebersihan, semuanya tak terkecuali. Nikmat manalagikah yang engkau dustakan? Ya, sungguh terharu bisa memberikan senyum di tengah kesedihan.
Diam-diam di antara canda kecil kami, ada seorang petugas berbisik malu-malu meminta 4 porsi nasi goreng untuk dikirimkam kepada temannya di hinanjo lain. Kami tawarkan sepuluh porsi. Wanita petugas itu membungkuk lama, sangat berterimakasih. Namun kami sepakat membawa 20 porsi agar semua pengungsi di Hinanjo Shinomiyashou bisa menikmati nasi goreng yang sama.
Pemandangan sepanjang jalan menuju Hinanjo Shinomiyashou sungguh mengiris-iris. Angin laut kerap bertiup kencang seolah membawa tangisan. Kami lalui sebuah Rumah Sakit yang seluruh pasiennya tak terselamatkan. Gedung yang masih berdiri kokoh tersebut menjadi saksi bagaimana  seluruh pasiennya saat diumumkan akan ada tsunami dilarikan ke lantai tiga namun air laut melampaui ketinggian gedung.
Saya pun teringat cerita mengharukan yang tersebar di seluruh media, seorang wanita dengan pengeras suara memberitahukan kedatangan tsunami. Namun tatkala semua penduduk sibuk berlari ke atas bukit, suara wanita itu hilang bersamaan dengan luapan air laut.
Terlihat sebuah gedung berlantai tiga dengan tirai melambai-lambai tertiup angin. Berdiri angkuh sendirian di antara puing. Sosok jembatan kokoh yang terkulai. Rel kereta yang tinggal lagi separuh.
Gedung dan jembatan itu mengingatkan cerita anak-anak sekolah dasar di Ishinomaki masih di Provinsi Miyagi yang diselamatkan para gurunya ke sebuah jembatan yang diperkirakan ketinggiannya melebihi gedung sekolah. Namun murid-murid lucu itu yang diperkirakan berjumlah 60 orang beserta 10 gurunya tersapu hilang.
Walaupun potongan berita menyedihkan berkelebat-kelebat namun Minggu kemarin pantai yang kami lalui begitu tenang, Â indah dan cantik mempesona. Jangan. Jangan sampai perkiraan para ahli gempa di Jepang betul-betul menjadi kenyataan. Bahwa akan ada lagi gempa-gempa besar susulan dan tsunami. Sudah cukup sampai di sini.
Semoga doa dan harapan semua insan di seluruh dunia yang menginginkan Jepang kembali pulih dan nyaman segera terwujud. Dan saya percaya betul dengan kekuatan doa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H