Mohon tunggu...
Ria Riesdasariah
Ria Riesdasariah Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu rumahtangga. Menyukai jalan-jalan, fotografi dan tulis menulis.\r\nKata-kata yang disukai: tangguh dan lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bencana Tohoku: Diguncang Gempa 9.0 SR, Terseret Tsunami dan Selamat

5 April 2011   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak putusnya mereka berdoa agar ada wartawan datang. "Dan hari kedua ada orang Jepang dari kampung terdekat sudah mulai menjenguk kami. Kami senang sekali. Di hari ketiga dari KBRI sudah menjemput kami," tutur Rena dan kawan-kawan dengan raut bahagia. Perpisahan bersama pemilik perusahaan dan teman-teman di penampungan sementara itu sangat mengharukan, "Kami bertangisan, berpelukan dengan teman-teman di sana. Kami berat sekali berpisah dengan pemilik perusahaan. Rasanya seperti dengan orangtua sendiri. Mereka selalu mengingatkan kami, agar tidak bolos sekolah usai bekerja. Kami juga selalu diingatkan untuk pulang ke Indonesia membawa uang dan ilmu," tutur Rena berkaca-kaca.

Dan berjarak 300 km dari tempat Aji dan Rena berjuang dari kejaran tsunami, saya pun berjuang dari kekalutan didera gempa besar dua kali berturut-turut. Di sebuah daerah yang belum saya kenal, Kamata 45 menit dengan kereta dari tempat saya tinggal, Shinagawa.

Saat gempa datang, saya tengah asyik memilih buku hobby. Rak buku bergetar keras seolah-olah mau rubuh. Lampu gantung bergoyang-goyang. Bunyi gemerincing. Tanpa banyak kata, buku segera saya letakan di meja dan beranjak cepat mencari anak tangga. Ada seorang ibu tua berdiri di depan lift. Sempat saya ingatkan untuk tidak menggunakannya. "Earthquake. Lifito dame," ujar saya cepat. Namun ibu itu  tak memahami maksud saya yang menggunakan bahasa Inggris dan Nihon dicampuraduk. Alhasil ibu itu memandangi saya dan saya hanya mampu menunjuk-nunjuk anak tangga, "going down, please," tambah saya. Ibu ini masih memandangi saya dengan mimik tidak mengerti. Sementara itu saya terhuyung-huyung menuruni anak  tangga. Dan berada di luar gedung seorang diri!

(Ooo...ternyata aturan main di Jepang bila ada gempa adalah tetap berada di dalam gedung. Lindungi diri kepala Anda. Keluar tertib saat gempa sudah berhenti.)

Namun  kemudian beberapa pejalan kaki dan pengendara sepeda mulai berhenti di sekitar saya. Gedung-gedung tinggi yang mengelilingi  saya meliuk ke kiri dan ke kanan. Jalanan aspal seperti berombak. Belum lagi bunyi berderak-derak entah dari mana asalnya. Spontan saya bertasbih.

Iphone berkali-kali tidak bisa menghubungi nomor suami. Akhirnya saya segera melangkah ke arah stasiun. Namun justru orang berduyun-duyun meninggalkan stasiun. Rupanya kereta dihentikan sementara. Segera saya berbaris di antrian taksi. Yang dalam sekejap sudah mengular. Di tengah antrian itu kami semua tiba-tiba serempak mengucapkan "oooh..." rupanya gempa yang keras kembali datang. Air mata saya menetes satu-satu. Segera saya hapus, tidak bisa dan tidak boleh cengeng.

Telephone tidak berfungsi. Taksi tak kunjung datang. Maps iphone juga tidak bisa beroperasi. Semua orang Jepang di kiri kanan saya, tidak mengerti bahasa Inggris saya. Oh!

Saya keluar dari antrian  taksi. Beralih ke antrian telpon umum. Ketika akhirnya giliran saya datang, handphone suami dan kantor pun tak berhasil tersambung. Saya coba tekan facebook. Saya ketik status. Berhasil! Thanks Frank! Saya spontan ketik kesulitan saya, ketakutan saya. Teman-teman di Indonesia mengirimkan supportnya. Hujan gerimis mulai turun. Gempa tak henti-hentinya, terus menerus.

Payung terjual habis. Saya berkeliling mencari jas hujan. Dapat. Dan air minum. 100 Yen Shop, arigatou. Keluar dari toko seratus yen, mata saya tertumbuk kerumunan orang. Toko elektronik dibanjiri pengunjung yang berjejal melihat warta berita. Saya menyelip ke tengah. Namun, percuma saja karena bahasanya tidak dipahami. Hanya wajah dan suara presenter yang cemas. Lalu gambar Pulau Honshu (Pulau di mana Tokyo berada) di sisi timurnya berwarna merah. Pertanda warning!

Saya segera keluar dari kerumunan dan berjalan mencari shelter bus. Syukurlah terbaca Shinagawa St! Saya segera mengantri di urutan terakhir, lima meter dari urutan pertama kira-kira. Namun, tak lama seorang Koban (polisi) menyeret sepedanya dan mengatakan sesuatu. Saya segera bertanya ke sebelah kiri? "What's the police said?" Mbak di sebelah saya menjawab dengan bahasa Jepang. "No bus?" tanya saya cemas sambil melirik antrian yang bubar teratur. "Haik!" Masya Allah. Saya harus segera menemukan jalan sebelum gelap datang.

Sambil menyusun apa yang harus saya perbuat, saya membuka FB. Ternyata teman-teman tidak berhasil menghubungi suami. Oh. Iphone saya tutup dengan hati yang hilang setengahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun