‘Kapankah derita ini akan berakhir?’ batin Eva bertanya-tanya. ‘Pertanyaan yang sangat tidak sesuai dengan suasana damai ini’ tambah batinnya lagi. Keindahan semburat mentari di senja hari tak jua mampu menghalau pertanyaan yang begitu akrab dalam kehidupan Eva akhir-akhir ini. Ditopangkannya dagu pada lutut yang tertekuk, merasakan kekasaran butiran pasir pada bagian bawah tubuhnya. Pandangan Eva lurus menantang sinar jingga yang perlahan-lahan mulai meredup. Angin sepoi-sepoi khas tepi pantai membelai rambutnya yang sengaja dibiarkan tergerai.
‘Kapan deritaku akan berakhir?’ sambil menghela nafas tertahan, pertanyaan yang sama kembali bergaung, terlontar lirih dari bibir indahnya, diiringi pekikan terkejut, tatkala dirasakannya sentuhan ringan di bahu kirinya. Wangi cologne yang pernah begitu akrab dengan penciumannya menyeruak, dan seketika Eva tahu tidak ada jalan untuk lari lagi. ‘Aku tidak lari!’ katanya dalam hati. Pernyataan tersebut membuat tubuhnya menegang, kepalanya tersentak ke belakang, hingga posisi duduknya pun tampak begitu tegak. Eva memaki dirinya sendiri dalam hati, memperingatkan tubuhnya agar berespon biasa saja.
“Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.” Suara pria itu terdengar mantap, diucapkannya sambil menarik tangannya dan memasukkannya ke saku celananya. Sesaat Eva tidak mengucapkan apa-apa, hanya memejamkan matanya saja. Sedetik kemudian, dengan tergesa Eva bangkit dari duduknya dan menepuk-nepuk bagian tubuhnya yang tertempel butiran pasir, “Ti...tidak apa-apa, aku sudah akan kembali ke rumah kok.” Namun secepat Eva bermaksud melangkah pergi dari tempat itu, tangan pria itu lebih cepat lagi menggenggam pergelangan tangan Eva, memaksanya menghentikan langkahnya.
“Menghindariku lagi Angel?” suara pria itu terdengar lembut. Tubuh Eva kembali menegang mendengar nama panggilan itu. Hanya satu orang di seluruh dunia yang memanggilnya dengan nama Angel. Satu orang yang ingin sekali dilupakannya. Satu orang yang tidak pernah sekalipun dilupakannya. Satu orang yang dibencinya dengan sepenuh kesadarannya. Satu orang yang dicintainya dengan sepenuh hati, hal yang amat sangat ingin diingkarinya. Terutama saat ini.
Merasakan tubuh Eva menegang, pria itu melembutkan genggamannya di pergelangan tangan Eva. Dengan lembut, diusap-usapkannya ibu jarinya pada bagian dalam pergelangan tangan Eva, merasakan denyut nadi Eva yang meningkat. “Angel...” pria tersebut berkata lagi, membuyarkan lamunan Eva, saat gadis itu hanya diam, tidak bergerak dari posisi tersebut. Pria itu bergerak maju beberapa sentimeter, namun tetap memberi jarak diantara mereka.
“Tidak! Eh... Maksudku, aku...” Eva menghembuskan nafas dengan agak keras, berusaha menormalkan kembali suaranya yang terdengar bergetar. Jawaban itu lirih dan putus-putus, tidak sesuai dengan segala hal yang telah direncakan Eva puluhan kali dalam kepalanya, apabila suatu saat dirinya harus bertemu lagi dengan pria ini. Menyembunyikan kegugupannya, suara yang keluar berikutnya justru terdengar agak kasar. “Aku tidak menghindarimu! Hari sudah gelap dan aku ingin kembali ke rumah.” Lalu dihentakkannya tangannya agar genggaman tangan pria itu lepas. Eva kemudian melangkah cepat menuju arah rumah, berusaha berdiri tegap dan tidak menoleh ke arah pria itu, saat didengarnya pria tersebut menghela nafas berat.
“Aku merindukanmu Angel...” Suara itu lembut namun mantap dalam menyampaikan maksudnya. Eva kontan terdiam, tidak melanjutkan langkahnya. Jarak diantara mereka terpaut sekitar dua meter, namun bagi Eva, suara itu terdengar lantang diteriakkan di telinganya, menghantam pertahanan diri yang susah payah dibangunnya sejak hari dia kembali ke Indonesia.
Eva tidak berbalik. Ditekan-tekankannya jemarinya di pelipis dan memijatnya. Tangan yang lain memeluk pinggangnya, mencoba melindungi dirinya dari hawa dingin yang menyergap, bukan dari angin pantai, namun dari dalam dirinya sendiri. Disatu sisi, Eva merasakan tengkuknya memanas, dengan tatapan pria itu yang tertuju pada belakang tubuhnya.
‘Siasat lain!’ Eva menurunkan tangannya di kedua sisi tubuhnya dan berbalik. ‘Berbicaralah Eva! Apa saja, tapi jangan hanya diam!’ perintahnya ada dirinya sendiri. “Tentu saja. Kau pasti merindukan teman sesama orang Indonesia di London sana. Aku... Aku sendiri tidak pernah berhenti merindukan...” ‘Merindukanmu!’ tambahku dalam hati. “Merindukan orang-orang yang bisa kuajak berbincang tanpa harus memikirkan apakah ucapanku sudah benar, apakah orang itu mengerti apa yang aku ucapkan. Kita para mahasiswa perantau memang seperti itu kan. Ada kan istilahnya. Apa sih namanya? Ohiya, homesick. Tentu saja kau juga merasakannya. Ehm itu... Itu hal yang wajar kok. Terima kasih aku termasuk salah satu didalamnya.” Berusaha memberikan senyuman tulus, Eva menatap mata pria itu. Namun ternyata itu adalah kesalahan. Secepat senyuman itu timbul lalu menghilang. Eva terdiam, terpaku pada tatapan pria itu.
Senyum terkembang pelan dari bibir pria itu. Ia melangkah maju, mengulurkan tangannya, bermaksud menyentuh tangan Eva, namun Eva justru mundur selangkah. Pria itu kembali memasukkan tangannya ke saku celana. “Aku rindu padamu Evangelion Puspita. Aku rindu kita!” Pria itu sengaja menekankan pada kata ‘kita’. Pandangannya tidak pernah lepas dari Eva.
Menghela nafas, pria itu melanjutkan, “Pidatomu indah. Hal itu tidak bisa kusangkal. Aku juga merindukan teman-teman Indonesia kita semasa di London. Kalian telah kembali mendahuluiku. Benar aku rindu semua hal itu. Tapi terlebih lagi padamu Angel, aku rindu padamu. Aku merindukan kebersamaan kita.” Eva tidak mampu mengalihkan pandangannya dari mata pria itu. Mata yang sarat akan kerinduan, harapan, dan sedikit rasa keputusasaan.
Tidak berdaya, Eva memejamkan matanya, mencoba mengatur nafasnya. Kepalanya pening, bayang-bayang masa lalu berlomba-lomba menembus kesadarannya, menampilkan beragam kepingan kehidupannya setahun terakhir.
Masih sangat jelas, ingatan Eva tentang pertemuan pertamanya dengan Dean Caeisra, satu diantara puluhan mahasiswa baru, di acara penyambutan mahasiswa baru oleh komunitas para mahasiswa Indonesia di negara poundsterling itu. Sebenarnya Dean tidak terlalu menyolok seperti halnya Phillip yang tampan atau Ryo yang tampil memukau. Dean cenderung lebih pendiam. ‘Sama sepertiku’ batin Eva saat itu, saat tatapannya tidak sengaja jatuh pada seorang mahasiswa yang berdiri diam dengan bersandar di dinding sambil meminum minumannya, sementara teman-temannya yang lain berbaur berusaha saling mengenal. Eva memperhatikan Dean yang sedang memperhatikan orang-orang di sekelilingnya dari balik gelas kaca minumannya, dan sesekali mengedipkan matanya pada gadis yang kelihatannya mengenalnya. Lalu pandangan mereka pun bertemu.
Yang dilihat Dean adalah seorang gadis mungil, berambut panjang yang digerainya hingga ke punggung. Gadis itu juga sedang berdiri bersandar pada meja tinggi bar sambil menggenggam gelas minumannya. ‘Imut!’ Itu kesan pertama Dean akan gadis mungil itu. Bukan hanya karena ukuran tubuhnya, namun juga karena paras wajahnya. ‘Aku bisa saja memanggilnya adik kecil jika kami bertemu di jalanan’ renung Dean. Tapi Dean tahu mengenai acara ini, acara tertutup untuk para mahasiswa Indonesia. Sambil tetap menatap gadis itu, Dean memperkirakan usia gadis itu. ‘Mungkin tidak jauh berbeda denganku. Tidak mungkin lebih tua dariku.’ pikirnya.
Entah apa yang merasuki Dean, yang diingatnya kemudian adalah dia sudak terlibat perbincangan seru dengan gadis itu. Entah mengapa, Dean berkeras memanggil gadis itu dengan nama Angel, tidak dengan nama Eva, seperti yang diperkenalkan oleh gadis itu. “Tidak apa-apa kan kalo aku memanggilmu dengan nama Angel. Semua orang kan memanggilmu Eva. Aku ingin berbeda saja. Sehingga kau pasti akan langsung mengenali suaraku saat memanggilmu.” Dean berargumen tentang itu. Entah berapa lama mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Dan entah mengapa, sepanjang malam itu, tanpa mereka sadari, mereka saling memonopoli satu sama lain, sejak pertama mereka berkenalan, acara makan, berdansa, hingga tiba saat untuk pulang.
Sejak saat itu, Dean menyadari dirinya senang menghabiskan waktu bersama Eva. Eva menemaninya berkeliling London, memperkenalkan tempat-tempat bersejarah, rute kereta, toko-toko yang menjual hal-hal unik, sampai kafe-kafe berstandar mahasiswa yang makanannya tidak kalah dengan makanan restoran mahal. Hampir setiap hari selama dua bulan pertama mereka selalu bertemu, hingga akhirnya Dean menyadari dirinya jatuh cinta pada gadis ini.
Singkat cerita, Dean mulai melakukan pendekatan romantis terhadap Eva. Setiap hari Dean menjemput Eva, memberikan kejutan kecil padanya atau sekedar setangkai mawar putih, bunga kesukaan Eva. Lalu menjemput Eva sesudahnya. Mereka kemudian berkencan, saling bercerita, berbagi tawa, dan diakhiri dengan kecupan selamat malam di depan pintu flat Eva. Pendekatan gencar selama kurang lebih sebulan tersebut tidak sia-sia. Mereka pun akhirnya berpacaran. Walaupun begitu sifat Dean yang suka menggoda gadis-gadis belum berubah. Eva mengetahui hal itu, namun ia berusaha memakluminya. ‘Toh Dean hanya berpacaran denganku, jadi tidak semestinya aku mencurigainya.’ pikir Eva. Mereka bahkan terpilih menjadi The Best Couple pada acara pertemuan mahasiswa Indonesia selanjutnya dua kali berturut-turut.
Tidak ada yang tidak iri melihat kebersamaan mereka. Mesra dan selalu harmonis. Seperti hubungan lain, pasti ada pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka, yang sebagian besar dikarenakan Dean yang terlihat terlalu akrab dengan gadis-gadis, tapi hal itu tidak pernah berlangsung lama. Dean dan Eva begitu tampak saling mencintai selama dua tahun hubungan mereka, sehingga semua teman-teman mereka mengerutkan dahi saat Eva tiba-tiba memutuskan kembali ke Indonesia di hari ulang tahunnya. Pemberitahuan itu begitu mendadak. ‘Aku akan kembali ke Indonesia besok. I’ll miss you guys... Muach...’ isi pesan singkat yang dikirimkan Eva di tengah malam, menjelang hari ulang tahunnya.
Teman-teman Eva yang sudah mempersiapkan kejutan untuk Eva di sebuah kafe kecil yang romantis di sudut jalan yang menjorok ke pantai, salah satu temapt favorit Dean dan Eva, sontak terkejut membaca pesan singkat di hp mereka. Satu per satu dari mereka berusaha menghubungi Eva, namun handphone Eva tidak aktif. Mereka pun menghubungi Dean, yang ternyata juga tidak aktif. Ryo menyeletuk, “Mereka sedang bersama deh kayaknya, kompak banget matiin hpnya” sambil tersenyum mesum. Dan suasana pun kembali ceria, mereka saling melontarkan kata-kata mesum satu sama lain sambil bercanda. Namun lama kelamaan, mereka tampak lesu. Kue tart yang telah dipesan tampak tidak tersentuh di tengah ruangan. Cahaya lilin telah padam. Dan mereka pun pulang setelah saling meyakinkan diri bahwa acaranya ditunda besok malam saja. Mereka setuju bahwa mungkin Eva ingin melewatkan malam ini berdua dengan Dean, dan bahwa isi pesan singkat itu hanyalah iseng belaka, karena mereka sendiri menyaksikan keceriaan Eva menyambut ulang tahunnya ketika mereka bersama-sama berkumpul untuk foto bersama di sore harinya.
Dan itu adalah saat terakhir mereka melihat Eva di London. Eva menghilang begitu saja. Baru tiga bulan kemudian, Eva memberi kabar pada teman-temannya di London bahwa dirinya sudah kembali ke Indonesia melalui email komunitas. Eva selalu mengelak dari pertanyaan atas alasan kepulangannya yang tiba-tiba. Eva juga membatasi hubungannya hanya sebatas email saja. Teman-temannya mencium adanya masalah dalam hubungan Eva dan Dean, namun mereka tidak mendesak Eva lebih jauh. Dean sendiri tampak selalu uring-uringan. Emosinya gampang meledak. Yang dilakukannya hanyalah mengurung diri di flatnya dan menghindari pertemuan apa pun dengan teman-temannya. Hanya itulah yang dibiarkan Eva untuk diketahuinya dari teman-temannya. Ia tidak ingin tahu apapun lagi tentang Dean. Apapun. ‘Lebih baik aku tidak tahu apa-apa lagi tentangnya. Daripada mengira bahwa aku tahu segalanya, dan ternyata sama sekali tidak tahu apa-apa.’ batin Eva sedih.
“Angel...” Eva tersentak dari lamunannya saat dirasakannya kedua tangannya berada dalam genggaman Dean. Eva membuka matanya dan mencoba melepaskan genggaman itu. Dean meregangkan genggamannya namun tidak melepaskannya. “Angel, mengapa menghindariku? Mengapa meninggalkanku begitu saja?” Dean berniat menyampaikan kerinduannya saja pada Eva. Namun semua pertanyaan yang menggerogoti pikirannya setahun belakangan ini menyerbu keluar dari mulutnya. Suaranya lirih, dipenuhi kerinduan dan kepedihan. “Mengapa kau pergi begitu saja tanpa pesan apa pun untukku? Mengapa kau tidak pernah membalas emailku Angel? Aku baru tahu kau pulang ke Indonesia beberapa minggu setelah kejadian itu. Aku menyesal Angel. Sangat menyesal! Aku minta maaf. Tidak, aku memohon maafmu. Itu tidak berarti apa-apa honey. Kau segalanya bagiku. Kau tahu aku mencintaimu. Michelle dan aku hanya... Hanya iseng.” Suara Dean terdengar begitu putus asa. “Itu kesalahanku. Kumohon Angel, harusnya kau tidak meninggalkanku begitu saja. Aku membutuhkanmu. Aku begitu ingin menjelaskannya padamu, bahwa kejadian itu adalah khilafku. Tidak ada seorang pun yang lebih berarti daripada dirimu bagiku.” Dikecupnya jemari Eva.
“Angel... Aku begitu putus asa saat tahu kau telah kembali ke Indonesia, tanpa memberitahuku sama sekali. Aku tidak tahu harus menghubungimu dengan cara apa lagi. Kau jelas sudah membuang nomor Londonmu dan aku tidak tahu sama sekali nomor Indonesiamu. Mengapa tidak pernah menghubungiku? Mengapa Angel? Tidakkah kau merindukanku?” Dean meremas tangan Eva, tidak berniat melepaskannya sama sekali.
Mendengar rentetan pertanyaan dan pernyataan yang diucapkan sepenuh hati itu menoreh kembali luka yang belum sembuh di hati Eva. Dipejamkannya kedua matanya lagi. Sambil menunduk, Eva mencoba menenangkan dirinya. ‘Sudah terlambat. Aku tidak bisa mundur. Dean tidak bisa menyakitiku lagi. Ini harus diakhiri.’ kata Eva tak terucap. Lama mereka berdua hanya terdiam. Hembusan angin pantai menerpa punggung Dean, dan melindungi Eva dengan posisi mereka yang berdiri saling berhadapan. Dean bergetar, sama sekali bukan karena angin pantai yang berhembus kian dingin dengan berambatnya waktu, tapi karena berusaha mengendalikan kerinduan dan keinginannya untuk mengguncang tubuh Eva, membuatnya menjawab pertanyaan-pertanyaan Dean, membuatnya menyadari cinta Dean padanya.
Dean memecahkan kebisuan lama diantara mereka dengan tarikan nafasnya yang dihembuskannya dengan keras. Kemudian dengan lembut, diangkatnya dagu Eva agar memandangnya, “Angel... Aku rindu padamu. Aku menyesal. Kumohon... Angel, kau selalu menjadi segalanya bagiku. Aku ingin kau tahu itu. Jangan pergi lagi, please...” Sambil tersenyum, Dean meraih tubuh Eva ke dalam rengkuhannya. Eva tidak menolak namun juga tidak merespon. Dean mengelus untaian rabut halus Eva. Menggumamkan kata-kata rindu dan cintanya dengan suara lembut menenangkan. Eva menikmatinya. Sekalipun kesadarannya menolak, namun hatinya trenyuh dengan perlakuan lembut Dean. Dihirupnya aroma cologne Dean dalam-dalam, menikmati belaian Dean di punggungnya, dan membiarkan dirinya terlena sesaat. ‘Aku juga merindukanmu Dean... Sangat. Dari dulu, hingga sekarang.’ Kata Eva dalam hati. ‘Sampai besok, kapanpun itu.’ tambahnya.
‘Sekarang?! Besok?! Ya Tuhan...’ kepanikan menyergapnya. Tiba-tiba saja, Eva menarik dirinya. Begitu cepat hingga Eva hampir saja terjerembab jika saja Dean tidak memeganginya. “Tidak! Tidak! Tidak! Ini salah!” Eva mendengar suaranya yang keluar nyaris berupa jeritan tertahan. Dihempaskannya tangan Dean yang masih memeganginya dan berlari ke arah rumah.
“Angel! Angel!” Dean mencoba memanggilnya. Langkahnya terhenti karena tidak menyangka Eva akan berbalik. Dean memandangi Eva yang berlinangan air mata. Mereka saling menatap. Dan bagai suara petir yang membelah malam hari yang sunyi, kata-kata Eva bergaung di telinganya terus menerus hingga berbulan-bulan kemudian. Penyesalan. Rasa bersalah. Tidak ada hal lain yang menemani kehidupannya setelah pertemuan mereka itu. Sengsara. Gambaran tepat kehidupan Dean di kemudian hari. Dan pertanyaan yang terus menerus diteriakkannya dalam doanya kemudian adalah ‘kapankah derita ini akan berakhir?’.
“Aku...” Eva terdiam dua detik penuh, lalu melanjutkan dengan suara mantap setelah menarik nafas panjang, “Aku akan menikah... besok.” Sambil membayangkan cintanya yang terbang, Eva menatap Dean, mencoba menyunggingkan senyum tulus dan ungkapan rindu serta cintanya yang tak terucap. “Selamat tinggal Dean.” Tidak ingin tahu respon Dean, atau mungkin responnya sendiri untuk menghapus luka di mata Dean, Eva berlari ke arah rumah dan tidak menoleh lagi. Ditutupnya pintu depan rumahnya, kemudian dikuncinya, berusaha mengunci pintu hatinya untuk Dean. Selamanya.
Hargailah pasanganmu serta hubungan yang sedang kalian bina. Selagi ada kesempatan, menjadi lebih baiklah untuk pasanganmu. Karena saat komitmen telah terucap, saat itulah kepercayaan ditorehkan. Tahukah kau, kepercayaan yang membalut suatu komitmen akan mampu berdiri kuat setegar batu karang. Namun sekali kau berkhianat, kepercayaan itu akan hilang, lenyap, tergantikan oleh penyesalan. Penyesalan selalu ada di akhir cerita, begitu kata orang, dan memang benar adanya. Dan penyesalan yang terbalut rasa bersalah inilah sumber kesengsaraan hidup sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H