Mohon tunggu...
Annisa Rahayuningtyas
Annisa Rahayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengurai Diskriminasi Gender di Indonesia

22 Juni 2024   23:44 Diperbarui: 22 Juni 2024   23:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskriminasi gender merupakan sebuah keadaan di mana laki-laki dan perempuan tidak mendapat perlakuan, kesempatan, serta hak-hak yang setara dikarenakan faktor gender. Kasus diskriminasi gender di Indonesia masih sering terjadi dan masih dapat kita temukan di berbagai lingkungan, seperti lingkungan pendidikan, pekerjaan, serta kehidupan kita sehari-hari. Contoh dari bentuk diskriminasi gender adalah adanya budaya patriarki, stereotip gender yang mengkotak-mengkotakkan posisi laki-laki yang dinilai lebih dominan daripada perempuan, serta kekerasan gender.

Diskriminasi gender lebih banyak terjadi pada kaum perempuan, akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa kaum laki-laki juga dapat menjadi korban. Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 37/05/Th. XXVII, 6 Mei 2024, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) pada tahun 2023 diketahui adalah sebesar 0,447 poin. IKG pada periode tahun 2018-2023 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dimulai dari IKG 2028 sebesar 0,499 poin, IKG 2019 sebesar 0,488 poin, IKG 2020 sebesar 0,472 poin, IKG 2021 sebesar 0,465 poin, IKG 2022 sebesar 0,459 poin, dan IKG 2023 sebesar 0,447 poin.

Faktor utama yang menyebabkan penurunan poin IKG adalah karena dipengaruhi oleh perbaikan di semua dimensi pembentuknya. Dimensi pembentuk yang dimaksud terdiri dari 3 hal, yaitu dimensi kesehatan reproduksi, dimensi pemberdayaaan, dan dimensi pasar tenaga kerja. Pada dimensi kesehatan reproduksi terdapat sebanyak 0,258 proporsi perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan anak pertama kurang dari 20 tahun dan sebanyak 0,126 proporsi perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan anak tidak di fasilitas kesehatan. Kemudian pada dimensi pemberdayaan tercatat bahwa persentase anggota legislatif perempuan adalah sebesar 22,14% sedangkan laki-laki sebesar 77,86%, serta persentase penduduk dengan pendidikan SMA ke atas adalah 37,60% untuk perempuan dan 42,62% untuk laki-laki. Lalu yang terakhir pada dimensi pasar tenaga kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) untuk laki-laki adalah sebesar 84,26% dan perempuan sebesar 54,52%.

Salah satu bentuk dari diskriminasi gender yang terjadi di Indonesia adalah diskriminasi yang dialami oleh buruh-buruh perempuan yang bekerja di pabrik es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau biasa disebut Aice. Bentuk diskriminasi yang diterima oleh para buruh perempuan tersebut adalah mereka dipaksa untuk terus bekerja tanpa memikirkan kondisi kesehatan mereka. Salah satu buruh yang bekerja di Aice menjelaskan bahwa dia sudah mengajukan pemindahan divisi kerja karena penyakit endometriosisnya sedang kambuh, namun pihak perusahaan justru mengancam akan memecatnya dari pekerjaannya. Akhirnya buruh tersebut mengalami pendarahan hebat yang mengakibatkan dirinya harus melakukan operasi kuret yang berarti jaringan dari rahimnya harus diangkat. Peristiwa lainnya yang dialami oleh buruh perempuan di Aice adalah dirinya dipaksa untuk tetap bekerja sampai larut malam dan harus mengangkat barang-barang yang bebannya berat meskipun dirinya sedang hamil. Akibat yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah buruh perempuan itu mengalami keguguran.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kasus diskriminasi gender masih sering terjadi di Indonesia. Faktor pertama adalah stereotip yang menyebabkan perempuan sering dipandang lemah di masyarakat atau di kehidupan rumah tangga karena dianggap tidak kompeten dalam menjalankan pekerjaan berat. Padahal penilaian tersebut tidak dapat dipandang hanya secara kasat mata, namun dapat dilakukan melalui pengecekan kinerja tanpa memandang jenis kelamin mereka. Selanjutnya adalah faktor kondisi sosial budaya. Terdapat sebuah pemikiran bahwa tugas seorang perempuan tidak jauh dari urusan dapur, sumur, dan kasur yang mengartikan bahwa tugas perempuan itu hanya mengurus pekerjaan rumah dan melayani suaminya. Kenyataannya, perempuan dapat melakukan hal lain seperti yang dilakukan oleh laki-laki. Kemudian faktor ketiga adalah faktor ekonomi. Diskriminasi gender dapat terjadi saat upah yang diberikan ke salah satu jenis kelamin berbeda dengan jenis kelamin lainnya. Hal ini biasanya terjadi karena beban pekerjaan yang berbeda sehingga terjadi ketidakmerataan pendapatan pada posisi pekerjaan yang sama. Faktor terakhir yaitu budaya partriarki. Sebagian masyarakat Indonesia masih ada yang menganut pemahaman yang sifatnya parsial hingga akhirnya menyebabkan adanya ketidakadilan dalam memperlakukan manusia menurut gendernya. Kuatnya pola pikir partriarki menimbulkan pemikiran bahwa perempuan tidak harus sekolah tinggi karena pada akhirnya mereka hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga, sementara laki-laki dituntut untuk mendapat pekerjaan yang layak karena harus memenuhi tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Padahal sebenarnya peran kedua bisa saja ditukar.

Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan gender di Indonesia adalah dengan melibatkan pendekatan holistik dan berkelanjutan yang dapat mencakup berbagai bidang serta seluruh partisipasi masyarakat. Peningkatan pendidikan dan kesadaran gender di sekolah serta sosialisasi langsung ke masyarakat untuk mengubah stereotip dan persepsi mengenai gender yang dapat memicu diskriminasi. Melalui penguatan perlindungan hukum terhadap hak-hak gender dan mendorong penerapan hukum yang dapat melindungi perempuan dan minoritas gender lainnya. Memudahkan akses perempuan terhadap peluang mendapatkan pekerjaan yang setara dan dapat secara mudah mengakses terhadap sumber daya ekonomi lainnya. Kemudian memperkuat dukungan untuk perempuan agar dapat ikut terlibat dalam kegiatan politik dan kebijakan pemerintah. Yang terakhir adalah dengan memanfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya sebagai alat untuk mengedukasi masyarakat dan mengubah pemikiran dan stereotip yang masih menjamur di masyarakat terhadap gender serta mendukung kampanye publik yang membahas tentang isu-isu kesetaraan gender dan turut bergabung dalam gerakan perubahan sosial yang positif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi gender adalah keadaan di mana perempuan dan laki-laki diperlakukan tidak setara karena faktor gender. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kasus diskriminasi gender di Indonesia adalah adanya stereotip di masyarakat, faktor sosial budaya, faktor ekonomi, dan juga budaya partriarki yang masih ada di tengah masyarakat Indonesia. Solusi yang paling tepat untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya kasus diskriminasi gender di Indonesia adalah melalui pendekatan holistik dan berkelanjutan yang melibatkan peran pemerintah dan juga partisipasi masyarakat untuk terus menyuarakan kesetaraan gender.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun