Mohon tunggu...
Ruli Hapsari
Ruli Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga biasa yang mencoba menjadi ibu luar biasa untuk anak.

Lulus dari jurusan bahasa yang sekarang fokus mengurus anak.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Keluar dari Kemelut Obat Psikotika

21 Mei 2015   08:41 Diperbarui: 13 Januari 2022   16:01 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Prolog

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol kandung kemih. Awalnya saya pikir ibu mengalami gejala ini. Hampir setiap hari ibu beraroma pesing. Jika saya tiba di rumah selepas bekerja seharian, saya selalu disambut bau urin yang menyeruak, entah itu dari kamar ibu atau dari kamar mandi. Pernah beberapa kali ibu buang air kecil di kamarnya. Malam-malam kami (saya dan suami) harus bangun dan membersihkan genangan urin di lantai kamar. Kata ibu, itu tak sengaja karena belum sempat membuka pintu kamar, pipisnya sudah keburu keluar. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa ibu ke dokter syaraf. Saya sampaikan pengalaman ibu yang tidak bisa menahan buang air kecil. Saya pun menyebut istilah inkontinensia, istilah asing yang saya peroleh dari hasil pencarian dan bacaan di internet.

“Bagaimana cara mengobati inkontinensia, pak dokter?”, tanya saya dengan percaya diri.

Dokter syaraf itu pun menjelaskan bahwa gejala tidak bisa menahan pipis yang dialami ibu penyebabnya bukan karena melemahnya otot-otot dasar panggul, meskipun faktanya ibu memang sudah lanjut usia. Tetapi gejala ini, terutama pada penderita psizofrenia, lebih karena tekanan batin dan stress.  Beberapa hari setelah itu, saya memberhentikan konsumsi obat psikosis pada ibu. Ada perbedaan yang saya amati. 

Psizofrenia & Terapi Obat Psikotik Ibu

 Terdapat empat macam gejala psizofrenia, yakni gejala positif, negatif, kognitif dan afektif. Gejala positif merujuk pada distorsi pemikiran normal seseorang, sementara gejala negatif mengacu pada kesulitan menunjukkan emosi atau fungsi normal, biasanya terlihat depresi. Gejala positif terdiri dari halusinasi, delusi (waham), gangguan pikiran, dan gangguan gerakan. Gejala negatif mencakup keengganan untuk merawat diri sendiri, tidak menunjukkan ekspresi wajah (datar), dan autisme. Gejala kognitif antara lain kesulitan menggunakan informasi yang diperoleh dalam membuat keputusan, kesulitan dalam memberi perhatian, dan kesulitan memahami lingkungan, sementara gejala afektif antara lain depresi, cemas, dan curiga. Berdasarkan hasil observasi saya, Ibu mengalami empat gejala ini. 

Pada awal tahun baru 2013, kira-kira satu tahun setelah Ibu divonis menderita gangguan psikotik itu, Bapak memutuskan menempatkan Ibu di rumah kami. Saat itu, saya bisa memastikan Ibu tidak mengalami halusinasi dan delusi. Sebelum tinggal bersama saya, sekitar tahun 2012, Ibu sebenarnya pernah dirawat di RS jiwa di kota lain, dan tentunya mengkonsumsi obat antipsikotik. Ketika Ibu berada di rumah saya pada awal tahun 2013, Ibu sama sekali tidak menggunakan obat antipsikotik, artinya putus obat. Ketika masa tanpa obat psikotik ini, tepatnya pada awal-awal tahun 2013 itu, hampir setiap hari ibu berkicau “aduh….uangku ludes, semua dah habis, lenyap sudah, aku dah gak punya apa-apa lagi. aku bener-bener menyedihkan.” Ditambah lagi dengan klaim kehilangan pakaian. Ibu selalu mengklaim bahwa pakaiannya hilang padahal faktanya pakaian sedang dicuci. Saya kategorikan ini sebagai kekacauan pikiran (mungkin ada istilah khusus yang saya tidak tahu). Meskipun begitu, fakta yang membuat saya kagum adalah Ibu masih aktif melakukan shalat 5 waktu, ditambah shalat tahajud, dan shalat dhuha. Ini tidak pernah luput dari pengamatan saya setiap hari dengan keadaan Ibu sedang putus obat. Ibu pun masih mau berinisiatif untuk mandi sendiri, meskipun kurang bersih sebagaimana orang normal lainnya (menurut saya karena faktor psikomotorik yang semakin menurun). 

Akan tetapi, setelah saya membawa Ibu ke Sp.Kj., kira-kira Februari 2013, dan Ibu mulai mengkonsumsi obat antipsikotik yang diresepkan dokter seperti Risperidone dan Clozapine, saya mendapati ada perubahan pada Ibu. Ibu menghabiskan hari-hari di atas tempat tidur saja. Badannya nampak lemas. Ibu mulai kehilangan motivasi untuk merawat diri seperti mandi, memotong kuku, kehilangan nafsu makan bahkan lupa waktu - lupa apakah waktu sudah subuh, sudah sore atau sudah malam. Jam biologisnya mulai kacau. Shalat wajib pun sudah ditinggalkan. Ibu mulai sering mengalami kebocoran urin. Hampir setiap hari Ibu berbau pesing. Bahkan kotoran Ibu sering terserak dan merata di lantai kamar mandi. Perubahan fisik lainnya, saya memperhatikan kaki Ibu menjadi semakin aktif bergerak, seperti seorang sedang main drum, jika Ibu sedang duduk. Kedua tangannya pun mulai tidak ada energi untuk melakukan aktivitas, hanya sekedar menutup toples dan mengikat lagi plastik kerupuk/snack pun benar-benar tidak mampu. Lemah dan kaku. Satu perubahan yang menggembirakan adalah kekacauan pikiran tentang uangnya yang hilang, dan klaim pakaian yang hilang pun sudah tak terdengar lagi. Ibu jadi lebih pendiam karena setiap waktu Ibu hanya tidur-tiduran.

 Pada fase ini, saya masih percaya dengan obat-obatan medis, sehingga saya membawa Ibu ke Sp.Kj lagi. Saya menceritakan semua perubahan yang saya amati, berharap mendapatkan penjelasan yang memadai tentang penyebab perubahan pada Ibu.         Si dokter mendengar curhatan saya dengan seksama lalu sibuk menulis-nulis di lembar rekam medis dan resep, dan mengatakan bahwa ia perlu menambahkan satu obat lagi, yakni Trihexipenidil. Katanya obat ini berfungsi untuk mengurangi efek gerak-gerak kaki yang berlebihan. Saya masih menunggu penjelasan tentang mekanisme kerja obat-obatan yang dikonsumsi Ibu beserta efek sampingnya. Tetapi hingga akhir sesi konsultasi, saya tidak mendapatkan informasi itu. Saya tidak puas, tetapi saya tidak ada pilihan lain, selain manut dengan orang yang dianggap ahli (spesialis) yang sudah mengenyam pendidikan tinggi dan hanya orang-orang terpilih yang bisa sampai pada level pendidikan tinggi itu (terpilih karena kemampuan finansial dalam pembiayaan pendidikan dan kemampuan intelegensia). 

 Beberapa bulan setelah mengkonsumsi obat secara teratur (Risperidone, Trihexypenidil, Clozapine), saya tetap mendapati kaki ibu tak pernah berhenti bergerak. Selalu resah, baik saat duduk ataupun berdiri. Tangannya pun ikut-ikutan resah. Selalu melakukan pengulangan gerakan. Bau pesing pun masih selalu menyertai. Saya mulai skeptis dengan Tryhexipenidil yang kata si dokter dipercaya mampu mengatasi gerak-gerak kaki. Lagi-lagi saya membawa Ibu ke Sp.Kj. pada kontrol berikutnya dan menyampaikan bahwa tidak ada kemajuan dari obat Trihexipenidil. Saya perhatikan si dokter nampak sedang berpikir sambil berkata “seharusnya ada perubahan ya kalo sudah dikasih Tryhexipenidil, karena itu fungsinya mengurangi gerakan-gerakan yang over.” Rasa skeptis saya mulai membuncah dan saya hanya berkata dalam hati ‘apakah Ibu memiliki respon yang berbeda terhadap obat tertentu. Mungkin bagi pasien lain, suatu obat bisa sangat manjur, tetapi tidak untuk Ibu saya.’ 

“Lalu mengapa Trihex menjadi tidak efektif? Padahal sudah dikonsumsi sesuai dosis yang dianjurkan?”, tanya saya.

 “Oke ..saya ganti saja Risperidonenya ya. Saya ganti dengan Seroquel. Semoga ada perubahan.”

Si dokter pun mengganti Risperidone dengan Seroquel. Kata si dokter, syndrome kaki resah adalah efek samping dari Risperidone, dan Trihexipenidil adalah penenang dari efek gerakan berlebihan itu, sementara Clozapine berfungsi untuk membuat tidur mengingat pasien psizofrenia cenderung tidak bisa tidur nyenyak. Itu saja. Tidak ada informasi lain. Menurut saya, si dokter masih kurang memberikan penjelasan yang memadai. Mungkin bagi dia penjelasan-penjelasan ilmiah dengan penyampaian yang sederhana dan mudah dipahami orang awam hanya akan buang-buang energi alias percuma karena dia mungkin berpikir saya toh tidak akan mengerti. Saya pun tak ambil pusing, meskipun saya tidak memungkiri jika saya agak kecewa. Saya menurut saja sambil terus memelihara kegundahan. Sekali lagi saya manut. Tidak ada pilihan lain. Kita coba dengan obat baru yang bernama Seroquel ini. 

Beberapa bulan kemudian dengan rutinitas kontrol yang tidak pernah absen, dan rutinitas konsumsi obat, saya tidak mendapati kemajuan yang signifikan. Resah kaki dan tangan Ibu masih ada. Tak berkurang. Pesing pun masih ada. BAB pun kadang masih berserak. Akhirnya saya memberhentikan konsumsi obat antipsikotik Ibu. Masa putus obat ini sekitar dua bulan. Pada masa ini, saya mendapati perubahan yang menggembirakan. Ibu sudah tidak beraroma pesing. Buang air kecilnya sudah mulai teratur di kloset. Wajah Ibu pun nampak lebih segar, tidak nampak ngantukan lagi dengan mata yang sayu-sayu. Tetapi, muncul perubahan baru yang menyedihkan, rahang Ibu menjadi aktif melakukan gerakan berulang tanpa henti. Seperti kecap (e dibaca seperti dalam kata ‘apel’). Kecap ini adalah gejala yang benar-benar baru. Kemudian saya bawa ibu ke Sp.Kj. lagi. Lagi. Harapan saya membawa lagi ibu ke Sp.Kj, supaya saya mendapatkan informasi tentang sebab kecap yang baru ini sekaligus obat untuk menyembuhkannya. Karena melimpahnya pasien di poli jiwa, setelah konsultasi super singkat dengan Sp.Kj, saya dan ibu diminta ke ruang D2, ruang periksa kesehatan dan konseling. Di sana, seorang ibu tenaga kesehatan (mungkin semacam perawat senior) menasihati saya setengah hati bahwa putus obat antipsikotik adalah ide yang buruk. Dia terus meyakinkan saya bahwa jika obatnya dikonsumsi rutin, maka kecap yang berulang-ulang itu akan berhenti. Saya hanya diam dan pura-pura percaya. Rasa skeptis ini rasanya sudah mendesak-desak pikiran saya, tetapi saya tidak menyampaikannya. Meskipun begitu saya tetap memberikan obat ke Ibu secara rutin - Clozapine, Seroquel dan Trihexipenidil, karena saya tidak punya pilihan lain. Singkat cerita, kegundahan saya ini akhirnya mendorong saya untuk mencari tahu tentang penyakit yang diderita ibu dan khasiat dari 3 macam obat yang selalu ibu konsumsi. 

Hasil Temuan

Melalui Internet, saya mencoba mempelajari obat-obatan antipsikotik atau juga sering disebut obat-obatan neuroleptik atau transquilizer mayor. Dengan kata kunci Risperidone, Clozapine, Trihexipenidil dan Seroquel, saya menemukan banyak sekali istilah-istilah farmasi yang cukup sukses membuat kepala saya pusing. Dari berbagai sumber yang saya  baca, saya menemukan bahwa obat antipsikotik terdiri atas dua jenis, yaitu FGA (First Generation Antipsychotic) dan SGA (Second Generation Antipsychotic). FGA merupakan antipsikotik yang dibuat pertama kali, yang dikenal juga sebagai antipsikotik tipikal, sedangkan SGA sebagai antipsikotik atipikal, yang merupakan bentuk pengembangan setelah antipsikotik tipikal. Jenis antipsikotik yang atipikal dipercaya memiliki efek klinis yang lebih besar dengan efek samping lebih rendah dan ditoleransi lebih baik daripada antipsikotik tipikal. Risperidone yang kemudian diganti Seroquel dan Clozapine yang dikonsumsi Ibu tergolong jenis antipsikotik atipikal.

Adapun mekanisme kerja obat antipsikotik adalah menghambat aktivitas berlebihan pada dopamin di dalam otak. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu apa itu dopamin. Dopamin adalah cairan kimia atau zat kimia yang diproduksi otakDi dalam otak (susunan saraf pusat), dopamin memiliki peran dalam mengatur pergerakan motorik, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang, tidur, dan kognisi (proses berpikir atau kemampuan otak dalam memperoses informasi).  Secara sederhana, dopamin dapat disebut sebagai bahan kimia perangsang otak. Jika dopamin tersedia dalam jumlah yang kecil, ini dapat menyebabkan kurang motivasi, stress, gangguan pola tidur, nafsu makan menurun, gangguan seksual, gangguan mood, dan gangguan susunan saraf pusat. Jika terlalu banyak, juga dapat menyebabkan gangguan. Salah satunya adalah psizofrenia. Pada penderita psizofrenia, terdapat kelebihan kadar dopamin pada suatu wilayah di otak yang menimbulkan gejala psikosis positif dan kekurangan dopamin di wilayah lain yang menimbulkan gejala negatif. Jadi, adalah benar adanya kekacauan pikiran yang dialami Ibu (mengeluh karena telah kehilangan uang, mengklaim kehilangan pakaian) sukses teratasi oleh kinerja obat antipsikotik. Tetapi sayangnya aktivitas-aktivitas lain pun juga ikut “teratasi”, terutamanya ibadah shalat.

Meskipun tugas utama obat antipsikotik adalah mengatasi kelebihan dopamine    di otak, obat antipsikotik juga memiliki banyak efek samping yang tidak bisa diremehkan. Beberapa efek samping yang Ibu alami dan teramati oleh saya diantaranya somnolen, konstipasi, inkontinensia urin, rasa cemas, hipotensi (darah rendah), kemampuan kognitif menurun, kinerja psikomotor menurun dan gejala ekstrapiramidal. Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, sejak mengkonsumsi obat antipsikotik, Ibu menjadi semakin lemas, sepanjang hari Ibu hanya tidur-tiduran. Ini disebut dengan somnolen. Somnolen adalah tingkat kesadaran menurun. Jadi, setelah mengkonsumsi obat, respon psikomotorik pasien akan lambat. Dia akan mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi akan jatuh tertidur lagi. Di samping itu, Ibu juga sering mengalami kebocoran urin, entah itu merembes tanpa disadari atau bocor seperti pancuran keran. Saya yakin jika itu adalah efek samping lemas dari obat-obatan yang dikonsumsi, bukan karena lemahnya otot-otot panggul, karena faktanya ketika saya memberhentikan obat, Ibu dapat mengontrol buang air kecilnya. Kinerja psikomotor Ibu juga menurun, mulai dari memakai baju dan celana, menggosokkan sabun ke badan, menutup toples yang ditekan, menuang air teko dan terakhir yang paling sulit adalah tanda tangan sendiri. Pada awal Ibu pindah ke rumah saya (awal 2013), Ibu masih bisa mengukir tanda tangan dengan pulpen. Sekarang, tanda tangan itu telah diganti dengan cap jempol. Sementara itu efek samping ekstrapiramidal yang saya amati adalah gerakan kaki dan tangan yang tanpa henti, tak terkendali. Sebelumnya perlu penjelasan tambahan dulu tentang gejala ekstrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Jadi, ketika jumlah dopamine semakin berkurang yang diakibatkan oleh  pengaruh senyawa obat antipsikotik tadi, maka terjadilah gangguan motorik. Gangguan motorik yang dialami Ibu disebut dengan sindrom kaki resah (mungkin untuk tangan juga bisa disebut sindrom tangan resah). Gerakan berlebihan dan tak terkendali ini katanya dapat diatasi dengan penggunaan obat lain yang disebut dengan obat antiparkinson. Salah satu obatnya adalah Trihexypenidil, obat yang disarankan si dokter. Tetapi, si Trihex ini nampaknya tidak bekerja dengan baik pada Ibu. Justru efek samping saja yang Ibu rasakan dari Trihex ini, seperti  mengantuk dan sembelit (efek internal fisiologi seperti sakit kepala, sakit perut, nyeri saat BAK, sulit terkontrol oleh saya karena Ibu kurang komunikatif).

November 2014, saya betul-betul mengucapkan selamat tinggal untuk obat-obatan antipsikotik. Harapan saya pada pengobatan medis nampaknya sudah sirna. Saat saya sudah sampai di titik puncak kekecewaan itu, saya dipertemukan dengan pengobatan alternatif - seorang herbalist. Pertemuan kami terjadi pada bulan Januari 2015. Dia pun menyarankan hal yang sudah saya lakukan, yakni stop pemberian obat-obatan antipsikotik karena dianggap lebih banyak mudharatnya daripada khasiatnya. Dalam hati, saya mengiyakannya. Bagaimana tidak? Obat-obat itu faktanya telah sukses mengurangi dopamin Ibu yang kemudian menyebabkan Ibu enggan untuk beribadah hingga sekarang Ibu dalam keadaan putus obat. Ini sebenarnya efek yang sangat saya sayangkan. Saya seperti ingin kembali pada masa awal tahun 2013, yang waktu itu suami saya pernah berkata kepada saya bahwa dia merasa takjub dan tergugah melihat ketekunan Ibu dalam beribadah baik shalat fardhu maupun shalat sunat. Tetapi, masa lalu hanya masa lalu yang hanya bisa dijadikan pembelajaran untuk masa mendatang. Oleh karena itu, untuk menghindari efek jangka panjang  yang mungkin bisa akan bertambah lagi dan bahkan lebih parah dan permanen, saya pikir lebih baik Ibu tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan medis. 

Sampai saat ini, Ibu masih menjalani pengobatan alternatif. Saya belum melihat kemajuan yang signifikan dari pengobatan alternatif ini. Yang pasti sejauh ini saya mendapati gerakan kaki dan tangan resah (terutama kaki) pada Ibu cukup melemah dibandingkan dulu ketika masa konsumsi obat, dan kecap rahang juga sudah hilang. Selain itu, saya pun belum menemukan efek samping atau  penurunan kualitas fisik dan gejala abnormal yang muncul dari pengobatan alternatif ini. 

Saat ini, saya mencoba bersyukur atas pencapaian Ibu bahwa Ibu mampu berinisiatif ke kamar mandi sendiri untuk buang hajat, mampu berinisiatif untuk mandi pagi (maksudnya minta dimandikan), dan mampu berinisiatif untuk mematikan lampu. Saya yakin bila rasa syukur yang sederhana ini, dibarengi dengan pendampingan yang sepenuh hati, maka kondisi kejiwaan Ibu perlahan akan berangsur baik. 

Kesimpulan dari cerita ini adalah jangan menaruh kepercayaan yang terlalu besar pada dunia medis. Sebagai pasien dan anggota keluarga pasien kita harus bisa bersikap kritis, aktif bertanya dan berdiskusi dengan tenaga kesehatan, mau belajar, dan tidak mengandalkan dokter sepenuhnya. Ketahuilah (mungkin ini bisa saja salah, karena opini saya belaka, MOHON MAAF YANG SEBESAR-BESARNYA) ketika mereka dokter-dokter itu sedang menempuh studinya, pengetahuan yang mereka peroleh sebagian besar berasal dari teori-teori dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada yang diterbitkan dalam bentuk jurnal-jurnal ilmiah. Mereka hanya merujuk pada itu, pada yang sudah ada. Misalnya sumber-sumber yang ada banyak mengatakan bahwa gejala X hanya muncul jika pasien telah mengkonsumsi obat generasi A saja. Jadi, dengan kata lain, obat generasi B tidak akan menimbulkan gejala X. Karena melimpahnya sumber-sumber yang mengatakan hal yang sama, saya berasumsi mereka terkurung dalam teori ini. Mereka cenderung tidak berpikir lebih jauh atau keluar dari teori itu bahwa obat generasi B mungkin bisa saja mengakibatkan gejala X. Saya meyakini bahwa ada realita di lapangan yang tidak selalu selaras dengan teori-teori. Faktanya, Ibu hanya mengkonsumsi obat antipsikotik atipikal (SGA – Second Generation Antipsychotic), tetapi Ibu mengalami efek samping kaki dan tangan resah (gejala eksptrapiramidal yang katanya gejala ini hanya disebabkan oleh obat antipsikotik generasi pertama). Jadi, ketika kita menemukan reaksi yang tidak diinginkan yang setelah diamati reaksi tersebut bersifat semakin kuat dan meningkat, maka segera ambil keputusan yang tepat. 

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun