Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang dianggap “Menyimpang” dari ajaran agama Islam ternyata sudah resmi membubarkan diri pada 13 Agustus 2015, pembubaran organisasi berlambang matahari ini tidak terlepas dari fatwa “Sesat” yang sudah disematkan oleh MUI di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD). Dan pada tanggal 3 February 2016 yang lalu, MUI pusat secara resmi, juga telah memberikan label “Sesat” pada Gafatar dan para anggotanya pun dianggap murtad
Sejarah perjalanan mereka, stigma Sesat dan membubarkan diri, ternyata tidak mengurangi semangat untuk mantan anggota Gafatar membangun negeri Indonesia. Mereka mengambil pilihan berani untuk melanjutkan program kemandirian dan kedaulatan pangan (PKP) di tanah Borneo, sebagai salah satu hasil rekomendasi kongres luar biasa Gafatar pasca membubarkan diri, atau pilihan kedua, kembali ke aktivitas semula dengan pekerjaannya masing-masing.
Isu Gafatar dianggap menyimpang dimulai dengan kasus hilangnya dr Rica bersama anaknya tanpa alasan yang tidak jelas kepada keluarga . Pihak kepolisian pun mencari keberadaan dr Rica dan ternyata dia berada di Mempawah Kalimantan Barat dan ikut bersama ribuan masyarakat meneruskan program eksodus ke kalimantan Barat meneruskan cita-cita Eks Gafatar.
Ibarat Bensin tersulut Api, media pun memberitakan banyaknya kasus orang hilang diduga karena ikut program Gafatar, dan membangun opini masyarakat dan negara bahwa Gafatar adalah organisasi yang menyimpang bin sesat ditandai dengan beberapa perilaku orang hilang karena gafatar tidak menunjukkan perilaku normal pada umumnya. Dalam persoalan Gafatar, masyarakat maupun negera harus melihat secara keseluruhan dan membagi dalam dua sisi, sisi pertama pada dimensi keyakinan spiritual dan pada dimensi pembangunan sosial.
Apakah Gafatar Sesat?
Mantan Ketua umum Gafatar, Mahful Muis Tumanurung sudah menyampaikan kepada publik, bahwa dalam dimensi spiritual, Eks Gafatar mempunyai pemahaman spiritual sendiri, dan keluar dari ajaran Islam mainstram. Dia pun mengakui bahwa Ahmad Musadeq sebagai guru spiritual dan membangun paham Milah Abraham dengan semangat nilai-nilai universal bersumber dari tuhan yang satu, tuhan semesta alam. Mereka pun enggan dianggap sesat oleh MUI karena akan berdampak sosial bagi pengikutnya ketika kembali dan pulang ke wilayahnya masing masing.
Dalam kajian Sosiologi agama, Gafatar bukan lah kelompok keagamaan yang baru, sebenarnya mereka bagian dari konsep New Religious Movement atau gerakan agama baru, yang awal munculnya pasca perang dunia kedua. Secara sederhana gerakan agama baru dimaknai sebagai gerakan non arus utama agama besar dunia. Gerakan ini diilhami oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dari suatu latar religius kultural yang diambil dari bagian agama-agama dan kepercayaan- kepercayaan yang ada di dunia.
Eropa, USA dan Amerika Utara mengambil praktik-praktik dan ide-ide keagamaan Timur, kebanyakan berasal dari anak benua India meliputi Brahma Kumaris, Hare Krisna, Rajneeshism (Osho), Yoga dan Sai Baba. Beberapa gerakan keagamaan baru dikaitkan dengan ajaran pimpinan keagamaan seperti Ron Hubbard (Scientology), Moses David (Children of God or the Family), John Wimber (Vineyard Christian Fellowship), dan Maharishi (Transendental Meditation) dan kemudian berkembang ke Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Munculnya gerakan agama baru ini , pertama tidak terlepas dari bentuk resistensi masyarakat modern yang materialisme, utilitarian, individualisme dan menggunakan teknik rasional dari ilmu pengetahuan yang mendominasi suatu kultur masyarakat. Kedua, adanya dominasi secara ilmiah dan sosial dapat merusak tekanan dalam diri individu, tanggung jawab personal dan hilangnya pandangan hidup tradisional dalam masyarakat.
Ketiga, kemunduran dalam agama-agama atau aliran Ketuhanan dalam kehidupan individu dan berkembangnya perspektif sosial terhadap sesuatu yang ilmiah, sehingga kesemuanya itu memberikan sebuah eksperimen yang sangat berarti di dalam semua segi kehidupan, termasuk politik dan gaya hidup (life-style) dan juga agama sebagai respon dari dehumanisasi akibat kemajuan teknologi. Keempat, terbuka terhadap gagasan dan cara pemikiran baru. Kelima, adanya kekecewaan atau keprihatinan terhadap sistem sosial modern dan kehidupan urban yang impersonal atau individualistik.
Dalam masyarakat era Post-Modernisme, ada rasa haus yang luar biasa terhadap kebutuhan Spiritualitas sebagai respon sosial,budaya, politik dan mereka akan mencari bentuk yang baru diluar ajaran agama mainstream. Fatwa Sesat MUI yang didasarkan pada sepuluh kriteria sepertinya tidak akan memberikan jawaban dan solusi terkait Eks Gafatar karena negera Indonesia pun menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan dan kepercayaan masing-masing sesuai dengan UUD 45 dan pancasila sepanjang mereka tidak melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).