Apakah pernah terpikir oleh kita bagaimana hidup dijalani? Hanya sekedar bangun lalu memulai aktivitas dari pagi sampai petang selama bertahun-tahun atau pernah terbesit keinginan dan harapan untuk membuat hidup kita layak dijalani dan bermakna sehingga ketika kita sudah meninggalkan dunia ini tidak akan pernah ada penyesalan?
Setiap hari kita diberi kesempatan untuk bisa menjalani hidup dengan berbagai macam skenario, namun terkadang kita lupa untuk menikmatinya. Kesibukan yang dijalani membuat kita terkadang abai bahkan tentang hal kecil sekalipun yang sebenarnya patut disyukuri. Ketika kita sehat ada banyak dari kita yang sering sekali lupa makan dan menganggap hal tersebut biasa aja. Namun fakta ini akan berubah haluan ketika kita dihadapkan pada kondisi kesakitan. Makan yang dianggap aktivitas abu-abu antara penting dan tidak penting akan menjadi hal yang sangat berharga ketika kita sakit, terimakasih untuk indera pengecap yang terasa pahit. Hal-hal lain seperti bertemu orang tua, mengirim pesan pada saudara juga terkadang menjadi hal yang luput dari perhatian kita. Namun hal ini akan jadi mahal hargannya ketika kita kehilangan salah satu dari  mereka. Ya inilah hidup - penuh  keabaian dan arogansi bahkan untuk sekedar bertukar kabar.
Paul Kalanithi tentu menjadi sosok yang sangat tepat jika ditanya tentang seseorang yang selalu mengusahakan yang terbaik selama masa hidupnya. Menjadi seorang doketr baginya adalah sebuah panggilan hidup, bisa dikatakan juga sebuah takdir. Lalu apakah dia selalu mendapat hasil yang terbaik sepanjang karir? Atau ia selalu merasa iba pada setiap pasiennya? Jawabannya tentu tidak, dia juga manusia.
Dalam tulisannya, ia secara gamblang mengakui jika terkadang moralitasnya sering dipertanyakan. Reaksinya yang biasa saja ketika sedang mengiris tubuh pasien sempat membuatnya bertanya-tanya dimana hati nuraninya. Namun, bukan itu inti dari novel ini. Paul Kalanithi hanya ingin mengatakan yang sejujurnya tentang apa makna hidupnya, apalagi ketika dihadapkan pada kematian.
Dalam sisa hidupnya dia mengupayakan hal-hal yang akan membuat pembacanya terharu. Tidak ada kata menyerah dalam hidupnya, bahkan ketika kanker terus menggerogotinya. Ia selalu berharap bahkan jika kematian adalah akhir dari semua perjuangannya, setidaknya ia tidak meninggalkan dunia ini dengan sia-sia. Menjelang akhir hidupnya, ia masih mengabdikan diri menjadi seorang dokter, suami, anak, dan ayah. Sesuatu yang pastinya sulit ditopang tubuh ringkihnya. Namun inilah jalan yang ia pilih. Ia tidak ingin berpisah dengan orang-orang yang dicintai dalam keadaan menyedihkan. Ia ingin menjadi seseorang dengan moralitas yang baik.
Tulisan demi tulisan dari novel ini adalah hasil kejujurannya melihat dunia dan kematian. Ia pasrah akan takdir yang didapatnya namun tetap ingin menjadi seseorang yang bermakna dalam menjalani hidup. Ia tidak sempurna, namun ia tetap mengusahakan segalanya bahkan di saat tubuhnya tak mau bekerja sama.
Salah satu novel terbaik yang pernah saya baca. Paul Kalanithi akan menjadi satu dari banyak sosok yang menginspirasi saya untuk menjalani hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H