Mohon tunggu...
Rahmanisa Munawaroh
Rahmanisa Munawaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Langkah Besar ASEAN Kurangi Ketergantungan Dolar AS

30 April 2023   14:02 Diperbarui: 30 April 2023   14:04 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari : https://www.foxbusiness.com/economy/strongest-us-dollar-years-double-edged-sword

Mata uang yang biasa digunakan dalam transaksi perdagangan internasional di berbagai negara adalah mata uang Dolar Amerika Serikat. Kuatnya pengaruh Dolar AS di mata dunia menjadikan negara-negara memiliki ketergantungan pada Dolar AS, akibatnya negara-negara di dunia harus tunduk dan patuh terhadap yurisdiksi AS. Lambat laun, banyak berbagai peristiwa dunia yang menyebabkan volatilitas Dolar AS. Dampaknya, pertukaran nilai tukar mata uang negara lain terhadap dolar berfluktuasi dari waktu ke waktu (dilansir dari SindikatPost, 17/02/2022). Sadar akan dampak volatilitas yang menyebabkan apresiasi dan depresiasi mata uang dan pentingnya diversifikasi mata uang dalam menjaga stabilitas ekonomi, sejumlah negara mulai mengurangi ketergantungan Dolar AS. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Dilansir oleh CNBC Indonesia, Fakta bahwa banyak negara yang mulai mengurangi ketergantungan dolar AS dapat dilihat dari data Dana Moneter Internasional (IMF) terkait porsi cadangan devisa dalam USD. Dalam data tersebut, menyatakan bahwa porsi cadangan devisa dalam mata uang dolar AS di dunia terus mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari porsi cadangan devisa dalam USD tahun 2016 masih sekitar 65,46% dari cadangan devisa global, dan di akhir 2022 porsinya menurun menjadi 58,36% dari cadangan devisa global.

Dikutip dari laman resmi Bank Indonesia, langkah strategis yang dilakukan BI dalam mengurangi dominasi USD adalah dengan mendorong penyelesaian transaksi keuangan antarnegara dengan menggunakan LCS (Local Currency Settlement) hal ini sejalan dengan Peraturan BI No. 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal. LCS sendiri yaitu penyelesaian transaksi bilateral antar dua negara dalam wilayah salah satu negara dengan menggunakan mata uang negara tersebut. LCS ini merupakan bentuk implementasi diversifikasi mata uang. Sejak tahun 2018, BI menginisiasi kerja sama sistem pembayaran perdagangan internasional menggunakan LCS dengan beberapa negara ASEAN. Nama LCS sendiri telah diubah oleh BI menjadi Local Currency Transaction (LCT), hal ini terjadi karena akan adanya perluasan fungsi LCS yang mencakup pembayaran transaksi individu dan tidak hanya terpaku pada settlement perdagangan.

Hingga saat ini, kerja sama LCT sudah terjalin dengan 4 negara mitra dagang terbesar di Indonesia. Ke-empat negara tersebut diantaranya Thailand, Malaysia, Jepang dan China. Sementara untuk Singapura, baru penandatanganan MoU pada 29 Agustus 2022 dan sedang dalam tahap penjajakan untuk diimplementasikan pada tahun 2023 ini. Rencananya, perjanjian kerja sama LCT ini akan diperluas dengan negara Korea Selatan, India bahkan Arab Saudi (Dikutip dari CNBC Indonesia, 10/04/2023). Implementasi LCT ini sudah berjalan secara efektif, hal ini dibuktikan dalam catatan BI yang menyatakan bahwa total transaksi LCT mencapai 3,8 miliar USD pada tahun 2022. Angka tersebut naik dibandingkan pada tahun 2021 yang sebesar 2,5 miliar USD.

Dikutip dari CNN Indonesia, ketika LCT mulai diterapkan maka penyelesaian transaksi antar kedua negara dapat dilakukan tanpa menggunakan dolar AS. Sehingga transaksi menjadi lebih mudah, murah, singkat dan efisien. Hal ini karena pelaku usaha tidak perlu mengonversi mata uang lokal ke dolar AS dan dari dolar AS ke mata uang lokal setempat. Sehingga penerapan LCT ini memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Selanjutnya, penerapan LCT dapat mengurangi ketergantungan dolar AS dan sekaligus menjaga bahkan meningkatkan stabilitas nilai tukar mata uang lokal. Sehingga ketika terjadi ketidakpastian global, mata uang lokal mampu bertahan karena outflow asing tidak begitu berdampak terhadap sektor keuangan. Kemudian, adanya kerja sama LCT dengan beberapa negara mitra ini dapat meningkatkan hubungan dagang serta memudahkan perdagangan. Hal ini penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Singkatnya, penerapan LCT ini memberikan banyak dampak positif. Diantaranya, dapat  mempermudah hubungan transaksi bilateral antar pelaku usaha dari negara mitra karena biaya transaksi menjadi lebih rendah melalui settlement perdagangan yang lebih efisien dan juga kesediaan likuiditas yang terjamin, sehingga dapat mengurangi risiko volatilitas nilai tukar (dikutip dari laman resmi BI). Kemudian, tersedianya alternatif pembiayaan perdagangan dan investasi langsung dalam mata uang lokal serta tersedianya alternatif instrumen lindung nilai dalam mata uang lokal (dilansir dari IDX Channel Insight, 23/01/2023).

Bambang Brojonegoro (ekonom senior yang juga Menteri Keuangan pada Periode 2014-2016) menilai banyaknya negara yang bersikap ingin meninggalkan Dolar AS ini tidak lepas dari kondisi Dolar AS yang saat ini sedang mahal. "Ini kan data kebetulan dolarnya sedang mahal sebagai akibat tingkat bunga yang relatif tinggi akibat konsekuensi kebijakan menahan inflasi sehingga banyak negara yang barangkali khawatir kalo ketergantungan terhadap USD itu tidak hanya menghambat akan perdagangan tapi juga bisa menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan barangkali dolar menjadi langka karena harga yang relatif tinggi tersebut maka  dari itu perlu diupayakan kerja sama atau pada intinya penyatuan mata uang atau pemanfaatan mata uang domestik", jelas Bambang.

Destry Damayanti (Deputi Gubernur Senior BI), mengatakan upaya Indonesia dalam mengurangi dominasi USD adalah melalui kebijakan Local Currency Transaction (LCT). Dengan LCT, BI bersama dengan bank sentral negara mitra dapat melakukan kebijakan bilateral sehingga penyelesaian transaksi perdagangan dapat menggunakan mata uang lokal tanpa harus mengonversi ke dalam USD. "LCS akan memberikan pricing menarik, karena eksportir dan importir yang biasanya harus mengonversi mata uangnya ke dolar AS dulu baru ke mata uang negara mitra dagang, sekarang bisa langsung. Harga akan menjadi kompetitif," jelas Destry. (dikutip dari CNBC News Indonesia)

Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan transaksi bilateral menggunakan LCT penting dlam mendorong pemulihan ekonomi apalagi ditengah ketidakpastian ekonomi global. Dalam webinar yang menjadi rangkaian pertemuan G20, menteri Sri Mulyani mengungkapkan LCT antar negara relevan dalam agenda G20 di jalur keuangan yang merupakan exit strategy yang mendukung pemulihan, dengan ini diharapkan stabilitas makro akan semakin kuat dan berkelanjutan, tidak hanya di masing-masing negara tapi juga secara global.

Yi Gang, Gubernur People's Bank of China (PBC), meyakinkan bahwa skema kerja sama penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal (LCT) dapat meningkatkan perdagangan dan investasi. Hal tersebut dinyatakan melalui implementasi LCT antara China dengan Indonesia yang dipercaya memperkuat ekonomi kedua negara sekaligus mendukung percepatan pemulihan ekonomi di kawasan Asia. Yi Gang pun mengemukakan bahwa sejauh ini terdapat kemajuan substansial dalam penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan dan investasi regional. Sehingga, ekonomi Asia lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun