Pada tahun 2024, Indonesia diguncang oleh sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang membuka kesadaran kita akan parahnya situasi ini. Salah satunya adalah kasus di penghujung tahun oleh I Wayan Agus Suartama, yang dikenal sebagai Agus Buntung, seorang penyandang tunadaksa di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Agus diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 17 perempuan, dengan modus memanfaatkan rasa percaya korban terhadap kondisinya.
Kasus Agus Buntung hanyalah salah satu dari ribuan cerita pilu yang terungkap sepanjang tahun tersebut. Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebanyak 27.685 perempuan menjadi korban kekerasan pada 2024. Kekerasan rumah tangga mendominasi dengan 60.6 %, disusul kekerasan lainnya  21.14% dan sekolah 6.3%.  Angka ini menyoroti bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai kalangan, baik di ranah domestik maupun publik, tanpa memandang usia, status sosial, atau pendidikan.
Dampak Kekerasan terhadap Perempuan
Perempuan dari berbagai latar belakang sering kali menjadi target kekerasan, baik secara fisik, seksual, maupun psikis. Lingkungan yang seharusnya memberikan perlindungan justru kerap menjadi sumber ancaman. Ranah domestik, seperti hubungan keluarga atau pasangan, tercatat sebagai tempat dengan angka kekerasan tertinggi. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender.
Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah individu, tetapi juga sosial yang berdampak luas pada masyarakat. Selain menyisakan luka fisik dan psikologis yang mendalam bagi korban, kekerasan ini juga mempengaruhi kualitas hidup perempuan dalam berbagai aspek. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan terpaksa menanggung beban psikologis dan sosial yang berat. Mereka akan menghadapi stigma atau bahkan dipersalahkan atas kejadian yang menimpa mereka. Beberapa korban juga terhambat dalam menjalani kehidupan profesional atau pendidikan mereka karena trauma atau ketakutan akan berlanjutnya kekerasan.
Bahkan tidak hanya perempuan yang mengalami kekerasan langsung, Dalam banyak kasus, anak-anak yang menyaksikan kekerasan di rumah mengalami trauma jangka panjang yang mempengaruhi perkembangan psikologis mereka. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga berdampak pada ketidaksetaraan gender dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, dan pendidikan. Ketika perempuan menjadi korban kekerasan, mereka sering kali kehilangan kesempatan untuk berkembang secara maksimal.
Faktor-Faktor yang Memicu Kekerasan terhadap Perempuan
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan terjadi. Salah satunya adalah budaya patriarki yang masih sangat kuat dalam masyarakat Indonesia. Budaya ini menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, sementara perempuan dianggap lebih rendah. Hal ini buruk ini berujung memunculkan kekerasan fisik, verbal, atau seksual terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan dianggap sebagai objek yang dapat dikendalikan dan diperlakukan semena-mena.
Selain itu, faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam memicu kekerasan. Ketika ekonomi keluarga tidak stabil atau ada masalah finansial, sering kali kekerasan menjadi salah satu cara untuk melepaskan ketegangan. Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, dan judi juga dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang hak-hak perempuan dan kurangnya pendidikan tentang kesetaraan gender juga memperburuk situasi ini.
Media juga memiliki peran besar dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya melawan kekerasan terhadap perempuan. Namun, media yang tidak bertanggung jawab terkadang malah memperburuk keadaan dengan menormalisasi kekerasan melalui pemberitaan yang kurang sensitif terhadap masalah gender. Dalam beberapa kasus, media justru mengarah pada blaming the victim, yaitu menyalahkan korban, yang justru memperburuk stigma dan memperpanjang proses pemulihan mereka.
Momen untuk Perubahan di Tahun 2025
Perlunya berkomitmen untuk melakukan perubahan nyata dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2025 dan seterusnya. Meskipun ada kemajuan dalam hal regulasi dan kesadaran sosial, kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi tantangan besar yang memerlukan langkah-langkah lebih lanjut dan lebih komprehensif.
Pertama, penting untuk memperkuat implementasi kebijakan yang sudah ada, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pengawasan terhadap implementasi undang-undang ini harus lebih ketat untuk memastikan perlindungan yang maksimal bagi korban. Selain itu, perlu ada peningkatan koordinasi antara lembaga negara dan lembaga masyarakat untuk memperluas jangkauan layanan untuk korban, seperti penyediaan rumah aman dan layanan psikososial.
Kedua, pendekatan berbasis pendidikan harus lebih tegas. Edukasi mengenai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan harus dimulai sejak dini. Kampanye yang menyasar anak-anak dan remaja, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dapat membentuk pola pikir yang lebih sehat tentang relasi antar gender. Hal ini akan membantu mengurangi kekerasan sebagai tindakan lazim di masa depan.