Mohon tunggu...
chens
chens Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

I Never Lose I Either Win or Learn

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Estimate Output Gap dan Inflation Gap di Indonesia pada Kebijakan Moneter

29 November 2023   04:01 Diperbarui: 29 November 2023   04:27 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstract

The data used in this study is Indonesia's gross domestic product (GDP) (real GDP) sourced from the Central Bureau of Statistics. The data period used in this study is 2012 Q1 (quarter 1) to 2022 Q4 (quarter 4). The derivation of the Hodrick-Prescoot filter follows the derivative of the King and Rebelo (1993) filter. The result of this study is that the output value is negative, which indicates that the actual output value is lower than the potential output value. This means that economic growth is not optimal. While the inflation value is positive which indicates that the actual inflation value is higher than the potential value.

Keywords: Hodrick-Prescoot filter, Output gap, inflasi gap

Abstrak

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk domestik bruto (PDB) Indonesia (PDB riil) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2012 Q1 (kuartal 1) hingga 2022 Q4 (kuartal 4). Penurunan filter Hodrick-Prescoot mengikuti turunan dari filter King dan Rebelo (1993). Hasil dari penelitian ini adalah Nilai output bernilai negatif yang menunjukkan bahwa nilai output aktual lebih rendah dibandingkan dengan nilai output potensialnya. Hal tersebut berarti pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Sedangkan nilai inflasi bernilai positif yang mengindikasikan bahwa nilai inflasi aktual lebih tinggi dibandingkan dengan nilai potensialnya.

Kata Kunci: Hodrick-Prescoot filter, Output gap, inflasi gap

 

PENDAHULUAN

Output potensial didefinisikan sebagai tingkat maksimum produksi yang dipertahankan secara berkelanjutan, tanpa ketegangan dalam perekonomian, dan lebih tepatnya tanpa ketegangan dalam perekonomian, dan lebih tepatnya tanpa akselerasi inflasi. Kesenjangan output adalah perbedaan antara produksi efektif dan tingkat produksi potensial yang dipertimbangkan. Tingkat produksi potensial dianggap sebagai indikator penawaran, dan kesenjangan output mewakili kelebihan (atau kekurangan) permintaan. Dalam bentuk ini, angka positif untuk kesenjangan menunjukkan kelebihan permintaan dan angka negatif menunjukkan kelebihan kapasitas. Kesenjangan output mewakili pergerakan sementara dari output potensial.

Metodologi fungsi produksi seperti yang diterapkan di IMF merupakan penengah antara model struktural skala penuh untuk menentukan output potensial, dan pendekatan univariat yang lebih mekanis seperti pendekatan tren tersegmentasi, atau filter Hodrick-Prescoot. Estimasi tersebut bergantung pada penerapan bentuk fungsional pada proses produksi, tetapi tidak memerlukan pemodelan eksplisit dari permintaan dan penawaran faktor produksi atau faktor penentu produktivitas faktor total. Terdapat beberapa asumsi dari pendekatan ini secara implisit yaitu: (1) terjadi input potensial modal dan tenaga kerja dapat ditentukan oleh perilaku pengangguran relatif terhadap tingkat pengangguran alamiahnya, dan deviasi output dari tingkat normalnya dalam jangka pendek,; dan (2) pertumbuhan modal, labour, dan produktivitas faktor total yang diwujudkan dalam proyeksi output potensial dapat didasarkan pada perkiraan tentang tren dalam ekonomi makro.

Evaluasi output potensial akan memiliki makna ketika didukung oleh representasi teoritis yang koheren dari perekonomian. Secara umum, dapat dispekulasikan bahwa output potensial berhubungan dengan posisi keseimbangan ideal untuk semua variabel output. Hal ini tentu menentukan posisi khusus sesuai dengan "kondisi mapan". Kondisi mapan ini sangat penting dan interpretasinya dapat berbeda sesuai dengan teori-teori ekonomi alternatif. Representasi yang sangat sederhana dari keragaman tersebut dapat dilihat pada interpretasi berikut ini:

Menurut  "Keynesian", kondisi stabil, dan sebagai konsekuensinya, output potensial, adalah semacam kondisi asimtotik dan ekonomi biasanya berfluktuasi di sekitarnya. Oleh karena itu, analisis kesenjangan output mencerminkan fluktuasi siklus bisnis di sekitar keseimbangan jangka panjang.

Dalam dunia "moneter", perekonomian seharusnya secara konstan berada pada kondisi steady state (keseimbangan), oleh karena itu, pada output potensialnya. Hanya guncangan yang dapat menghasilkan fluktuasi di sekitarnya. Oleh karena itu, guncangan jangka panjang menentukan output potensial dan guncangan sementara memasuki kesenjangan output.

Identifikasi dapat dilakukan dengan dua cara yang berbeda dalam melihat fluktuasi ekonomi yaitu interpretasi "deviasi tren" terhadap perubahan produksi secara keseluruhan, dan pandangan bagaimana "penutupan kesenjangan" terhadap fenomena siklus yang ada (Chagny dan Dpke, 2001). Dalam hal ini, menunjukkan bahwa pendekatan jangka menengah, konsep output potensial cenderung diasimilasikan dengan konsep tren dan kesenjangan output dengan deviasi dari tren. Sebagai alternatif, apabila terdapat fokus pada jangka pendek, evolusi kesenjangan output sesuai dengan fluktuasi ekonomi, terutama terkait dengan komponen siklus dalam perekonomian.  Jika dianalisis melalui sudut pandang siklus, analisis kesenjangan output dapat mengidentifikasi fase siklus bisnis (akselerasi/perlambatan). Sebaliknya, dari sudut pandang tren, kesenjangan output mengidentifikasi penyimpangan tren dan analisis gabungan antara output potensial dan kesenjangan output (komponen siklus/tren) memungkinkan untuk mendeteksi titik-titik pemulihan/resesi. Untuk menghindari kebingungan, perlu ditegaskan bahwa konsep siklus bisnis dan tren adalah murni statistik, sementara output potensial dan kesenjangan output berasal dari teori ekonomi. Meskipun fitur-fitur dari siklus bisa sangat mirip, konsekuensinya dalam hal dampak dari kebijakan stabilisasi adalah signifikan.

Sebaliknya, output gap yang positif mengindikasikan bahwa nilai output lebih tinggi dari output optimum. Output gap yang positif biasanya ditandai dengan adanya kelebihan permintaan, sehingga tingkat harga cenderung mengalami kenaikan yang signifikan atau tingkat inflasi yang relatif tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang melebihi optimumnya juga menyebabkan meningkatnya permintaan barang impor, sehingga neraca perdagangan menjadi defisit atau neraca transaksi berjalan mengalami defisit yang pada akhirnya dapat memicu sentimen negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan, terutama terhadap nilai tukar rupiah. Kondisi perekonomian dengan output gap yang positif biasanya disebut dengan overheating. Ketika output gap positif, pemerintah dapat melakukan kebijakan fiskal kontraktif untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi agar tidak overheating. Kebijakan tersebut antara lain dengan menaikkan pajak, termasuk menaikkan pajak impor bahan baku dan bahan penolong, mengurangi pengeluaran pemerintah, menaikkan harga BBM bersubsidi, dan beberapa kebijakan lain yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

"Trend deviation" merupakan kebijakan stabilisasi yang hanya dapat mengurangi variabilitas data yang diamati di sekitar tren tanpa adanya  kemungkinan untuk mempengaruhi pertumbuhan. Pada realitanya, pandangan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ditentukan oleh faktor-faktor lain, yang dapat diasumsikan bersifat eksogen. Ini adalah skenario umum dari kebijakan stabilisasi yang optimal dan kinerjanya diukur dalam bentuk fungsi kerugian kuadratik yang dihitung berdasarkan variabel-variabel yang didefinisikan sebagai deviasi dari jalur keseimbangan. Dalam kasus "penutupan kesenjangan" menunjukkan bahwa kebijakan stabilisasi juga berpengaruh pada komponen pertumbuhan karena tren dan fluktuasi siklus tidak independen. Dalam pandangan ini, salah satu topik penting diwakili oleh definisi jenis fluktuasi mana yang harus dikaitkan dengan output potensial dan kesenjangan output. Sebuah kasus ekstrim diwakili oleh teori siklus bisnis riil yang mengasumsikan bahwa semua fluktuasi harus dikaitkan dengan output potensial, sehingga kesenjangan output hanya diwakili oleh faktor acak.

Dari sisi kebijakan moneter, bank sentral dapat mempertimbangkan untuk melakukan kebijakan moneter longgar seperti menurunkan suku bunga dan menambah jumlah uang beredar agar penyaluran kredit meningkat, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, relaksasi makroprudensial seperti peningkatan rasio loan-to-value (LTV) dan loan-to-deposit ratio juga dapat menjadi pilihan kebijakan untuk mendorong peningkatan aktivitas ekonomi dan beberapa kebijakan moneter lainnya. Dalam situasi yang sama, otoritas moneter juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan cara menaikkan suku bunga, memperlambat pertumbuhan jumlah uang beredar sehingga dapat memperlambat pertumbuhan kredit yang pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, otoritas moneter juga dapat melakukan kebijakan makroprudensial dengan menurunkan loan-to-value ratio (LTV) atau loan-to-deposit ratio (LDR) dan lain-lain.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, hal tersebut menggambarkan tingkat urgensi estimasi output gap karena dapat menjadi indikator ringkas adanya excess demand dan excess supply dalam perekonomian. Dalam jangka pendek, kedua hal tersebut dapat menimbulkan tekanan inflasi atau deflasi yang pada akhirnya dapat direspon dengan kebijakan moneter dan fiskal yang tepat. Meskipun isu output gap sangat penting dalam perumusan kebijakan fiskal dan moneter, studi komprehensif mengenai hal ini di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi karena baik output potensial maupun output gap belum banyak dipahami.

METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk domestik bruto (PDB) Indonesia (PDB riil) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2012 Q1 (kuartal 1) hingga 2022 Q4 (kuartal 4).Penurunan filter Hodrick-Prescoot mengikuti turunan dari filter King dan Rebelo (1993). Filter HP didasarkan pada asumsi bahwa proses deret waktu dapat dimodelkan sebagai penjumlahan dari komponen pertumbuhan dan komponen siklus. Dalam literatur siklus bisnis riil, komponen pertumbuhan sebaiknya dihilangkan, apakah itu tren stokastik atau deterministik, agar dapat mempelajari perilaku komponen siklis dan membandingkan perilaku tersebut di antara seri yang berbeda. Filter HP mencapai hal ini dengan mendefinisikan komponen siklus.  

Metode ini digunakan untuk mendapatkan perkiraan komponen tren jangka panjang. Secara teknis, metode ini adalah filter linier mundur-maju yang digunakan untuk menghitung deret tren yang diperhalus (s) dari output (y) dengan meminimalkan fungsi kerugian (L) yang merupakan varians y di sekitar s dengan penalti tertentu.  Parameter penalti mengontrol kehalusan deret st, semakin besar nilainya, semakin halus perkembangan st. Ketika mencapai tak terhingga, st mendekati pola tren linier. Hodrick dan Prescot merekomendasikan = 1600 untuk data kuartalan dan = 100 untuk data tahunan.  Filter Hodrick dan Prescott adalah metode univariat yang paling dikenal dan paling umum digunakan untuk memperkirakan output potensial. Metode ini banyak digunakan dalam karya ilmiah dan juga oleh organisasi-organisasi internasional seperti IMF dan OECD. Di Uni Eropa, metode ini digunakan oleh Direktorat Urusan Ekonomi dan Keuangan dan Direktorat Ekonomi Bank Sentral Eropa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesenjangan output didefinisikan sebagai perbedaan antara output aktual dan output potensial. Output aktual adalah nilai output aktual perekonomian, sedangkan output potensial adalah nilai output optimal perekonomian yang dapat dianggap permanen dan berkelanjutan dalam jangka menengah tanpa adanya guncangan dan tekanan inflasi. Hasil estimasi output potensial dengan menggunakan metode HP filter disajikan pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1. Pendekatan metode ini cenderung menghasilkan estimasi PDB potensial yang lebih rendah dari PDB aktual.

Gambar 1.1 Output Gap Estimation Result Using HP filter

Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan Hodrick Prescott Filter (HP) pada penelitian ini, nilai output bernilai negatif yang menunjukkan bahwa nilai output aktual lebih rendah dibandingkan dengan nilai output potensialnya. Hal tersebut berarti pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka diprediksi perekonomian akan berada dalam kondisi kelebihan penawaran sehingga tingkat harga juga cenderung mengalami penurunan atau deflasi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal juga menyebabkan peningkatan pengangguran dan penurunan penerimaan pajak.

Jika output gap negatif, maka diperlukan kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif seperti melalui pemotongan pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong peningkatan ekspor dengan memberikan insentif kepada para eksportir, terutama eksportir manufaktur. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan kelonggarkan dalam kebijakan impor bahan baku dan bahan penolong untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri, meningkatkan belanja pemerintah, dan beberapa kebijakan fiskal lainnya. Dari sisi kebijakan moneter bank sentral mempertimbangkan untuk membuat kebijakan moneter longgar dengan cara menurunkan suku bunga dan menambah jumlah uang beredar agar penyaluran kredit meningkat, dan dengan demikian pertumbuhan   ekonomi. Bank sentral juga memberikan relaksasi makroprudensial seperti peningkatan rasio loan-to-value (LTV) dan loan-to-deposit ratio juga dapat menjadi pilihan kebijakan untuk mendorong peningkatan aktivitas ekonomi serta beberapa kebijakan moneter lainnya.

Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan Hodrick Prescott Filter (HP) pada penelitian ini, nilai output bernilai negatif yang menunjukkan bahwa nilai output aktual lebih rendah dibandingkan dengan nilai output potensialnya. Hal tersebut berarti pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka diprediksi perekonomian akan berada dalam kondisi kelebihan penawaran sehingga tingkat harga juga cenderung mengalami penurunan atau deflasi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal juga menyebabkan peningkatan pengangguran dan penurunan penerimaan pajak.

Jika output gap negatif, maka diperlukan kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif seperti melalui pemotongan pajak untuk mendorong konsumsi dan investasi yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong peningkatan ekspor dengan memberikan insentif kepada para eksportir, terutama eksportir manufaktur. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan kelonggarkan dalam kebijakan impor bahan baku dan bahan penolong untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri, meningkatkan belanja pemerintah, dan beberapa kebijakan fiskal lainnya.

Dari sisi kebijakan moneter bank sentral mempertimbangkan untuk membuat kebijakan moneter longgar dengan cara menurunkan suku bunga dan menambah jumlah uang beredar agar penyaluran kredit meningkat, dan dengan demikian pertumbuhan   ekonomi. Bank sentral juga memberikan relaksasi makroprudensial seperti peningkatan rasio loan-to-value (LTV) dan loan-to-deposit ratio juga dapat menjadi pilihan kebijakan untuk mendorong peningkatan aktivitas ekonomi serta beberapa kebijakan moneter lainnya.

Gambar 1.2 Inflation Gap Estimation Result Using HP filter

Dokpri
Dokpri

UU No.23 Tahun 1999 mengamanatkan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah (tujuan tunggal). Untuk mencapai mandat ini, Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter. Kerangka kerja ini secara resmi diterapkan sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan base money sebagai target kebijakan moneter. Kerangka kerja ITF ditandai dengan penetapan target inflasi yang diumumkan secara terbuka dan inflasi menjadi tujuan utama kebijakan moneter. Penerapan ITF di Indonesia menekankan pentingnya pengendalian ekspektasi inflasi untuk mencapai target inflasi jangka panjang yang rendah dan stabil di kisaran 3% agar dapat bersaing dengan negara lain.

Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter dilakukan secara forward-looking yang artinya perubahan posisi kebijakan moneter dilakukan melalui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sejalan dengan sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Secara operasional, posisi kebijakan moneter tercermin dari penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan dapat mempengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito, serta suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan mempengaruhi output dan inflasi. Strategi kebijakan pengendalian inflasi Bank Indonesia adalah dengan menargetkan inflasi pada kisaran 1%.

Strategi kebijakan ini diarahkan untuk mencapai kestabilan inflasi dalam jangka panjang dengan tetap memberikan ruang gerak inflasi dengan pengaturan jangka pendek. Penetapan sasaran inflasi dilakukan dengan tujuan untuk mengarahkan ekspektasi dan menjadi acuan bagi para pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitasnya di masa yang akan datang sehingga pergerakan inflasi dapat terarah pada arah yang telah ditetapkan.

Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan Hodrick Prescott Filter (HP) pada penelitian ini, nilai inflasi bernilai positif yang mengindikasikan bahwa nilai inflasi aktual lebih tinggi dibandingkan dengan nilai potensialnya. Berdasarkan hal tersebut, maka diprediksi bahwa perekonomian dicirikan dengan adanya kelebihan permintaan sehingga tingkat harga cenderung mengalami kenaikan yang signifikan atau tingkat inflasi yang relatif tinggi.

KESIMPULAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk domestik bruto (PDB) Indonesia (PDB riil) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2012 Q1 (kuartal 1) hingga 2022 Q4 (kuartal 4). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Nilai output bernilai negatif yang menunjukkan bahwa nilai output aktual lebih rendah dibandingkan dengan nilai output potensialnya. Hal tersebut berarti pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka diprediksi perekonomian akan berada dalam kondisi kelebihan penawaran sehingga tingkat harga juga cenderung mengalami penurunan atau deflasi.

Nilai inflasi bernilai positif yang mengindikasikan bahwa nilai inflasi aktual lebih tinggi dibandingkan dengan nilai potensialnya. Berdasarkan hal tersebut, maka diprediksi bahwa perekonomian dicirikan dengan adanya kelebihan permintaan sehingga tingkat harga cenderung mengalami kenaikan yang signifikan atau tingkat inflasi yang relatif tinggi.

REFERENCE

1,2,2,3De Masi P. IMF Estimates of Potential Output: Theory and Practice. IMF Work Pap. 1997;97(177):1. doi:10.5089/9781451974980.001

Nasution D, Hendranata A. Estimasi Output Gap Indonesia. Estim. Published online 2014.

Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (2015). Estimasi Output Gap Indonesia. Published online 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun