Masih jelas dalam benak seorang pelajar yang dulunya ketika berpulang dari sekolah harus segera membantu ibu untuk membersihkan rumah dan membantu seorang ayah walaupun hanya untuk sekedar melihat hasil pertanian mereka yang sudah lama mereka kerjakan. Terlihat tampak wajah mereka yang lelah selama menimba ilmu di sekolah, sesampai dirumah disajikan makanan siang yang siap untuk disantap bersama keluarga mereka dirumah. Permainan tradisional pun kerap menjadi pelepas beban mereka, untuk mengisi kekosongan disiang yang diterik itu, sinar matahari rasanya dengan bangga memberikan cahaya yang begitu menyilaukan mata mereka, walaupun tanah mereka berada pada daratan tinggi, sehingga sengatan matahari tidak terlalu sengat karena bercampur dengan udara dingin pegunungan. Kiranya itu mungkin sekitar kurang lebih 4 bulan yang lalu mereka masih merasakan keindahan alam di balik kaki gunung sinabung. Sekitar 4 bulan yang lalu mereka masih merasakan udara sejuk dengan ditemani dengan suara kicauan burung serta lolongan anjing ketika malam hari. Berkokok seekor ayam pertanda pagi menjelang dengan dingin yang begitu menusuk hingga ketulang. Mereka bangun membantu ibu menyiapkan sarapan pagi dan mereka pun sibuk dengan seragam sekolah mereka untuk siap berangkat menuju tempat dimana nanti dari sana mereka akan menjadi orang sukses. Tugas dari sekolah pun tak lupa untuk mereka siapkan dimalam hari dengan ditemani makanan ringan seadanya. Kini suasana seperti itu tidak akan pernah ada dan tak tahu kapan akan bertemu kembali, rasanya sudah rindu itu sudah mulai timbul, dengan suasana rumah ketika mereka berpulang dari sekolah. Berkumpul dengan ayah dan ibu serta adik-adik mereka yang masih kecil. Gunung yang dulunya merupakan pemandangan yang indah untuk sekedar mereka lihat ketika membuka pintu rumah sebelum berangkat ke sekolah, kini berubah menjadi musuh bagi mereka, semburannya membuat rumah dan pertanian mereka habis tertutup dengan debu dari muntahan gunung itu. Mereka tidak pernah menyalahkan gunung itu, mereka hanya bisa menerima semua itu. Mereka paham dengan takdir, mereka juga paham dengan kondisi alam yang mungkin sedang menegur atau hanya menyapa mereka ketika pagi itu. Semburan Awan panas itu menyebabkan mereka harus meninggalkan istana yang megah, debu vulkanik pun berserakan di atas atap istana. Mereka hanya bisa menyaksikan kehebatan Sang Maha Kuasa dari kejauhan sambil melihat istana yang dulu tempat bermain mereka kini hancur bergabung dengan tanah dan debu vulkanik dari Erupsi Gunung Sinabung. Membuat para “Laskar Pelangi” dan keluarganya haru mengunngsi ke tempat yang sudah disiapkan oleh Tim Sar. Setibanya dilokasi pengungsian para “laskar pelangi” itu tidak pernah sedih dan tidak pernah merasa takut akan masa depan mereka dan keluarga mereka ketika melihat istana mereka hancur. Para pelajar itu tetap bersemangat sambil menunggu malam hingga pagi, pagi hingga malam di posko pengungsian sampai akhirnya mereka yakin dengan dirinya untuk segera menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawab mereka untuk sekedar mendapatkan Ijazah yang menandakan mereka selesai menimba ilmu di sekolah. Di Posko pengungsian tidak banyak yang tahu bahwa mereka rindu dengan suasana daerah yang telah membesarkan mereka sampai hari ini.
Setiap paginya tepat di Posko Pengungsian terdapat mobil berwarna hijau tua, dengan penutup tenda dibelakangnya, dengan gagahnya mobil itu siap mengantarkan para Laskar Pelangi itu untuk menuju tempat mereka menimba ilmu. Bapak-bapak yang biasanya terlihat sangar dan berwibawa dengan seragam lorengnya, kini sudah mulai terbiasa dengan suasana setiap paginya untuk mengantarkan mereka berangkat menuju sekolah. Semangat bapak-bapak berpakaian loreng ini semakin memacu semangat mereka untuk segera menaikin mobil besar yang ketika menaikinnya harus sedikit memanjat supaya sampai berada di punggung mobil itu. Mobil yang dulunya hanya digunakan untuk mengangkut para personel berpakian loreng ini pun berubah menjadi pengangkut para “Laskar Pelangi” dengan seragam sekolah yang sudah mulai tampak lesu.
Bencana yang menimpa tanah mereka membuat mereka sadar, walaupun bencana terjadi di tanah tempat mereka dulu bermain sudah habis. Mereka lebih mengedepankan dunia pendidikan mereka dari pada harus terus bersedih dengan kejadian ini. Rasanya pendidikan bagi mereka lebih penitng dari pada harus keseringan bersedih. Pendidikan merekalah yang nantinya akan membawa mereka untuk mmeperbaikan istana mereka kecil dulu. Karena dari sini lah mereka akan terus mengasah kemampun mereka dalam menimba ilmu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mendapatkan pekerjaan yang membuat mereka bisa mengembalikan istana mereka. Paling tidak walaupun orang tua mereka tidak bisa lagi memberikan sekedar uang jajan mereka untuk membeli bakso tusuk, mereka tetap dan akan berangkat ke sekolah setiap paginya. Semoga saja semangat para “Laskar Pelangi” Tanah Karo ini terlihat oleh mereka yang berdasi, dengan sepatu kilat, sambil memegang putung rokok ditangannya. Harapan kedepan bapak-bapak berdasi itu harus bisa melihat dan membuat mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan mereka sampai mereka sudah lelah untuk mengejar ilmu. Paling tidak cita-cita yang dulu merek tuliskan di kertas putih itu, bisa mereka gapai dengan perjuangan walaupun mereka sedang dilanda kesedihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H