Majunya pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, Anies Baswedan – Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti – Sylviana Murni, tidak terlepas dari sosok dibelakang pencalonan ini. Pasangan Anis-Sandi (poros Hambalang) didukung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan pasangan Agus-Sylviana (poros Cikeas) didukung oleh Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kedua poros ini tidak terlepas dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto (PS). Dua orang purnawirawan jenderal ini berada dibalik dua pasangan calon ini, yang terbentuk saat injury time pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI tahun 2017.
Beragam pendapat, pandangan, apresiasi, harapan, tetapi juga, cibiran, cemooh bahkan hujatan mewarnai deklarasi dua pasangan calon ini. Hal yang lumrah dalam dunia politik, dimana faktor suka dan tidak suka sangat dominan.
Publik boleh saja tidak merespon positif, tapi bagi dua orang jenderal, inilah bakal calon yang diharapkan mampu memberikan perubahan bagi Jakarta serta memberikan apa yang diharapkan oleh warga ibukota dalam waktu lima tahun kedepan. Segala resiko tentunya telah dipikirkan, termasuk bagi SBY yang dianggap mematikan karir sang anak, serta PS yang legowo menjalonkan posisi DKI 1 kepada yang notabene bukan kader, bahkan dalam pilpres 2014, adalah corong sang seteru.
Terlalu dini jika publik menilai bahwa dua jenderal ini mencalonkan pasangan ini hanya untuk kepentingan masyarakat DKI lima tahun kedepan. Pilgub DKI 2017 hanyalah batu loncatan untuk target yang lebih luas. Mengapa? SBY adalah presiden dua periode, ketua umum Partai Demokrat, mantan jenderal. Hegemoni ini terus terbawa hingga saat ini. Mengkritik pemerintah saat ini dan membanding-bandingkannya dengan masa kepemimpinannya menunjukkan bahwa SBY masih memiliki hasrat untuk ikut “mengendalikan” republik ini.
Isu menjadikan Ani Yudhoyono sebabagi capres 2019 sempat mengemuka di publik. Tidak jelas asal muasal isu ini, yang pasti ini hanyalah isu yang dihembuskan untuk melihat reaksi publik terhadap keluarga SBY. SBY tentu mencermati respon masyarakat yang datar-datar saja sehingga beliau harus memutar otak.
Menaruh harapan pada putra kedua, Edhi Baskoro Yudhoyono, adalah sebuah perjudian. Ibas, adalah ketua fraksi, sekretaris jenderal partai, sudah malang melintang sebagai anggota DPR. Dengan sejumlah posisi yang diduduki, tidak menjadikan Ibas sebagai sosok yang mumpuni dan punya kapasitas sebagai calon pemimpin. Belum lagi namanya yang sering disebut sebut dalam “nyanyian” Nazarudin.
Masuknya Agus Harimurti Yudhoyono, tak lepas dari campur tangan sang jenderal. SBY dan keluarga boleh saja membantah, tetapi peran ayah tentu tidak bisa dikesampingkan. Pilihan ini sebenarnya adalah gambling bagi SBY. Namun jika dibandingkan seandainya memilih Ibas, gambaling SBY ini lebih aman dan menjanjikan. Aman, karena putra tertua ini berlatar belakang militer, relatif bersih dari cemaran dan dosa politik, betul-betul masih hijau dalam politik sehingga relatif lebih mudah dibentuk dan didoktrinasi.
Menjanjikan karena, dalam usia yang masih muda, Agus memiliki potensi untuk menjadi calon pemimpin masa depan. Seandainya dalam pilgub ini dia belum beruntung, jalan masih terbuka lebar untuknya. Jabatan ketua partai bisa disandangnya. Di partai politik dia akan diasah dan dilatih untuk menjadi politikus yang handal, yang nantinya akan dibutuhkan untuk menjadi pemimpin. Dalam pencalonan Agus, SBY cenderung nothing to lose. Kalau sukses itu adalah rejekinya, kalau belum, masih banyak waktu untuk belajar. Bagi SBY, ajang pilgub ini adalah candradimuka buat Agus untuk menjadi calon pemimpin negara di masa depan, dengan bonus jangka pendek adalah Gubernur jika dia menang kontestasi politik lima tahunan ini.
PS juga “berjudi” ketika menetapkan Anies sebagai cagub DKI 2017. Sempat menjadikan Saniaga Uno sebagai kandidat terkuat, pilihan akhirnya jatuh pada mantan mendiknas ini. Menetapkan Sandi sebagai caon gubernur, bagi PS adalah perjudian. Dari beberapa survei dan polling, Sandiaga kalah dari Anies sehingga PS berpikir lebih rasional. Memaksakan Sandi sebagai cagub lebih kecil peluangnya.
Disinilah kalkulasi mantan Danjen kopassus ini berjalan. Anies, adalah mantan juru bicara Jokowi-JK dalam kampanye pilpres 2014. Menjadi menteri tetapi kemudian diberhentikan dengan hormat. Banyak simpati masyarakat berpihak kepada Anies. Alasan pemberhentian Anies yang tidak jelas, menaikkan popularitasnya, sekalipun bermunculan opini liar bahwa Anies sengaja disusupkan oleh Jokowi untuk mengamat-amati perilaku politik PS.