[caption caption="Memaafkan yuk"][/caption]
Kita terlahir sebagai mahluk sosial. Mahluk yang tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Mahluk yang selalu butuh interaksi dalam berbagai bentuk dengan orang-orang lain. Sayangnya dalam setiap interaksi kita dengan orang-orang lain, tidak selalu berjalan dengan mulus. Perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan serta bentuk perbedaan-perbedaan lainnya seringkali memicu pergesekan bahkan bukan tidak mungkin menimbulkan konflik.
Dengan upaya maksimal, seringkali berbagai pergesekan dan konflik yang timbul mampu untuk diselesaikan, minimal dicarikan solusi penyelesaiannya. Tetapi justru disini kemudian muncul permasalahan baru sebab pergesekan dan konflik bisa saja terselesaikan atau dianggap selesai, namun seringkali penyelesaian hanya dipermukaan saja. Permasalahan tidak benar-benar terselesaikan sebab tidak diakhiri dengan pemaafan yang sebenar-benarnya.
Mulut kita mudah mengucapkan kata maaf dan memaafkan sambil berjabatan tangan bahkan berpelukan, namun di dalam hati seringkali sulit untuk sungguh-sungguh memaafkan dan melupakan kejadian yang terjadi. Kondisi inilah yang seringkali akan menjadi bom waktu dan bisa menjadi pemicu munculnya pergesekan dan konflik di lain waktu.
Memaafkan sangat sulit untuk kita lakukan. Mengapa?
Banyak dari kita yang memiliki pemahaman yang keliru tentang memaafkan. Kita menyakini bahwa memaafkan adalah suatu hal yang bila kita lakukan itu artinya kita menyamankan diri orang lain. Kita meyakini bahwa orang lain yang bersalah terhadap kita, patut untuk “dihukum” dan bentuk hukuman yang paling tepat adalah dengan tidak memaafkan. Banyak juga yang mengaitkan memaafkan dengan harga diri, dimana dengan alasan menjaga harga diri maka memaafkan tidak boleh dengan mudah diberikan.
Secara psikologis, MEMAAFKAN adalah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk melepaskan segala rasa menyakitkan yang diakibatkan oleh kemarahan yang amat sangat atau bahkan dendam kepada pelaku. MEMAAFKAN adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau dilanggar hak-haknya.
Thompson (2005) mendefinisikan pemaafan sebagai upaya untuk menempatkan peristiwa pelanggaran yang dirasakan sedemikian hingga respon seseorang terhadap pelaku, peristiwa, dan akibat dari peristiwa yang dialami diubah dari negatif menjadi netral atau positif. Robert D. Enright (2002), adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh-tidak-acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil.
Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford California, Frederic Luskin (Martin, 2003), pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang. Hasil penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang : (a) Jauh lebih tenang kehidupannya; (b) mereka juga tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama; serta (c) mereka semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.