Mohon tunggu...
Rheza Narendra Putra Pratama
Rheza Narendra Putra Pratama Mohon Tunggu... -

Belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Nasional, Trigger or Destroyer?

22 April 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ujian Nasional adalah media penilaian tingkat pendidikan secara nasional. Dengan skala nasional, refleksi Ujian Nasional sejauh ini seolah maya dari tujuan awal. 'Big Name, Big Problem' seolah melekat erat pada Ujian Nasional, awalnya bertujuan untuk menjadi trigger untuk para siswa agar bisa mencapai standar kompetensi yang diinginkan seolah berkamuflase menjadi spirit destroyer bagi siswa, menjadi momok, dan ajang orang tak bertanggung jawab memanfaatkan ketakutan siswa.

Saya bukan profesor yang ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya bukan profesor praktisi pendidikan, saya bukan pula birokrat di Dinas Pendidikan. saya hanya orang lapangan yang cukup mengetahui bagaimana program pemerintah yang ikhwalnya baik ini. Saya pun cenderung mendukung adanya Ujian Nasional yang standar kompetensinya sama di seluruh bumi pertiwi ini.

Berbeda dengan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, UN 2015 kali ini mencoba diatur sedemikian rupa oleh Kemendikbud di bawah Bapak Anies Baswedan,Ph.D agar bisa mengubah pergulatan stigma trigger or destroyer di atas. Bukan lagi menjadi standar kelulusan, penyimpanan berkas soal tidak di Polsek,  jika tidak memenuhi nilai minimum diperbolehkan mengulang pada pelaksanaa tahun selanjutnya, yang berarti juga boleh tidak mengulang UN tersebut jika kurang dari batas minimal, dan para rektor di negeri ini tidak dipaksa lagi dijadikan indikator penilaian penerimaan mahasiswa universitas atau institutnya, yang sejatinya diragukan kredibilitasnya oleh beliau-beliau sendiri. Belajar dalam ketenangan dan penuh keikhlasan adalah tujuan mulia yang coba ditawarkan oleh bapak menteri. Secara pribadi saya sangat salut dengan putusan ini. Setelah proses pengambilan keputusan yang panjang dan cukup lama bahkan cenderung terlambat sehingga terjadi banyak ketidakpahaman dikarenakan kurangnya sosialisasi.

Saya kira putusan ini cukup membuat para mafia kunci jawaban UN kebakaran jenggot. Mereka kebingungan akan menggunakan bahasa pemasaran apa lagi ketika nilai intrinsik UN sendiri menurun. Dan ketika akan mendekati pelaksanaan banyak berita-berita yang tidak benar bermunculan, bertujuan untuk membuat siswa 'takut'. Kurangnya sosialisasi juga menmbah runyam pemberitaan yang tak jelas pangkal ujungnya soal UN. Mulai dari pemotongan kata-kata yang ada di Peraturan Menteri hingga pemelintiran kata-kata. Isu jika UN tak lulus nilai minimal tidak bisa mendapat ijazah yang berarti tidak diakui masa SMA nya berakhir, tidak bisa mendaftarkan diri di SNMPTN yang padahal sudah mendaftar sejak akhir Februari dan banyak berita konyol lainnya. Tapi nyatanya cara ini cukup efektif untuk kembali melariskan kunci jawaban UN dengan harga yang cukup mahal itu.

Sungguh di luar pikiran bahwa mafia kunci jawaban yang sudah beroperasi sekian tahun nyaris tak tersentuh proses hukum. Bahkan tak jarang yang mengakui mendapat jaminan dari kepolisian dan oknum pusat. Mungkin sudah saatnya mengubah sistem pencetakan naskah UN, daripada tender yang memakan waktu lama dan dipihak ketigakan ke swasta yang dipercaya memegang rahasia negara. Serahkan ke Peruri yang merupakan BUMN percetakan, yang setidaknya cukup terpercaya untuk memegang dokumen rahasia negara. Sangat konyol siswa menerima naskah UN yang bungkusnya tersegel namun penuh dengan coretan angka dan cap tangan. Mana keeksklusifan sebuah dokumen negara?

Kita perlu pelaksanaan UN yang kredibel dan terpercaya, agar siswa tak menjadi korban dan lebih jauh kejujuran tidak menjadi korban pula. Dan dalam hemat saya, pernyataan Bapak Wakil Presiden yang meminta UN ulang adalah percuma tanpa mengubah sistem. Hanya menghabiskan tenaga dan pikiran siswa, serta penentun daerah yang dianggap ada kecurangan pun saya pikir sangat relatif. Jika hanya sekelompok saja yang berbuat curang dan daerahnya ditetapkan sebagai daerah curang saya pikir kurang relevan. Bahkan menurut saya jika mencontek adalah indikator terkecil dari kecurangan maka seluruh Indonesia harus mengulang pelaksanaan UN.

Saya mendukung UN sebagai beban sekolah untuk mendapatkan indeks integritas sekolah dan bukan penentu kelulusan. Sehingga tidak dipikulkan langsung ke siswa. Melainkan ada hubungan sekolah sebagai instansi pendidikan. Dan program pemerintah untuk melaksanakan UN CBT saya pikir pelaksanaannya lebih lancar daripada UN PBT. Karena sistem pengcakan soal yang sedemikian rupa. Kita perlu mendukung kebijakan ini seraya menjaga agar oportunis-oportunis tak bertanggung jawab tidak membuat runyam UN. Entah karena ini sistem baru maka sedikit kecurangan atau bagaimana, yang jelas maling punya sejuta cara mendapatkan hasil. Kita wujudkan UN yang baik, berintegritas dan kredibel sehingga tidak menghasilkan bandit-bandit negara.

Terima kasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun