Lumba-lumba adalah mamalia laut (bukan ikan) yang cerdas (The Humane Society of the United States, 2021). Mengapa dikatakan cerdas? Dari sudut pandang fisik, lumba-lumba memiliki ukuran otak yang besar. Perbandingan antara ukuran otak dan tubuh lumba-lumba, hampir mirip dengan perbandingan ukuran otak dan tubuh manusia. Ukuran otak yang besar itu, membuat lumba-lumba mampu melakukan fungsi kompleks seperti navigasi dan komunikasi (Marino, 2015).Â
Ya! Lumba-lumba mampu berkomunikasi dengan sesamanya, dan bahkan pada derajat tertentu memiliki kesadaran diri. Hal tersebut terbukti, karena lumba-lumba adalah salah satu diantara hewan yang mampu mengenali dirinya sendiri di cermin. Lumba-lumba mampu mengenali diri sendiri, berkomunikasi dengan sesama, memiliki hubungan sosial yang kompleks, mampu menciptakan strategi berburu, dan mengasuh anak dalam kelompoknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lumba-lumba bukanlah sekedar hewan "bodoh". Namun, pada derajat tertentu memiliki kecerdasan tinggi; dan seiring kecerdasan yang tinggi, tentu memiliki kebutuhan yang tinggi juga.Â
Lantas, apa yang terjadi bila hewan cerdas dengan struktur sosial yang kompleks dan kebutuhan yang tinggi; ditempatkan di kolam renang dan digunakan sebagai objek wisata rekreasi? Apakah kolam renang mampu memenuhi segala kebutuhan lumba-lumba? Kita mungkin sering mendengar, melihat, atau bahkan mendatangi tempat-tempat wisata atraksi lumba-lumba. Sekilas tidak ada yang aneh dari praktik tersebut, lumba-lumba "diajari" sedemikian rupa hingga dapat beratraksi menghibur wisatawan. Lumba-lumbanya pun selalu terlihat tersenyum ketika melakukan segala bentuk atraksi. Tapi, apa benar begitu?
Berdasarkan penyataan Dr. Jan Schmidt-Burbach (2021); seorang dokter hewan dan kepala kesejahteraan satwa dan riset satwa World Animal Protection, lumba-lumba TIDAK tersenyum. Beliau menyatakan bahwa "senyuman" lumba-lumba hanyalah struktur anatomi rahang lumba-lumba yang kebetulan menyerupai senyuman bagi manusia. Maka, "senyuman" lumba-lumba tidak dapat digunakan sebagai patokan kesejahteraan atau kebahagiaan lumba-lumba. Secara lebih mendalam, praktik melatih lumba-lumba agar dapat beratraksi juga dianggap kejam. World Animal Protection menjelaskan bahwa bagian dari pelatihan lumba-lumba agar mereka menurut, adalah dengan tidak memberi mereka makan (deprived of food as a training method). Lumba-lumba di laut makan dengan cara memburu ikan hidup; sedangkan di kolam tempat wisata, umumnya mereka makan ikan yang sudah mati.Â
Lumba-lumba yang hidup di kolam tempat wisata kerap menunjukkan gejala stres, seperti menggerus gigi, menjedotkan kepala, atau berenang berputar-putar. Gejala stres tersebut terjadi karena kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Di laut mereka dapat berenang sejauh ratusan kilometer, tentu mereka tidak dapat melakukan itu di kolam renang yang sempit. Secara lebih jauh, The Dolphin Project menyatakan bahwa kolam renang tempat tinggal lumba-lumba di tempat wisata mengandung klorin. Air kolam yang mengandung klorin, dapat berdampak negatif pada kesehatan lumba-lumba secara jangka panjang seperti kerontokkan gigi dan kebutaan. Bahkan, Ric O'Barry; seorang pelatih lumba-lumba di serial televisi "Flipper" pernah menyaksikan salah satu lumba-lumba yang dilatihnya melakukan bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri dan tidak lagi muncul ke permukaan untuk bernapas (Halloway, 2021).  Sejak kejadian itu, O'Barry memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pelatih lumba-lumba. O'Barry sekarang mendedikasikan hidupnya menjadi aktivis kesejahteraan lumba-lumba, melalui organisasi non profit (nirlaba) bernama "Dolphin Project".
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa praktik atraksi lumba sebagai kegiatan wisata sudah semakin tidak digemari lagi. Natasha Daly (2019) penulis dari salah satu sumber berita ternama yaitu National Geographic, melalui artikelnya yang berjudul "How to do wildlife tourism right" menjelaskan hal-hal apa yang sebaiknya dihindari ketika melakukan wisata. Beliau menyatakan untuk menghindari tempat wisata yang menggunakan satwanya untuk beratraksi dan berinteraksi dengan manusia. Atraksi lumba tentu masuk ke dalam kategori tersebut, karena lumba-lumba digunakan untuk beratraksi dan berinteraksi dengan manusia; entah interaksi swafoto (selfie) atau bahkan ditunggangi dan berenang bersama. Secara khusus perihal interaksi, Dr. Yolanda Alaniz (2021) menyatakan bahwa interaksi manusia dengan lumba-lumba dapat menjadi risiko penularan bakteri dan penyakit, termasuk juga virus Covid-19. Penemuan ini bukan kali pertama, karena telah banyak kasus satwa liar di kebun binatang yang ikut terjangkit Covid-19 seperti satwa Gorilla (Laguipo, 2021), Macan (Thebault, 2021), Harimau (The Jakarta Post, 2021), dan lain sebagainya.
Lantas, bagaimana reaksi negara-negara di dunia menyikapi hal ini? Baru-baru ini diketahui bahwa penyedia jasa liburan ternama di Amerika Serikat, "Expedia" sudah tidak lagi menyediakan tiket liburan ke tempat wisata yang menyediakan atraksi lumba (The Guardian, 2021). Selain itu, negara Perancis baru-baru ini menyatakan untuk melarang pertunjukan lumba (Webber, 2021). Kemudian, pada konferensi pers terbaru, Presiden Rusia, Vladimir Putin menyatakan kesetujuannya untuk mengakhiri praktik menangkap lumba-lumba dan paus untuk keperluan edukasi dan hiburan (Palmer, 2021). Bagaimana dengan Indonesia?Â