Membahas perihal lingkup gender dan ketidaksetaraan merupakan isu yang menarik untuk dikupas lebih dalam, terutama bagi Generasi-Z, mengingat bahwa isu ini termasuk dalam salah satu poin SDGs (Sustainable Development Goals)Â dan juga sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.Â
Semakin terbukanya akses ke dunia luar melalui teknologi yang ada, maka semakin banyak pula informasi dan hal baru yang dapat ditemukan, salah satunya tentang istilah "fragile masculinity" yang mungkin masih terdengar asing bagi Sebagian orang.
Konsep Fragile Masculinity
Fragile Masculinity, atau yang secara bahasa adalah maskulinitas yang rapuh merupakan hal yang secara tak sadar seringkali terjadi pada lingkungan sekitar.Â
Isu fragile masculinity ini dapat didefinisikan sebagai situasi dimana ketika seorang pria merasa gagal menunjukkan jati dirinya sebagai seorang "lelaki yang gagah" yang dapat dipicu dari berbagai faktor, baik dari dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya yang mengakibatkan rasa tertekan, rendah diri atau bahkan putus asa.
Secara umum, hal ini dapat terjadi tak lain dikarenakan adanya stereotip dari masyarakat patriarkis, seperti yang diketahui konsep maskulin maupun feminim telah lekat dan dibentuk dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Menurut Darwin dalam Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis, masyarakat patriarki cenderung menganggap jika pria adalah sosok yang kuat dan tangguh.Â
Memang sering tidak disadari, kita mengkotak-kotakan hal yang dianggap bersifat "maskulin" dan "feminim" seperti pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menangis karena akan dianggap lemah, atau pandangan bahwa laki-laki yang memiliki hobi seperti melukis dan memasak dianggap tidak cukup gagah dikarenakan hal tersebut dianggap hal yang bersifat "feminim"
Peran Media Dalam Membentuk Konsep Maskulinitas
Media mempunyai peran yang sangat signifikan dalam menciptakan berbagai konsep maskulinitas rapuh ini terutama di era digital sekarang, dimana semua orang mempunyai akses yang sangat mudah untuk mempublikasikan sesuatu.Â
Contohnya, dapat dilihat banyak sekali orang yang memulai karirnya dengan cara membuat konten atau content creator yang menggunakan sosial media sebagai wadahnya.Â
Dan tak jarang, konten yang dibahas menyangkut hal yang berbau stereotip gender dan yang secara tak langsung mempunyai peran dalam memperkuat terbentuknya konsep "maskulinitas" yang kaku dan rapuh.