Mohon tunggu...
Rheynaldi Lintang Susila
Rheynaldi Lintang Susila Mohon Tunggu... Lainnya - Planner

Saya seorang lulusan sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Jember.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembiayaan Pembangunan Non-Konvensional (Review Pemanfaatan Properti Daerah Sebagai Sumber Pembiayaan Non Konvensional)

30 Mei 2019   22:15 Diperbarui: 30 Mei 2019   22:45 1892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembiayaan pembangunan pada umumnya terdapat 2 jenis pembiayaan jika ditinjau dari sumbernya, pembiayaan dengan sumber konvensional dan pembiayaan dengan sumber non konvensional. Pada paper ini akan mengulas lebih jauh mengenai sumber pembiayaan non konvensional. 

Sebelum mengetahui mengenai sumber pembiayaan non konvensional, lebih baik apabila memahami sedikit mengenai sumber pembiayaan konvensional, sumber pembiayaan konvensional merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari pendapatan negara atau daerah seperti contohnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pajak, dan retribusi, sedangkan sumber pembiayaan non konvensional merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari kerjasama antara pihak pemerintahan dengan pihak-pihak swasta ataupun dari pihak masyarakat.

Sumber pembiayaan non konvensional secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis, antara lain : pembiayaan melalui pendapatan, hutang, dan kekayaan dari sini dapat diambil contoh seperti joint venture. konsesi lahan, dan obligasi. Pada dasarnya masing-masing sumber pembiayaan baik yang konvensional maupun non konvensional memiliki keunggulan masing-masing. Pada umumnya sumber pembiayaan non konvensional memiliki banyak variasi dan beragam, dan dengan hal tersebut sesungguhnya dapat dimanfaatkan dengan lebh optimal lagi mengenai pembiayaan yang non konvensional.

Contoh sederhana yang sering kita jumpai mengenai pembiayaan pembangunan non-konvensional adalah program CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan program wajib yang harus dimiliki setiap perusahaan di Indonesia. Selain itu, terdapat beberapa perusahaan yang dapat memberikan perbaikan ataupun pembangunan dari sisi infrastruktur yang berada di sekitar wilayah perusahanannya. Dengan adanya kegiatan ini tentunya akan dapat meringankan beban yang dimiliki oleh pemerintah di daerah tersebut dari segi pembiayaan pengembangan sektor insfrastruktur. Contoh lain yang sering digunakan yaitu berupa PPP (Public Private Partnership) atau yang biasa disebut dengan KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta). Adanya KPS ini dapat menguntungkan pemerintah dikarenakan pemerintah tidak perlu menanggung seluruh pembiayaan pembangunan dari suatu proyek, pembiayaan dari suatu proyek dapat dititik beratkan kepada pihak swasta yang terkait.

Selain kedua pembiayaan pembangunan non-konvensional di atas yang dapat digunakan dalam pengembangan sektor pembangunan di Indonesia, terdapat satu lagi jenis pembiayaan non-konvensional yang ada jenis tersebut merupakan lingkage. Salah satu contoh dari lingkage merupakan kebijakan pemerintah yang membandingkan antara pembangunan perumahan mewah, menengah, dan sederhana yang memiliki perbandingan 1:3:6. Dalam hal ini memiliki ketentuan di dalam suatu wilayah perumahan apabila membangun 1 perumahan mewah, maka diwajibkan membangun 3 rumah menengah dan 6 rumah sederhana. Dengan diberlakukannya sistem ini secara tidak langsung akan membantu pemerintah dalam menyediakan tempat tinggal bagi seluruh masyarakatnya. Terdapat satu lagi sumber pembiayaan non konvensional yang disebut Excess Condemnation, dengan menggunakan metode ini pihak pemerintah juga sangat diuntungkan dikarenakan pemerintah tidak perlu repot dalam melakukan perbaikan infrastruktur yang ada di daerahnya. Excess Condemnation ini dapat menguntungkan dikarenakan metode ini mewajibkan developer swasta untuk melakukan perbaikan serta penambahan atau pengembangan sarana dan prasarana yang terdapat di daerah tersebut.

Beberapa kemudahan dari pembiayaan non konvensional tersebut merupakan pembiayaan pembangunan yang sering dilakukan di Indonesia karena cukup mampu mengatasi permasalahan pembiayaan dan juga dapat mengurangi beban dari pemerintahan. Selain itu, dengan beberapa metode sumber pembiayaan non konvensional tersebut pemerintah dapat melakukan pemerataan dalam pembangunan yang ada di Indonesia serta tingkat kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat.

Pada paper ini akan membahas mengenai Tugas Akhir yang berjudul "Optimasi Pemanfaatan Properti Daerah Sebagai Sumber Pembiayaan Non-Konvensional di Kota Magelang". Di dalam tugas akhir tersebut memiliki latar belakang mengenai penetapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Penimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu Kota Magelang yang merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi di bidang properti daerah yang dapat dimaksimalkan sebagai salah satu sumber pembiayaan non konvensional sehingga dapat membantu dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.

Analisis yang digunakan dalam kasus ini adalah analisis pemilihan properti daerah yang akan dimaksimalkan dengan lebih lanjut dengan menggunakan observasi lapangan, data, serta wawancara yang dilakukan terhadap pihak-pihak terkait. Output yang diharapkan dari analisis ini merupakan properti daerah yang dapat memiliki potensi dengan pengembangan lebih lanjut. Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis bentuk pengelolaan properti daerah. Analisis ini akan diolah dengan menggunakan metode delphi yang diharapkan memperoleh halis atau pendapat dari para ahli atau pakar mengenai bentuk pengelolaan properti daerah sebagai alternative sumber pembiayaan non konvensional di Kota Magelang.

Hasil yang didapatkan dari analisis pemilihan properti menunjukkan bahwa terdapat 3 lokasi yang dapat dimanfaatkan potensinya antara lain : Kawasan Sidotopo, Kawasan Soekarno-Hatta, dan Kawasan Pasar Rejowinangun. Dari analisis bentuk pengelolaan properti daerah yang menggunakan metode delphi menghasilkan bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan di 3 lokasi tersebut, antara lain :

  • Kawasan Sidotopo dengan pengembangan selama kurun waktu 20-25 tahun yang menggunakan sistem joint venture, modal dan investasi berasal dari modal pemerintah dan juga swasta juga sistem operasional dan pemeliharaan dilakukan secara kerjasama antara pemerintah dan swasta.
  • Kawasan Soekarno-Hatta akan ditetapkan pengembangan dalam kurun waktu 5-10 tahun dengan modal dan investasi serta operasional dan pemeliharaan merupakan gabungan antara kerjasama pihak pemerintah dan swasta dengan sistem kerjasama joint venture.

Kawasan Pasar Rejowinangun, memiliki modal dan investasi serta operasional dan pemeliharaan yang merupakan hasil dari gabungan antara kerjasama pihak swasta dengan pemerintahan. Sistem yang digunakan dalam kerjasama adalah sistem BOT (built, operate, transfer) dengan dibatasi nilai payback period sebagai pertimbangan dalam melakukan kerjasama dengan pihak swasta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun