Dan di kala itu, kau adalah sesuatu yang tidak tergantikan, dengan lugasnya sikapmu berlalu. Adakah sejumput dari sisa kenang sebagai alasan, untuk dirimu bertahan. Meski sebentar saja. Padahal, waktu yang mempertemukan kita tidaklah sekejap saja. Tidak pula berputar-putar membingungkan kita dan melepaskan dua bola mata untuk tidak saling pandang, dari keinginan yang tentunya saling menautkan. Seperti rotasi bumi, ia tidak butuh alasan mengapa harus mengedar di tempat yang sama. Sedang bulan dan matahari berdiam, apakah itu sebuah kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan?
Aku sendiri. Sepertinya tidak pula harus kutegaskan bahwa kesunyian adalah teman terbaik. Itu kebohongan. Apakah setelahnya aku iklas untuk membiarkan kau ditelan bumi. Sedang belum waktunya ... bahkan tidak pernah kupikirkan untuk berkabung atas kepergianmu itu.
Mungkin setelah kutuliskan ini untukmu, tidak pula kuharap engkau membacanya. Sebab tidaklah patah kepak burung yang mengangkasa, jika saja engkau bertindak sebagai angin, yang selalu dirasakan hadirnya meski tak lagi terlihat di kelopak mataku.
Sungguh aku mencintaimu meski jarak menjadi pembatas yang bajingan antara kita sekarang. Meski tidak lagi wajahmu menoleh kepada ... aku yang merindukanmu dari hati yang paling jahanam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H