Seorang perempuan mengais-ngais makanan di sebuah tong sampah dekat pertokoan. Marni. Ya, begitulah orang-orang mengenal namanya. Kadang jika diperhatikan, ia sedikit tersenyum-senyum sendiri. Gila? Mungkin saja. Begitulah orang-orang sekitar menduganya.
Lusuh pakaian yang ia kenakan. Rambut gimbal yang tak terurus. Bahkan sekadar shampo untuk mengeramasI rambut yang sudah mengeras tidak pernah dilakukan. Hanya air hujan saja yang bisa meluruskan rambutnya. Itu pun hanya beberapa jam. Sebelum kembali lagi mengering. Mirip seperti sarang tawon. Bisa jadi kutu-kutu yang di rambut Sisca, itu tertular darinya. Begitulah kira-kira dugaan Pak Sarif.
Sisca seorang bocah perempuan berumur sepuluh tahun. Enam tahun sudah ia dirawat sejak dari usia empat tahun. Pak Sarif jatuh iba kepadanya karena tidak ada satu pun orang yang mau mengasuh perempuan kecil itu.
Istrinya sendiri pun sebenarnya menolak. Pernah ia diduga bahwa anak itu adalah hasil dari persekongkolan gelap bersama wanita lain. Namun, Pak Sarif menolak. Kasihan. Hanya alasan itu yang sekiranya ia anggap tepat.
Di warung-warung kopi kadang Marni masih menjadi perbincangan. Di kios tambal ban penghuni trotoar, tidak sedikit orang yang bertanya. Penasaran melihatnya kadang berbicara sendirian.
Tak jarang pula para tukang-tukang becak yang tak mampu membayar pekerja seks, memanfaatkan Marni untuk melakukan oral. Tentu hanya sekadar untuk melampiaskan syahwat semata. Dengan iming-iming rayuan manis ditambah dengan uang kisaran lima belas ribu dianggap sebagai upah.
Di sebuah sumur umum, tengah malam Marni dimandikan. Biasanya di tempat itu para lelaki paruh baya selepas mengayuh becak membersihkan dirinya di sana. Tapi kedatangan kali ini lain. Marni pasrah ketika ada lelaki hidung belang membawa dan ingin menyabuni tubuhnya.Â
Tangan-tangan itu lebih terfokus membersihkan bagian dada dan meremas-remasnya dengan kencang. Terkadang, kemaluannya menjadi sasaran untuk sekadar menggelitik supaya Marni mendesah manja.
Bagi Pak Sarif, mendengar hal itu sudah tak asing. Letak rumahnya bersebelahan dengan sumur tersebut. Ia juga kerap menyaksikan memang jika wanita itu dibawa sesekali. Kadang juga keisengan muncul dalam benaknya.
Tak segan ia mengintip dengan alasan local. Hendak buang hajat. Demi memerhatikan adegan itu yang mengundang gelora dari lubang angin kamar mandi yang persis mengarah ke arah sumur tersebut.
Berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya. Tidak ada gelagat nafsu. Tidak ada remasan yang penuh kegeraman menggenggam payudara Marni. Bahkan menapaki kemaluannya pun seolah jari itu enggan untuk bermain-main lebih lama.