Masih bersama bulan, kutayangkan beberapa bait di atas lembaran hitam. Adalah ia yang selalu menyulamkan beberapa secarik kain usang. Aku gelisah. Diam dan sambil mengendap terus untuk menyembunyikan setiap benang-benangnya.
Diakah yang telah lupa, bagaimana cara ia harus dan memampukan dirinya sendiri untuk bangkit? Lalu beranjaklah, jika engkau telah bosan. Dapatkah dirinya itu mampu tersenyum, andai saja seberkas atau setitik saja tak kunjung lenyap dari pancar matanya--memandang dan menimang-nimang sulaman.
Ah, dijatuhnya pun jarum di tangan, tetaplah kunjung jemari meraba di sela-sela jerami. Yang tak lagi dipedulikannya tiap tetes darah mengalir dari ujung jari, mendapatkannya oleh sakit dan ratap, namun tak diiring tangis.
Sejak dulu di peraduan itu, memanglah kulihat seperti seorang nenek dengan rajutannya. Hingga senja tiba dan kembali tenggelam, tak lagi dikatakan pada mentari, "hingga mengering raga dan memutihnya helai demi helai rambut, takkan layu dan sejenakpun tiada sang waktu menggulir kisah dan kesempatan lewat penantian
"
Semarang, 03/01/16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H