Separuh Bakpao Sisa SemalamÂ
Saat semua berpesta tawa, yang tergeletak di mejaku hanyalah separuh bakpao ini. Isinya pun sedikit, seperti lambang kepribadianku yang tak menarik.Â
Sisa semalam yang telah dicuri karena lapar. Entahlah, setidaknya dari hasil separuh yang telah diambil, telah aku mengerti bahwa bagianku yang tercuri telah mengenyangkan seseorang.Â
Kunikmati siang ini dengan bakpao yang hanya separuh saja. Cerita yang bergulir dua puluh empat jam, hanya termakan tak kurang dari lima menit.Â
Seperti hal sepasang kekasih, ataupun perjalanan kisah keluarga. Takkan pernah menjadi bijak, ketika separuh bakpao yang hilang disengketakan. Melupakan suatu keindahan bersama dan saling angkat senjata. Melupakan separuh bakpao yang hilang untuk ia yang sedang lapar.Â
Ah ..., ini bukanlah kisah keluarga cemara. Dimana konflik itu diatur serupa wacana. Deskripsi gila yang menganggap bahwa itu adalah sempurna.Â
Mungkin buluh yang terkulai itu telah dianggapnya terpatah, namun bukankah ada suatu keyakinan bahwa itu adalah kesenangan? Dan jika terkulai dalam ketakberdayaan, dimana air mengaliri irigasi, menyenangkan hati para petani. Begitu pun pada Ilahi yang takkan membiarkan terpatah sekalipun telah terkulai.Â
Meski sumbu telah memadam, itikad seorang pencuri itu hanya dimilikinya sendiri, tentang definisinya yang beritikad mencuri. Karena tak lantas padam begitu saja, bila hikmat dan kerendahan itu menjadi wibawa yang sempurna.Â
Dan aku, masih tetap bersyukur atas bakpao yang tersisa semalam. Toh, setidaknya ini masih dapat mengenyangkanku yang kelaparan. Dan biarlah pencuri separuh bakpaoku yang hilang, turut merasakan kekenyangan seperti apa yang kurasakan di waktu yang menjelang siang.Â
Semarang, 18.02.15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H