Oleh: Rhet Imanuel
Aku lupa, bahwasannya selama aku tersesat begitu jauh di dalam labirin--dunia. Siapakah bapakku? Di manakah ibuku? Lalu, adakah untukku dapat membuka pintu, atau setidaknya memaksa tingkap-tingkap langit untuk membuka jalan. Mengeluarkan aku dari labirin ini yang semakin membuatku tersesat.
Tapi, adakah kebodohanku mengatakan pada diriku sendiri, “hai jiwaku, sebatas manakah pengetahuanmu, untuk kita dapat menelusuri jejak-jejak tersembunyi, yang dapat menghantar langkah kita bertatap pada rupa Tuhan?”
Namun begitu congkaknya hati. Mendapati warisan, adalah suatu pembenaran yang merasakan bahwa diriku kaya. Kalang kabutlah segalanya, bahwasannya ternyata aku adalah orang termiskin di dunia fana.
Terlunta. Disiksa. Mengemas seraut kemunafikan diri sebagai ksatria; yang katanya dilengkapi oleh jubah-jubah dan ketopong baja. Alhasil, tampaklah gagah dan berwibawanya aku. Tapi, tidakkah satu orangpun mengetahui, betapa jiwaku terbebani oleh segala hal dusta yang ditampakkan dari luar betapa hebat; sedang di dalamnya bagai sebatang ranting yang mudah untuk dipatahkan.
Lalu, benarkah suatu kebenaran yang benar itu telah hadir? Kembali labirin mulai membingungkan. Suatu perjalanan dengan sisa warisanlah yang dibawa pergi. Dan ternyata aku, serupalah dengan dunia dan tak dapat pula mengerti bagaimana serupa tentang keadaan Adam dan Hawa yang pada awalnya--dihembus sukma, berjalan mula-mula tanpa batas yang membatasi dengan dosa.
Ah, warisan ini adalah peninggalan terakhir. Petuah manakah lagi yang dianggap sebagai pintu dari kebenaran? Semakin lambatlah sang waktu menyadarkan, bahwasannya tidaklah semua yang menyangkar di dalam pikiran itu adalah wujud yang sempurna.
Sadarkah? Dalam keterasingan dan pembelajaran, telah dikatakan tentang suatu petuah, “sekalipun telinga mendengar, namun lambat untuk melakukan. Tidakkah engkau sadari, bahwa sekalipun langit dan bumi berlalu, namun perkataan Tuhan takkan berlalu. Lalu, secarik kertas tanpa materai telah menganggap syah adalah hak warisan yang sebenar-benarnya.”
Dan kecaplah, sebelum tangan mengaduk-ngaduk kotoran, lalu kaki menginjak semak-semak berduri, dan penglihatan masih senyap tiada arti, bukankah masih dianggap suatu warisan adalah hak yang wajib dikenakan dan dihamburkan?
Lalu aku kembali menyusuri labirin dan mencari keberadaan jalan keluar, sebelum akhir mengatakan, “jalanmu masih tersesat dan butalah mata dari kedegilan hatimu yang congkak. Atas sabda yang diuntai, telah meluputkan dan menghapus segala terang yang telah dan akan segera datang.”
18/12/15