Mohon tunggu...
RhetIM
RhetIM Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Aneh ajalah. Bingung mau dibuat apa, karena ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pelita yang Memadam

2 Januari 2016   12:02 Diperbarui: 2 Januari 2016   12:06 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Karya: Rhet Imanuel

Apakah keterikatanku di bawah kegelapan? Bukankah materai itu telah terlepas? Aku mencari dan menyelidiki. Aku lelah, dan masih saja kupaksakan di dalam tekanan. Di mana telah kusadari, memang kegelapan itulah yang selalu mendekat--di dalam bayang hampa menyelubung--menyatu, dan perlahan terang pun memadam.

Hendaknya aku menapaki gunung dan mendapati kembali terang yang telah dibawa kunang-kunang. Namun, tanganku pun telah hilang daya, sekalipun memaksa. Di manakah Ia? Apakah telah beranjak dan biarkan aku di kesendiriannya malam?

Aku lelah. Dan aku merasa hilang, hingga harus kurapal-rapal segala payah. Di manakah Ia, hai, jiwaku? Apakah kaututupkan pintu di saat Ia mengetuk dalam kesederhanaan?

Di manakah Ia, hai, jiwaku? Sedang semak-semak berduri tiada lagi berapi di padang belantaramu, hai, jiwaku! Ataukah dalam keterikatan, diam-diam kegelapan itu mulai merapal jua--penantiannya hingga dapat menjerumuskan.

Hai, jiwaku! Marilah beranjak mencari pertolongan. Mencari dan mendapatkan Ia kembali. Aku lelah sebagai manusia yang meriaskan dunia selalu, dalam sebuah parodi telah kuikutsertakan mengalir bagai sungai; menghanyutkan kita dalam kebebasan yang sia-sia.

Hai, jiwaku! Beranjaklah dan berbuatlah bijaksana mencari Dia. Ia yang telah menjadi pelita kita. Janganlah turut melabuhkan suatu keindahan yang nyatanya konsonan.

Kita terlelap begitu jauh. Tanpa busana, telah asyiknya kita bertelanjang ria di dalam pandangan-Nya. Kita telah lupa jiwaku; telah melewati hari-hari mentari bersinar, dan selalu menyambut malam dengan keriangan. Marilah sekarang, hai, jiwaku! Koyakkan hati dan hancurkan segala upeti-upeti duniawi yang menggemilangkan mata. Marilah kita datang, dan kembali menenggelamkan diri, agar tiada lagi kata semoga di dalam doa, selain menanti kepastian suatu janji.

Semarang, 26/10/15

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun