Salah satu Kabupaten di Jawa Tengah dengan populasi lebih dari 1,8 juta jiwa ini menjadi sorotan Indonesia, bahkan ASEAN atas keberhasilannya dalam mengatasi sampah. Pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas kini menjadi isu yang makin mendesak, sejalan dengan meningkatnya volume limbah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari penduduk. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga namun tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Baik itu sisa makanan seperti, sisa sayur, kulit buah, sisa daging, plastik, atau botol bekas minuman. Ataupun seperti pembalut, popok dan juga puntung rokok. Jika diasumsikan setiap individu di Banyumas memproduksi sekitar hampir 300 gram sampah rumah tangga setiap harinya. Dengan populasi yang melebihi  1,8 juta jiwa, total produksi sampah harian di wilayah ini dapat mencapai sekitar 500 ton per hari. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa angka ini berpotensi melonjak hingga 600 ton per hari, terutama disebabkan oleh kontribusi signifikan dari kawasan perkotaan yang padat.
     Keadaan ini menghadirkan tantangan besar bagi pemerintah kabupaten dan masyarakat dalam menciptakan sistem pengelolaan limbah yang efektif. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan berbagai masalah lingkungan, seperti pencemaran tanah dan air, serta meningkatkan risiko kesehatan publik. Pengalaman Kabupaten Banyumas sebelumnya masih menggunakan teknik open dumping atau dibuang begitu saja. Teknik open dumping dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran air dan tanah. Apalagi jika jarak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak terlalu jauh dari permukiman warga, sebagai contoh TPA Kaliori yang hanya berjarak 100 meter saja dari permukiman. Pencemaran lingkungan oleh sampah ini tentunya menimbulkan berbagai masalah kesehatan contohnya tifus, disentri dan lain sebagainya. Tak hanya langsung menyerang Kesehatan, air yang tercemar oleh sampah juga merugikan sejumlah petani di Desa Kaliori selama beberapa tahun mereka kesulitan untuk panen karena air yang mengalir ke sawah-sawah sudah tercemar sampah yang ditandai dengan warna air yang cokelat dan juga bau. Dalam menghadapi masalah ini, Pemerintah Kabupaten Banyumas telah meluncurkan serangkaian inisiatif. Salah satunya adalah program edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemilahan dan pengurangan sampah. Selain itu, pemerintah juga berusaha membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang lebih baik, termasuk enam tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) dan satu tempat pembuangan akhir berbasis lingkungan dan edukasi (TPA BLE) yang modern serta sistem pengolahan sampah terpadu.
     Dengan melibatkan masyarakat dalam berbagai program tersebut, diharapkan akan tercipta budaya kesadaran lingkungan yang lebih kuat, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dan meningkatkan kualitas hidup di Kabupaten Banyumas. Dalam konteksnya, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) memiliki andil yang besar sebagai teknisi sedangkan pemerintah sebagai pengontrol. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan KSM menjadi kunci untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dalam pengelolaan sampah di daerah ini. Sebagai contoh KSM Randu Makmur yang terletak di Desa Kedungrandu dengan jumlah anggota sebanyak 40 orang yang mengambil sampah rumah tangga dari 3.000 pelanggan yang tersebar di 17 kelurahan/desa di tujuh kecamatan. Sampah yang dikelola di TPST Kedungrandu tidak semuanya berasal dari sampah rumah tangga tetapi juga dari pasar, restoran, rumah makan dan objek wisata Menara Teratai dengan jumlah rata-rata 15 ton perharinya. Sampah organik yang dihasilkan mencapai 5-6 ton perharinya. KSM mengatasi sampah organik dengan menggunakan maggot yang diperuntukkan untuk memakan sisa-sisa sampah organic berupa sayuran, buah, nasi, daging dan lain sebagainya. Maggot atau larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) merupakan salah satu media pengurai sampah organik yang baik.
     Sampah di Banyumas tidak hanya berasal dari limbah rumah tangga, tetapi juga dari sektor industri dan pabrik. Meski demikian, limbah rumah tangga tetap menjadi penyumbang terbesar. Tempat pembuangan sampah (TPS) yang ada saat ini tidak memadai untuk menampung volume sampah yang terus meningkat. Banyak TPA berfungsi hanya sebagai lokasi pembuangan sementara. Di desa Tipar Kidul, misalnya, tumpukan sampah telah mencapai ketinggian puluhan meter, menimbulkan bau menyengat yang mencemari udara hingga sejauh lebih dari satu kilometer. Sejak akhir Desember 2023 warga setempat mendesak agar segera dilakukan penutupan TPA yang ada di Tipar Kidul. Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tipar Kidul, Mustari, S.Pd mengatakan pengumuman penutupan TPA Tipar Kidul telah dipasang warga serta dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) telah dikomunikasikan agar penutupan TPA segera diturunkan. Awalnya, awal tahun TPA diputuskan untuk ditutup tetapi kenyataannya dari pihak DLH tidak mengijinkan hal tersebut sehingga TPA tetap beroperasi hingga hari ini. Pertimbangan tidak dipasangnya kembali pengumuman penutupan TPA Desa Tipar Kidul oleh warga atas permintaan DLH, kemungkinan karena pengumuman penutupan TPA tersebut dinilai kontradiktif dengan prestasi Banyumas dalam hal pengelolaan sampah yang mendunia di mana di Banyumas disebutkan sudah tidak ada lagi TPA open dumping.
      Pemerintah Kabupaten Banyumas berupaya mengatasi masalah ini melalui berbagai inovasi dalam pengelolaan sampah. Salah satu program unggulannya adalah "Sumpah Beruang" (Sulap Sampah Berubah Uang), yang bertujuan mengubah limbah menjadi produk bernilai ekonomis. Program yang dicanangkan Ahmad Husein ini untuk turut mendukung SDG's kota dan permukiman berkelanjutan.Dengan danya Sumpah Beruang sampah berkurang sebanyak 90% dan biaya operasionalnya berkurang 50%. Program ini melibatkan kelompok swadaya masyarakat dalam pengelolaan dan pemilahan sampah, serta produksi bahan bakar alternatif Refuse Derived Fuel (RDF) dan produk daur ulang lainnya.
     Banyumas juga telah menerima penghargaan sebagai kabupaten dengan pengelolaan sampah terbaik di Asia Tenggara, meskipun banyak pihak meragukan efektivitas pengelolaan tersebut di lapangan. Beberapa inovasi yang diterapkan terkesan hanya simbolis, seperti pemasangan konblock di area tertentu tanpa mengatasi masalah mendasar terkait limbah. Karena hal itu, Kabupaten Banyumas dinobatkan sebagai pengelolaan sampah terbaik se-Asia Tenggara. Berkat kesuksesan tersebut, Kabupaten Banyumas dipilih menjadi tuan rumah Smart Green ASEAN Cities (SGAC) Windows Series yang diikuti delegasi 13 kota dari delapan negara di ASEAN pada September 2023. Banyumas juga meraih predikat EcoStar of the Year yang diselenggarakan oleh The La Tofi School of CSR dalam ajang Indonesia Green Award. Penghargaan ini merupakan penghargaan yang diberikan  kepada perusahaan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan melalui berbagai ragam kreativitas atau kepada siapa saja yang dianggap berprestasi dan berjasa bagi lingkungan sekitar.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H