Mohon tunggu...
rhea danaparamita
rhea danaparamita Mohon Tunggu... -

anak perempuan yang serba ingin tahu :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

TKI Sebagai Duta Bangsa, Sebuah Refleksi Etika

6 Januari 2012   07:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_161729" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Tribun Batam/Iman Suryanto)"][/caption] Ketika seseorang menyebutkan Amerika, dalam pikiran kita terlintas sebuah negara maju dengan kekuatan militer dan kemampuan intelejnsi yang mumpuni serta memiliki kekuatan finansial yang cukup besar, atau bisa saja kita sebut sebagai negara adidaya. Darimana kita, yang mungkin belum pernah menginjakkan kaki disana berpikir demikian? India, ketika mendengar nama negara tersebut, beberapa mungkin berpikir tentang tari-tarian dan musik yang khas, serta adat istiadat yang terus dipegang teguh oleh para anak bangsanya. Citra ini sudah melekat di negeri tersebut. Atau ketika seseorang menyebutkan nama Ethiopia, dalam otak kita terlintas gambar anak-anak busung lapar dan burung gagak yang tersebar di penjuru negri untuk mengambil sisa-sisa dari tubuh manusia. Bagaimana mungkin juga kita memiliki persepsi demikian? Banyak di antara kita sudah sadar bahwa film, dokumentasi, buku, dan cerita-cerita yang tersebar di media internasional adalah sarana yang efektif untuk membangun citra sebuah negara. Amerika dengan hollywood, India dengan Bollywood, dan Ethiopia melalui jepretan foto para jurnalis pada masa kelaparan dulu. Citra terbentuk dengan berbagai cara, namun repetitif message dengan content yang sama dapat membuat pesan ini seolah-olah menjadi "propaganda", suatu bentuk penyampaian pesan persuasif yang sangat terkenal di zaman perang dunia II. Yang akan saya bahas disini bukan ttg negeri luar, tapi tentang negeri kita sendiri, Indonesia. Setiap tahun ribuan TKI diberangkatkan ke (hampir) seluruh penjuru dunia untuk penghidupan yang lebih baik. TKI, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada pahlawan devisa kita ini, sebagian besar merupakan orang-orang yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang memiliki keyakinan bahwa ada kesempatan besar menanti di luar sana. Dengan pendidikan dan keterampilan yang minim, mereka berangkat ke negeri asing, butuh keberanian besar melakukan hal ini. Nekat bahkan. Manusia bersikap sebagaimana dia dididik. Maka ketika para TKI sedang berada di lingkungan internasional, seperti di bandara, di dalam pesawat, di kantor imigrasi, di konsulat jendral, atau di kedutaan besar negara-negara tujuan, mereka bersikap sebagaimana yang mereka tahu: berbicara dengan sangat ribut, berusaha melanggar antrian, membuang sampah sembarangan, bahkan meludah sembarangan. Hal-hal kecil yang mungkin luput dari pandangan kita ketika mereka berada di Indonesia karena hampir semua orang melakukan hal yang sama. Namun hal ini menjadi sorotan ketika mereka berada di budaya yang samasekali berbeda. Seperti film dan buku serta gambar-gambar yang tersebar di seluruh dunia, pencitraan Indonesia yang sesungguhnya bukan melalui ajang kontes "Miss Universe", bukan berarti saya mencela, tapi kontes demikian sifatnya jauh dari kehidupan sehari-hari. Kita mengenal Amerika dan Ethiopia dari apa yang kita lihat sehari-hari; demikian halnya dengan Indonesia. Masyarakat dunia memandang kita dari apa yang mereka lihat di media atau bahkan di kehidupan mereka sehari-hari. Ketika mereka setiap hari melihat dan menjadi saksi kegiatan para TKI, lalu mereka tahu bahwa TKI berasal dari Indonesia, maka demikianlah citra manusia Indonesia dibentuk di mata dunia. Jangan pernah menyalahkan TKI atas ketidakmampuan mereka membawakan nama baik bagi bangsanya. Yang salah adalah yang menciptakan mereka menjadi manusia yang demikian. Pemerintah memiliki banyak kesempatan untuk mendidik setiap anak bangsa BUKAN hanya dengan kepandaian akal, tapi juga melalui intelejensi budi. Etika adalah satu hal yang sudah dilupakan untuk diikutkan dalam pelajaran pokok harian. Anak-anak masa kini dituntut menjadi pribadi yang egois dan mementingkan nilai akalnya tanpa mempedulikan lingkungan sekitar. Jam bermain anak-anak dirampas demi mengejar angka kelulusan. Kepedulian sosial dibabat habis supaya anak mencapai gengsi perguruan tinggi negeri. Habis sudah etika di negeri ini. Saya tidak layak berbicara mengenai etika karna saya sendiri bukan seseorang yang bebas cacat etika, tapi sudah lama miris hati ini melihat kegagalan bangsa yang disebabkan kurangnya pendidikan etika, nasionalisme, serta patriotisme. Apa yang saya kecap dalam pelajaran PPKn dulu? Pelajaran itu hanya mengajarkan saya tentang aturan, tentang bagaimana bersikap sesuai sopan santun TANPA memberikan nalar yang pas tentang MENGAPA kita harus bersikap demikian. Pelajaran tentang MENGAPA itu saya pelajari di rumah, dengan adat serta nalar keluarga Jawa yang mengalir di rumah kami. Catatan ini hanya akan membahas tentang etika dalam pendidikan anak sejak dini, serta mengapa TKI adalah duta bangsa yang sesungguhnya, bukan Putri Indonesia. Karena merekalah yang tinggal dan hidup sehari-hari di seluruh penjuru dunia, dan manusia internasional menilai Indonesia dari perilaku para pahlawan kita ini. Saya prihatin, namun tetap salut dengan keberanian mereka. Semoga ada tindakan nyata mengenai pendidikan etika di Indonesia. Salam, Rhea

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun