Seperti yang kita tahu bahwa perekonomian dalam Negara Venezuela Perekonomian Republik Bolivarian Venezuela saat ini berada di masa-masa sulit. Negara paling utara di Amerika Selatan ini diserang krisis ekonomi. Pelemahan ekonomi global hingga anjloknya harga minyak dunia membuat perekonomian Venezuela makin terpuruk. Pertumbuhan ekonomi negara yang dipimpin oleh Presiden Nicolas Maduro Moros ini, tak mampu tumbuh positif. Krisis yang melanda negara terrsebut tidak terlepas dari dalam dan luar negeri. Kericuhan di Venezuela juga Ikut memperburuk kondisi ekonomi negara dengan 31 juta penduduk, Faktor dari dalam dan luar juga mungkin berpengaruh. Bagaimana mungkin menjalankan ekonomi kalau tidak bisa mempertahankan keamanan di dalam negeri. Venezuela merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia dengan perkiraan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) mencapai 302,2 miliar barel dan cukup hingga 200 tahun ke depan. Namun, dengan anjloknya harga minyak juga memperparah kondisi ekonomi Venezuela, semua kondisi global dan ekspor minyak yang dibawah perkiraan kami juga ikut memperburuk.
Potensi Ekonomi Venezuela terletak di bagian utara Amerika Selatan. Negara beribu kota di Caracas ini, memiliki jumlah penduduk 31.775.371 jiwa berdasarkan sensus 2016 silam. Â Venezuela lama dikenal sebagai salah satu negara produsen minyak di dunia. Cadangan minyak Venezuela termasuk salah satu yang terbesar di dunia yang diperkirakan mencapai 302,2 miliar barel, dan bertahan hingga 200 tahun ke depan. Selain itu, beberapa barang tambang juga membanjiri tanah Venezuela, seperti nikel, mangan, emas, hingga bauksit. Namun, di samping itu, basis ekonomi Venezuela tak hanya bergantung dari sektor minyak saja.
Ada beberapa motor penggerak ekonomi Venezuela selain minyak, antara lain farmasi, industri, petrokimia, pariwisata, telekomunikasi, hingga pertanian. Komoditas perkebunan Venezuela juga tak kalah unggul, antara lain cokelat, kopi, tebu, hingga tembakau. Beberapa hasil kebun berupa buah pun melimpah di negara tersebut, mulai dari alpukat, pisang, pepaya, jeruk, nanas, hingga anggur. Produk Domestik Bruto (PDB) Venezuela pada 2017 diperkirakan mencapai US$ 404.109 miliar dengan pendapatan per kapita mencapai US$ 12.859. Rasio gini atau kesenjangan di Venezuela juga berada di level tengah yaitu 0,4 atau berada di posisi ketiga di Amerika Latin.
Adapun merusutnya perekonomian Negara Turki yang mana dikenal akan negara yang maju, Menjelang Pemilu Presiden Turki 2018 pada 23 Juni mendatang, kondisi ekonomi Turki masih dihantam gelombang krisis. Sejak awal tahun, lira, mata uang Turki, anjlok sekitar 20 persen terhadap dolar AS. Memasuki pertengahan Juni, nilai tukar lira menyentuh 4,73 per dolar AS dan berdampak pada melonjaknya inflasi. Bahkan, pada 23 Mei lalu, nilai tukar lira bergerak mendekati rekor terendah dengan 4,92. Ketika itu para pembuat kebijakan moneter bertemu dan menaikkan suku bunga guna membendung krisis tersebut.
Akibat merosotnya lira dan memicu kenaikan suku bunga darurat, inflasi di Turki merangkak naik menjadi 12,2 pada Mei lalu setelah bulan sebelumnya 10,9 persen. Dari Januari sampai Juni 2018 menjelang hari pemilu, ada sejumlah catatan yang memengaruhi sempoyongnya lira dan inflasi yang dilakukan oleh Turki sendiri. Akibat melemahnya Lira, belanja rumah tangga meningkat, kalangan bisnis menjerit karena pendapatanya dalam Lira sementara hutangnya dalam dollar. Melemahnya Lira berarti dia harus membayar dollar lebih mahal. Banyak perusahaan besar Turki meminjam uang dalam jumlah besar. Hingga akhir April, perusahaan swasta Turki memiliki utang luar negeri lebih dari $ 245 miliar, atau hampir sepertiga ukuran ekonomi keseluruhan negara itu. Mereka sekarang berusaha membujuk bank dan kreditur untuk meringankan beban utangnya.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, pada 14 Mei, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan bahwa ia bakal mengambil lebih banyak kendali kebijakan moneter dan memangkas suku bunga setelah pemilu tahun ini berlangsung. Omongan Erdogan makin membuat keruh. Para investor resah dengan pernyataan yang menakut-nakuti tersebut karena menyiratkan ketidakpastian ekonomi Turki pada masa mendatang. Padahal, pelemahan nilai tukar dolar AS banyak dipicu oleh minggatnya para pemodal dari Turki. Sejak pernyataan Erdogan tersebut, bank sentral Turki telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 17,75 persen guna meredam lemahnya nilai tukar lira. Ini rekor tertinggi di kelas negara berkembang sekalipun, seperti diwartakan Ahval.
Deretan sikap reaktif yang ditunjukkan pemerintah Turki ini nyatanya membikin para investor terus ragu dengan Turki. Bahkan, seperti dilansir dari Financial Times, upaya Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Simsek, dan Gubernur Bank Sentral Turki, Murat Cetinkaya, meyakinkan para investor global di London pada akhir Mei lalu, bahwa Turki masih menjadi destinasi yang baik untuk menanamkan uang mereka, tampaknya sudah terlambat bagi sebagian invest. Pertumbuhan ekonomi Turki diprediksi bakal gagal memenuhi target pemerintah tahun 2018, Di antaranya perubahan pajak dan peningkatan dana jaminan kredit pemerintah yang mendukung pinjaman untuk usaha kecil.
Namun, para analisis menaruh kekhawatiran tentang ketidakmampuan bank sentral mengendalikan inflasi dua digit. Inflasi dipandang sebagai salah satu masalah yang paling menjengkelkan bagi perekonomian Turki saat ini. Diperkirakan, tingkat inflasi pada akhir tahun nanti mencapai 10 persen, melampaui target pemerintah yang hanya mematok tujuh persen. Saat pemerintah banyak menaikkan suku bunga pada Mei lalu, pada 7 Juni, Erdogan mengambil langkah dengan menekan kesepakatan pinjaman siaga dengan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 50 miliar dolar AS. Dengan kondisi menyusutnya keyakinan investor, Turki agaknya akan segera mengadakan pembicaraan dengan IMF terkait kesepakatan pinjaman baru. IMF terakhir kali menyokong Turki sekitar satu dekade lalu.
Pemerintah Turki memang bisa meningkatkan suku bunga untuk menjaga nilai uang. Saat ini suku bunga sudah di 17,75 persen. Tapi langkah itu beresiko menekan pertumbuhan ekonomi. Jika menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, inflasi akan membumbung dan Lira semakin kehilangan daya belinya. Jika kondisi berlarut-larut, Turki dikhawatirkan menjadi pasien Dana Moneter Internasional. Turki memang menghadapi masalah yang sama seperti negara berkembang lainnya.
Ketika The Fed menaikkan suku bunga, para investor menarik uangnya dari negara-berkembang seperti Argentina, Turki Meksiko untuk disimpan dalam bentuk dollar. Tetapi Turki menonjol karena pengelolaan keuangannya yang tidak lazim. Sejak kudeta gagal dua tahun lalu, Presiden Erdogan membuka kran kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkalanjutan. Bank Sentral berusaha menahan pertumbuhan yang sangat cepat dengan mengangkat suku bunga untuk menstabilkan inflasi dan melemahnya Lira. Kebijakan ini tidak disukai Presiden. Presiden Erdogan mengklaim inflasi sebenarnya akibat dari sukubunga tinggi. Sebelum pemilu, dia mengancam akan mengambil alih kendali Bank Sentral. Ancaman ini direspon negativ investor yang kemudian melepas Lira dan menyebabkan mata uang itu semakin tertekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H