Lembar kalendar pun telah berganti ke 2016 tetapi segala kesibukan dan rutinitas tetap sama dengan tahun - tahun sebelumnya. Bangun pagi, sarapan, bergelut dengan segala macam tugas dan kepenatan, pulang dan terjebak macet, pulang dengam wajah yang kusam, mandi, makan malam dan kembali ke tempat tidur yang belum tentu membuat ku nyenyak karena penuh dengan kata deadline. Itulah semua rutinitas yang wajib ku lakukan setiap pagi dan merasa hidup ku ini begitu datar.
Ketika malam menghampiri, jari jemariku begitu asik memainkan smartphone di genggamanku yang sudah cukup letih akibat terlalu sibuk dengan dunia kerja. Tak sengaja sebuah artikel yang terbuka menawarkan sebuah perjalanan yang menurutku bisa menghilangkan penat walaupun hanya sementara. Ya itulah Pulau Sanrobengi yang ku baca di sebuah artikel. Pulau yang menawarkan sejuta pesona keindahan yang dibalut dengan sejuknya angin laut dan deburan ombak yang tiada henti menyapa. Disaat itu muncul niatku untuk menyiapkan tas ransel berisi 1 pasang pakaian beserta makanan ringan yang siap ku bawa untuk menuju sepenggal surga yang Tuhan ciptakan.
Kicauan burung di minggu pagi membangunkan ku untuk bergegas meninggalkan pekerjaan yang sering ku sebut dengan penjara. Setelah semua siap, ku mulai langkah kaki ini dengan panduan GPS melalui smartphone agar tidak tersesat, maklumlah perjalanan ini baru pertama kali ku lakukan dan terbilang sangat nekat demi memuaskan hasrat ku untuk menghilangkan sedikit penat.
07.00 pagi ku mulai perjalanan ini, melewati hamparan sawah dengan udara yang masih sangat sejuk di daerah Kabupaten Takalar. Tak banyak hiruk pikuk atau kemacetan yang terjadi disini, jalanan masih begitu kosong untuk dilewati hanya ada beberapa kendaraan dari warga saja yang melintas untuk pergi ke sawah. Sekitar 2 jam perjalanan ditambah dengan aksi tersesat sedikit dan juga mencari petunjuk dari warga sekitar, akhirnya tibalah saya di Dermaga Desa Boddia, Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Tak lama ku berdiri seperti orang yang tersesat, datang seorang bapak paruh baya yang menawarkan jasa penyebrangan ke Pulau Sanrobengi. Faisal, begitulah namanya saat tangan ku berjabat untuk mengenal beliau. Senyum yang begitu ramah membuat ku cepat akrab dengan beliau. Setelah berbincang sedikit, akhirnya Pak Faisal pun mengajakku menuju pesisir untuk menumpangi perahu kecil sejenis sampan atau dalam bahasa makassar disebut katinting. Cukup 20.000 rupiah harga yang diberikan Pak Faisal untuk mengantarku sekaligus dijemput, tarif yang kurang pantas mengingat harga bahan pokok saat ini sudah sangat melonjak.
15 menit dilalui dengan katinting, akhirnya tibalah saya di Pulau Sanrobengi. Ketika kaki ini turun menginjak pasir putih dan dinginnya air laut, saat itu juga semua kepenatan seakan ikut terbawa ombak dan hanyut entah kemana. Tak ada lagi tumpukkan kertas yang harus diselesaikan, yang ada hanya angin sepoi - sepoi bertiup bersama deburan ombak yang tiada henti. Pulau ini ternyata tempat persinggahan bagi para nelayan yang sedang mencari ikan di tengah laut, tapi tempat persinggahan ini bukan tempat singgah biasa melainkan sebuah tempat yang sangat tepat bagi orang yang butuh ketenangan seperti saya. Di dekat tempat saya berdiri, 3 orang nelayan sedang asyik bercerita dengan bahasa daerah mereka yang tidak ku mengerti, ada juga tangkapan ikan yang masih segar yang siap mereka tukarkan dengan pundi - pundi uang dengan harap dapat menghidupi keluarga mereka. Tak ingin berdiam diri, saya pun melanjutkan langkah kaki untuk menelusuri Pulau ini yang tidak lebih besar dari ukuran lapangan sepak bola. Hanya terdapat 6 buah rumah yang menempati pulau ini, belum ada listrik yang memadai dan juga air bersih untuk dikonsumsi. Di salah satu sudut rumah ada anak - anak yang begitu asik bermain, entah mereka sudah bersekolah atau belum, karena tidak terdapat sekolah disini, atau mereka harus menyeberang lautan dulu agar mendapatkan pendidikan yang wajib mereka terima?
Pulau ini terlalu kecil kecil untuk digambarkan dengan keindahan yang begitu besar. Ingin rasanya saya menetap di pulau ini hidup dengan ketenangan dan rasa damai, tapi kehidupanku bukan disini. Kehidupanku ada di seberang pulau ini, yang penuh dengan kebisingan dan kepenatan. Kaki ini pun di paksa untuk kembali melangkah pulang, meniggalkan sejuta pesona keindahan, menuju rutinitas yang penuh dengan kebosanan. Tuhan menciptakan sebuah surga kecil di Takalar, sebuah tempat persinggahan terindah dengan sejuta pesona yang ada.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H