Pada tanggal 8 september 2009, presiden Chaves menghadiri festival film Venice 2009, sebuah festival film tahunan yang melibatkan banyak sutradara dan industri film dari berbagai negara. Dalam acara itu, presiden Chaves berjalan di karpet merah dengan temani oleh sutradara Oliver Stone, sang pembuat film “South of the Border”.
Meskipun bukan di negaranya, tapi presiden Chaves mendapat sambutan cukup luas dari pengagumnya di Italia. Beberapa orang meneriakkan kata ;”presiden, presiden”, dan ada pula yang membawa bendera Venezuela, dan sebuah spanduk berbahasa spanyol “selamat datang, presiden”.
Dalam acara itu, Chaves memuji Stone sebagai sutradara yang baik, dan telah mengabarkan proses perbaikan dan kemajuan di Amerika latin.
“kelahiran kembali sedang terjadi di Amerika latin, dan Stone pergi untuk mencari itu dan menemukan hal itu,” kata Chaves. “Dengan kamera dan kejeniusannya, dia berhasil menangkap kelahiran kembali ini”.
Menurut Oliver Stone, film “south of the border” menggambarkan mengenai perubahan yang menyapu Amerika selatan dalam beberapa tahun terakhir, dan sebagai penentangan terhadap penggambaran Chaves sebagai diktator oleh media mainstream di AS dan eropa.
Dalam pembuatan film ini, Stone menghabiskan waktu 75 menit dengan Chavez untuk sebuah film documenter. Disamping itu, dia juga mewancarai sejumlah pemimpin dari negara amerika latin lainnya seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba, Ekuador, dan Paraguay. Para pemimpin itu, menurut Stone, berada pada halaman yang sama dengan Chavez.
Stone mengatakan, dia ingin menggambarkan perubahan yang menempatkan sejumlah pemimpin di Amerika latin, yang kekuasaannya mewakili kepentingan mayoritas rakyat di kawasan ini. menurutnya, para pemimpin ini benar-benar punya cita-cita sejati untuk membebaskan rakyatnya dari kemiskinan.
Dia berkali-kali mengutip presiden Evo Morales, orang Indian pertama yang terpilih menjadi presiden, dan presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang juga dikenal sebagai mantan pemimpin serikat buruh.
“ jika anda perhatikan sekarang, ada tujuh presiden, ada delapan negara dengan Chile, yang benar-benar bergerak menjauh dari Washington consensus,” kata Stone. “tapi amerika tidak pernah mendapat cerita itu.”
Stone diundang pertama kali ke Venezuela, untuk menemui presiden Chavez, ketika ada misi penyelamatan sandera Kolombia oleh gerilyawan FARC, namun acara itu dibatalkan. Ketika bertemu Chaves, dia merasakan bahwa sosok Chaves sangat berbeda dengan penggambaran media AS.
Stone memang terkenal dengan dramanya, selain itu juga pernah menyelesaikan empat film documenter, termasuk Commandanter, sebuah documenter yang diambil berdasarkan pertemuannya dengan Fidel Castro pada tahun 2003.
Ketika mengambil gambar presiden Chavez, Stone menangkap kesederhanaan, ketulusan, dan kebaikan presiden ini. Ini sangat berbeda dengan gambaran media barat yang menganggap Chaves diktator.
“yang saya suka dari film ini adalah soal bagaimana ketulusan dia (presiden Chaves, pen) di depan kamera. Anda tidak melihat seorang pria yang palsu. Dia bukan seorang diktator,” kata Stone.
Iya, presiden Chaves memang seorang yang sangat tulus, begitu mencintai rakyatnya, sehingga ia bisa memperlihatkan ketululusan perjuangannya di depan media. Ini sangat berbeda dengan presiden neoliberal di Indonesia, presiden SBY, yang isi pidato dan mimik mukanya direkonstruksi oleh bos-bos media dan pakar telekomunikasi di belakang layar.
Selama menghabiskan waktu bersama Chavez, Stone menyaksikan Chaves dielu-elukan rakyatnya, mengunjungi daerah pertanian, dan sebagainya. bahkan, dia bersama Chaves mendatangi rumah masa kecil sang presiden, dimana Chaves menaiki sebuah sepeda kecil untuk bermain-main.
Selain itu, dalam film ini, anda akan melihat bagaimana Evo Morales menendang bola bersama presiden progressif amerika latin lainnya, tanpa dibuat-buat. Semuanya berjalan secara alami.
Dengan pengalamannya secara langsung ini, Stone pun menuding kritikan para oposisi terhadap presiden Chavez adalah palsu. Menurut oposisi, Chaves sedang mengarah kepada sebuah otoritarianisme, yang dibuktikan dengan pencekalan terhadap oposisi dan tekanan terhadap media swasta. Disamping itu, oposisi menuding Chaves terlalu sibuk mengobarkan perang salib global untuk melawan dominasi AS, namun kemudian melupakan persoalan di dalam negeri, khususnya korupsi yang merajalela.
Menurut Stone, Oposisi berupaya menutupi segala bentuk kemajuan dan perbaikan di bawah Chaves. Orang-orang itu lupa bahwa dia telah memotong kemiskinan hingga satu setengah,” ujarnya. “orang-orang di Venezuela dapat menikmati akses pendidikan secara gratis, mereka benar-benar mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik tanpa mengeluarkan biaya, dan dimajukan kesejahteraannya,” kata Stone.
Akhirnya, film “south of the border” mendapatkan penghargaan Golden Lion dalam festival film Venice 2009, dan mendapatkan apresiasi luar biasa dari begitu banyak penonton, sutradara, dan pemerhati film.
*) Pemimpin redaksi Berdikari Online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H