[caption id="attachment_93054" align="alignleft" width="230" caption="Presiden Soekarno, Presiden RI pertama dan sekaligus tokoh terkemuka gerakan pembebasan nasional Indonesia."][/caption]
Bung Karno, dalam beberapa kali pidatonya, telah menggunakan ungkapan “samudera yang maha dashyat” untuk melukiskan revolusi Indonesia. Tiap-tiap revolusi yang besar, katanya, adalah semacam samudra ataupun sungai yang maha besar, yang selalu mengalami ups and downs. Dalam hal ini, Soekarno telah mengutip Nehru, bahwa “for a fighting nation there is no journey end”.
Soekarno menjelaskan, sebuah revolusi bukanlah aliran yang tenang, melainkan terjadi dengan goncangan-goncangan maha-dahsyat. Dia telah mengambil pengalaman revolusi Perancis, Rusia, dan berbagai pengalam revolusi yang bergelora lainnya, sebagai penjelasan penting mengenai proses sebuah revolusi. Dengan begitu, katanya, rakyat kita ditempa jiwa dan mentalnya. Kita adalah rakyat pejuang, yang setiap detik, menit, jam hidup dibawah gemblengan, demikian dikatakan Soekarno.
Soekarno, sangat jelas, tidak menyukai negeri seperti “arus tenang”. Dalam beberapa kali berpidato,dia telah mengutip sebuah negeri yang tenang dan tentram di dalam kitab Ramayana, negeri Utarakuru. Di dalam kitab Ramayana itu diceritakan, kata Soekarno,rakyat di sana hidup sangat tenteram,tidak ada yang ekstrem. Tidak ada perjuangan, tidak ada usaha yang meminta tenaga manusia ditarik-tarik, diulur-ulur. Tidak ada pemerasan keringat.
Akan tetapi, menurut Soekarno, rakyat di negara Utarakuru tidak bisa menjadi rakyat yang hebat, karena tidak pernah mengalami sebuah kegoncangan jiwa. Tidak pernah mengalami emosi. Tidak pernah mengalami pemerasan keringat, banting tulang. Tidak pernah ada perjuangan.
Berbeda dengan Soekarno, presiden SBY justru menginginkan sebuah negeri seperti arus tenang, tidak ada guncangan, tidak ada riak-riak kecil, sekalipun. SBY memang tidak pernah menyatakan ini secara eksplisit, namun selalu tercermin dalam sepak-terjang kekuasaan politiknya.
Ketika baru saja memenangkan kekuasaan periode kedua, SBY telah memanfaatkan perolehan suara mayoritas partainya untuk menyusun sebuah koalisi besar, bahkan sempat berusaha merangkul partai oposisi terbesar—PDIP.
Terhadap gerakan ekstra-parlemen, SBY juga tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaan-nya, terutama gerakan ekstra-parlemen yang berwatak politis. Ini sangat nampak dengan tudingan-tudingannya terhadap dua rencana aksi besar, yaitu aksi 9 Desember 2009 dan 28 januari 2010, bahwa kedua pergerakan ini telah ditunggai kepentingan politik tertentu.
Kesemuanya itu, menurut saya, dimaksudkan untuk menghapuskan setiap ruang bagi munculnya oposisi, dan meniadakan gangguan atau goncangan politik. Dengan begitu, tanpa adanya penyeimbang dari sisi lain, sebetulnya pemerintahan sangat potensial mengarah pada kediktatoran baru.
SBY selalu berdalih, bahwa dirinya membutuhkan ketenangan dalam menjalankan pembangunan dan mengangkat martabat hidup seluruh rakyat. Pada kenyatannya, sebagian besar penentangan muncul karena pilihan kebijakannya: mana mungkin neoliberalisme bisa mensejahterakan dan mengangkat martabat hidup rakyat. Ini adalah sebuah system eksploitasi, sebuah mesin kolonialisme yang tersembunyi---demikian Samir Amin menyebutnya.
Jalan neoliberal sangat bertentangan dengan semangat pembebasan nasional, semangat proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945. SBY telah memutar haluan pada tujuan dan cita-cita nasional kita, yaitu sebuah bangsa yang merdeka,berdikari, dan berkepribadian, menjadi sebuah bangsa kuli diantara bangsa-bangsa.
Ini merupakan penyebab keguncangan politik. Jika diibaratkan sebuah kapal yang berlayar di tengah samudera, kapal bernama Indonesia ini sedang diputar haluannya 180 derajat oleh SBY; dari jalur ke arah kiri, menjadi kanan. Jauh hari, orde baru pun melakukannya, tentu dalam derajat yang berbeda.
Dengan begitu, maka terjadilah apa yang dikatakan Soekarno—dia mengutip Abraham Lincoln: A nation divided against it self, cannot stand. Tempo hari, saya juga pernah menyatakan, ini akan menjadi sebuah bangsa yang retak menjadi dua komponen yang berbeda sama sekali. Satu sisi, mereka yang memilih satu sirkuit dengan kapitalis internasional (baca, imperialisme), sedangkan, pada sisi lain, adalah mayoritas rakyat yang hendak menuntasnya revolusi nasionalnya—sebagai prasyarat mengontrol sumber daya, tenaga kerja, dan pasar untuk kepentingan nasional.
*) Rudi Hartono, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H