Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... -

Suka dengan dunia penulisan, membaca buku, jurnalisme, aktivis pergerakan, dan politik. Sangat mengagumi Bung Karno, pemimpin terkemuka dan ideolog perjuangan pembebasan nasional bangsa ini, seperti juga Nehru, Nkruma, Tito, Zhou Enlai, dan beberapa pemimpin negara baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fitnah dan Seorang Pemimpin Besar

13 Desember 2009   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:57 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_37408" align="alignleft" width="245" caption="Ilustrasi: Bung Karno, seorang pemimpin besar dan ideolog perjuangan pembebasan nasional (Source; Facebook R.H)"][/caption] Fitnah, sebuah kata yang tiba-tiba populer di kancah politik, terutama setelah presiden SBY merasa disudutkan oleh tuduhan dari lawan-lawan politiknya. Ini mencuat sehubungan dengan dugaan aliran dana talangan Bank Century ke tangan beberapa partai dan tokoh penting pemerintahan. Dalam hal itu, aktivis Bendera merupakan kelompok yang terang-terangan menunjuk hidung SBY dan kubu politiknya, dan dilakukan melalui konferensi pers terbuka. Bola panas pun menggelinding ke istana, menerobos pintu-pintu kredibilitas politik SBY dan pendukungnya, bahkan berpotensi menjelekkan masa depan pemerintahannya. SBY pun bereaksi dengan melakukan konferensi pers, seperti biasanya, dia berusaha menyakinkan publik bahwa dirinya adalah korban, pihak yang terzalimi oleh politik kotor pihak oposan. Kali ini dia menuding bahwa ada pihak yang sengaja menyudutkan dirinya, menyebarkan fitnah dan memprovokasi aksi kekerasan. Dalam kolom ini, saya hendak mengulas sedikit soal fitnah ini dan hubungannya dengan kredibilitas seorang pemimpin. Sebab, selain istilah fitnah terkadang dipergunakan secara bebas dan sesuka hati, juga karena tanggung jawab dan jiwa besar seorang pemimpin jauh lebih besar ketimbang berbicara soal sepele--fitnah. Siapa Yang Memfitnah? Kata fitnah memang berasal dari bahasa Arab, tetapi maknanya dalam bahasa Indonesia sangat jauh berbeda dari makna asalnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitnah adalah, “perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang…” (Edisi Kedua, hlm 277). Dengan merujuk ke pengertian tersebut, maka makna fitnah yang dipergunakan presiden mengikuti kamus besar bahasa Indonesia, yaitu perkataan bohong atau tanpa dasar yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang. Dalam kasus ini, menurut saya, siapapun berhak untuk menyangkal dan membantah tuduhan yang tidak benar dan merugikan dirinya. Namun, segala tuduhan harus dibantah pula dengan fakta dan bukti yang dibenarkan secara objektif. Kalau bantahan tersebut tidak memuat fakta dan bukti yang objektif, benar, anda belum berhak berkesimpulan bahwa si penuh itu telah mengeluarkan fitnah. Selama ini presiden masih membantah dengan retorika politik, belum pernah mengeluarkan atau membeberkan fakta dan data pembanding, yang dapat dipergunakan untuk menggugurkan tuduhan aktivis Bendera. Demikian pula dengan nama-nama lain yang terangkut paut dalam daftar yang dikeluarkan Bendera. Dengan begitu, presiden seharusnya tidak bisa melontarkan tuduhan fitnah. Sebab, argumentasi si penuduh belum pernah digugurkan, meskipun belum ada keputusan hukum formal. Namun fakta yang dirasakan objektif dan benar, diterima oleh massa luas, tentu akan berperan dalam menggugurkan argumentasi tersebut dan akan menenangkan masyarakat. Sebaliknya, tudingan presiden bahwa aksi tanggal 9 Desember 2009 akan ditunggangi penumpang gelap untuk mendongkel kekuasannya, ternyata tidak benar. Berarti, presiden telah memfitnah gerakan sosial dan gerakan anti korupsi, berupa usaha sistematis mendiskreditkan gerakan antikorupsi di mata publik—rakyat Indonesia dan dunia. Krisis Pemimpin Besar “Intrik dan fitnah sudah lumrah dalam politik,” demikian sebagaian orang berpendapat. Dalam politik, tidak semua orang memandang itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama, namun ada juga yang menggunakan politik sebagai sarana mencapai tujuan dan kepentingan pribadi. Seorang presiden seharusnya tidak perlu terjebak dalam lumpur tuding-menuding siapa yang menfitnah dan difitnah. Itu hanya menurunkan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin, menurut Peter Drucker, adalah individu yang piawai menerjemahkan cita-cita menjadi kenyataan (make things happen). Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki jiwa besar, individu yang tegas, memiliki kharisma politik, dan sanggup berjalan di atas kepentingan umum. Seorang pemimpin, seharusnya, selalu menjadi cerminan kehendak kolektif dari rakyatnya, bukan berbicara atas nama keluarga, kelompok politik, dan termasuk partainya. Selanjutnya, seorang pemimpin harus memberi harapan (hope) kepada rakyatnya, dan sanggup memimpin kerjasama dengan rakyat dalam mencapai dan mewujudkan harapan-harapan tersebut. Dan harapan itu dinanti, digayuh, diwujudkan, dengan sekuat tenaga, walau mesti menitikkan air mata dan membiarkan diri terbakar panas matahari ketika menghadirkannya. Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisisme menuju penciptaan pemimpin politik yang sadar. Cita-cita politik seorang presiden atau pemimpin merupakan ekspresi cita-cita dan kehendak politik rakyatnya, bukan lagi cita-cita dan kehendak partai dan golongannya. Kalau seorang presiden masih berputar-putar dalam lingkaran ambisi dan lokalitas politik partai dan golongannya, maka dia tidak pantas untuk memimpin. Rudi Hartono, peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun