[caption id="attachment_43432" align="alignleft" width="298" caption="Ilustrasi Budiono, seorang ekonom dan sekarang menjabat wakil presiden RI. (sumber photo-http://rayjournal.com)"][/caption] Ketika memberi penjelasan di depan Pansus DPR, 22 Desember 2009, Budiono bertindak layaknya seorang professor yang memberi kuliah kepada mahasiswanya. Dalam pertemuan tersebut, perdebatan telah dikunci pada persoalan efek sistemik kalau seandainya Bank Century tidak diselamatkan. Tidak satupun anggota DPR yang mempertanyakan; apakah model penyelamatan bailout merupakan kebijakan tepat atau salah?
Ini terjadi bukan saja karena menganggap Budiono menguasai persoalan ekonomi, tetapi juga karena otoritas Budiono sebagai seorang professor dalam salah satu aliran ekonomi. Ada kediktatoran terselubung dalam ilmu ekonomi, yang dilakukan oleh salah satu aliran atau varian dalam ilmu ekonomi, kemudian menobatkan diri sebagai satu-satunya klaim terhadap ilmu ekonomi—ekonomi orthodoks.
Pemikiran ekonomi, pada awalnya, tidak dapat dipisahkan dari masalah moral, etika, politik, kemasyarakatan, dan kamusiaan. Meskipun kaum fisiokrat mencoba membentuk rumusan-rumusan matematis dalam teori ekonomi, namun Adam Smith tetap tidak memisahkannya dari persoalan filsafat moral, sosial, dan ekonomi. jadi, pada masa awalnya, ilmu ekonomi sangat dekat dengan persoalan etika dan ekonomi-politik.
Karena perkembangan sistem produksi, yang juga disertai perkembangan dalam sistim pemikiran, maka mulai terjadi banyak pergeseran dalam ilmu ekonomi untuk menjadi lebih fokus membahas soal produksi, konsumsi, nilai tenaga kerja, perdagangan komparatif, tolak ukur penduduk dan jumlah barang, dsb, dengan tokohnya; David Ricardo, Thomas Malthus, Jean Baptise Say, dan lain-lain.
Pada tahun 1870an, berkembang satu aliran pemikiran yang bernama marjinalis, dan ini sangat berpengaruh dalam menggeser ilmu ekonomi menjadi lebih teknis-matematis dan berorientasi pada pemaksimalan kebutuhan individual. Sejak itu, ilmu ekonomi semakin akrab dengan metode teknis-matematis.
Paul Krugman, dalam buku berjudul Development, Geography, and Economic Theory menjelaskan, bahwa alasan beberapa teori ekonomi tidak diterima luas oleh para ekonom adalah karena hal itu tidak dimodelkan secara matematis.
Lebih jauh lagi, Michael Parelman dalam Railroading Economics: The Creation of the Free Market Mythology menjelaskan, sebuah teori dapat ditolak untuk alasan ideologis karena di dalam ilmu ekonomi, ortodoksi adalah pasar bebas.
Parelman mengutip pernyataan Francis A. Walker, presiden Asosiasi Ekonom Amerika, yang menyatakan bahwa ajaran laissez-faire bukan dibuat untuk percobaan ekonomi ortodoks semata, melainkan untuk menentukan apakah seorang sepenuhnya ekonom atau tidak. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang ekonom, terutama setelah tumbangnya Uni-Sovyet, memerlukan pengakuan dan persetujuan terhadap pasar bebas—yaitu, mempercayai bahwa pasar dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien.
Sejak itu, ilmu ekonomi bukan saja menjadi sebuah ilmu yang rumit dan hanya bisa dipahami oleh segelintir ahli, tetapi juga ilmu ekonomi menjadi sekedar legitimator terhadap bekerjanya sebuah sistem ekonomi, namun terpisah dari praktik ekonomi. Seharusnya, seperti dikatakan Joseph Schumpeter, ilmu ekonomi harus memuat sejarah, statistic, dan teori. Namun, belakangan ini, aspek sejarah dan politik ekonomi (dimensi filosofis) terus dikesampingkan, dan semakin terfokus pada aspek metodologis-statistik.
Budiono dan Bailout
Dalam kasus Century, seperti kukatakan di atas, persoalan benar-benar sudah dikunci soal cukup dan tidaknya alasan untuk memberikan dana bailout, bukan pada persoalan; apakah kebijakan bailout satu-satunya pilihan, ataukah ada pilihan lain yang lebih tepat?
Akibatnya, para ekonomi dan anggota pansus tersandera dalam perdebatan soal prosedur legal formal, metodologis, dan penafsian. Tidak ada yang menggugat “bailout” sendiri sebagai salah satu pilihan, bukan opsi terakhir, melainkan ada begitu banyak pilihan-pilihan lain.
Seolah-olah, karena perdebatan tersebut, bailout merupakan kebijakan yang sudah tepat dan tidak dapat diganggu gugat, hanya saja, mungkin, soal momen dan prasyarat pengucurannya yang kurang tepat. Ini menurut mereka.
Saya melihat ini tidak lebih dari sebuah peran hegemonic sebuah dotrin ekonomi, bukan soal kebenaran sebuah teori ekonomi pada praktik ekonomi. Dalam beberapa terakhir, neoliberalisme sudah begitu menghegemonik bukan saja di Indonesia, tetapi juga pada skala global. Ini juga mencakup dotrin-doktrin mereka soal keutamaan pasar, pemajaan sektor finansial, dsb.
Persoalannya, sebagian besar ekonom pun tidak memiliki satu kata terhadap penyebab dan bentuk krisis saat ini. Bagi penganut ekonomi mainstream, termasuk Budiono, krisis ekonomi sekarang tidak lebih sebagai persoalan likuiditas. Sehingga, bagi mereka, solusi praksisnya adalah bagaimana memberikan suntikan dana segar ke perbankan atau institusi finansial.
Namun, pendapat itu belum tentu merupakan pandangan yang sah dan benar, meskipun mungkin didukung oleh sebagian besar ekonom. Bagi sebagian besar ekonom penentang neoliberal, penyebab krisis saat ini bukan hanya soal krisis likuiditas, tetapi juga persoalan krisis solvibilitas; bukan hanya krisis finansial, melainkan krisis pada sektor real. Mungkin, di luar pengetahuan saya, ada begitu banyak pendapat lain soal krisis ini, namun tidak dapat saya gambarkan dengan lengkap.
Kita tidak membahas sempurna soal perdebatan itu, namun menjelaskan bahwa ekonom neoliberal telah menggunakan kekuatannya—politik, klaim akademis, dll, untuk menundukkan pendapat aliran pemikiran ekonomi lainnya.
Persoalannya, menurut Michael Parelman, ekonomi orthodoks tidak dapat menggambarkan dunia dan kenyataan secara objektif, melainkan melalui abstraksi-abstraksi teoritis. Teori Budino dalam menjelaskan kasus century hanya akan menjadi “menara gading”, terpisah dengan kenyataan sebenarnya, karena sebagian besar pendapatnya adalah abstraksi teoritis semata. Inilah kediktatoran ekonom orthodoks.
Dalam memperdebatkan penyebab krisis, kita tidak bisa berperilaku seperti ketika menjawab pertanyaan 3+3=6, tetapi ini membutuhkan dimensi filosofis dan ilmu-ilmu yang lebih luas. Dan, terkait dengan hal itu, kita tidak bisa menjadikan pendapat seorang ekonom sebagai “postulat” sebelum itu dikonfirmasi oleh kenyataan dan fakta.
Harus Ilmiah dan Objektif
Saya melihat, bahwa klaim Budiono terhadap persoalan kebenaran bailout lebih pada persoalan klaim, bukan pada soal objektifitas dan keilmiahan. Demikian pula dengan klaim “efek sistemik, itu lebih dari sebuah hegemoni dalam menafsirkan sebuah situasi ekonomi, ketimbang sebuah analisa dan kesimpulan objektif.
Saya bersepakat dengan Rudolf Hilferding, seorang ekonom marxist, sebuah pendapat hanya dapat bersifat mutlak apabila memenuhi syarat; kebenaran teori tersebut diterima secara universal dan diakui oleh seluruh manusia yang berfikir secara rasional, seperti hukum gravitasi, hukum genetika Mendel, dsb.
Ekonom yang menyatakan bahwa bailout adalah solusi terhadap krisis, tentu saja, masih merupakan pendapat sepihak. Apalagi tafsir terhadap sistemik dan tidak, itupun masih observasi subjektif dari Budiono dan koleganya. Buktinya, ada begitu banyak ekonom lain yang mengatakan, bahwa penutupan terhadap Bank Century tidak akan berdampak sistemik. Di Indonesia, ekonom terbelah dua dalam memperdebatkan masalah ini.
Pada kenyataannya, kebijakan bailout di berbagai negara, termasuk AS, tidak bisa menjadi solusi permanen terhadap krisis kapitalisme. Menurut Paul Krugman, seorang ekonom liberal dan peraih nobel ekonomi, bailout Tim Geithner dan Obama tidak akan bisa bekerja jika asset bermasalah sudah undervalued. Sebaliknya, menurut ekonom yang sebarisan dengan Budiono ini, bank-bank tertentu justru menjadikan ini kesempatan untuk mendapat keuntungan besar.
Dalam kasus AIG, misalnya, dana bailout justru dipergunakan oleh para manajer bank ini untuk berpesta dan sebagai bonus atas pekerjaan mereka. Ini tidak berbeda jauh dengan kasus Bank Century di Indonesia, dimana dana bailout justru dinikmati pemilik bank dan segelintir deposan besar.
Rudi Hartono, peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpin Redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H