Intervensi brutal dan berdarah AS di kawasan amerika latin belum akan terhenti. Belum puas mengganggu Venezuela, Bolivia, Kuba, dan sejumlah negara serupa yang menegaskan kedaulatan nasionalnya di kawasan ini, pihak pemerintah AS kembali diketahui turut “bermain di belakang layar” dalam penjatuhan presiden Honduras, Manuel Zelaya.
Pada tanggal 28 Juni 2009 lalu, pihak militer melakukan upaya illegal untuk mengambil kekuasaan dari tangan presiden Manuel Zelaya. Setelah itu, militer mendaulat kepala parlemen, Roberto Micheletti sebagai presiden. Kelompok kudeta bukan hanya mewakili kelompok bisnis, politisi sayap kanan, dan kalangan tuan tanah di Honduras, tetapi juga mewakili kepentingan ekonomi dan politik AS di kawasan ini.
Kepentingan AS dalam kudeta
Keterlibatan AS dalam proses kudeta ini sangat nampak; mulai dari penyiapan dana, kehadiran militer AS di pangkalan Soto Cano di Honduras, pertemuan tertutup pejabat menlu AS dengan pihak pemimpin kudeta, hingga pilihan AS untuk menunjuk presiden Costa Rica, Oscar Arias, seorang sekutu paling loyal AS dan pro-imperialisme di kawasan latin, menjadi pihak mediator dalam negosiasi antara Zelaya dengan pelaku kudeta.
Presiden Obama, yang sebelumnya menjanjikan sebuah pola dan tata-hubungan yang baru dengan negara-negara di kawasan ini—sering disebut “halaman belakang AS, justru melanjutkan visi tradisional aggressor di AS; menundukkan dan mengontrol kawasan ini. Memang betul, seperti dikatakan oleh doktrin Kissinger, siapapun yang memerintah, dari partai manapun dia, visi AS tetap terhadap Amerika Latin adalah penaklukan atau intervensi. Kissinger mengatakan,” Jika kita tidak bisa mengendalikan Amerika latin, lantas bagaimana kita bisa mendominasi dunia?”
Manuel Zelaya, presiden yang terpilih secara demokratis melalui pemilu pada 27 November 2005, bukanlah tokoh kiri ataupun penganut sosialisme seperti Hugo Chaves di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia, ia adalah tokoh kiri tengah dari partai liberal dan kurang mendapat sokongan rakyat di masa awal pemerintahannya. Sebelumnya, Zelaya malah menjadi pendukung paling loyal dari agenda perdagangan bebas di kawasan amerika tengah, yang kemudian disebut Central American Free Trade Agreement (CAFTA).
Meskipun begitu, dalam perjalanan Zelaya justru membanting sertir ke kiri, dia berpaling untuk memihak kaum miskin dan menggalang kerjasama dengan poros revolusioner amerika latin-ALBA (Alternativa Bolivariana para las Américas). Penggabungan dengan ALBA, menurut Zelaya, merupakan jalan paling memungkinkan bagi Honduras dan jutaan rakyatnya untuk membangun ekonomi, melalui kerjasama dan solidaritas, bukan kompetisi dan memanfaatkan kelemahan lawan seperti yang dianjurkan oleh proposal perdagangan bebas milik AS.
Zelaya betul-betul memanfaatkan keuntungan dari model kerjasama ALBA, sebab kerjasama itu mengutamakan kemanusiaan, solidaritas, dan keseteraan. Bahkan Zelaya turut memberi dukungan terhadap Kuba, dan mengajak negara OAS untuk mengubah persepsi mereka mengenai Kuba yang diajarkan AS.
Puncak dari ketegangan politik di Honduras muncul ketika Zelaya bermaksud mengamandemen konstitusi yang dibuat dan dipertahankan militer selama puluhan tahun. Dalam proposal baru ini, Zelaya ingin menarik keterlibatan seluruh rakyat untuk menuliskan konstitusi baru, dimana hak-hak rakyat dijamin dan dilindungi. Beberapa waktu setelah itu, kudeta yang disetir dari Washintong pun meletus.
Ada beberapa kepentingan AS yang bersinergi dengan pelaksanaan kudeta ini;
Pertama, AS berkeinginan memulihkan kontrol politik dan ekonominya terhadap Honduras dan kawasan amerika tengah, hendak memastikan kepentingan-kepentingan bisnisnya tidak terganggu di kawasan itu. Untuk itu, AS membutuhkan dukungan rejim yang lebih bersahabat, bukan rejim yang “durhaka”.
Kedua, AS ingin menghambat proses integrasi regional di kawasan ini, khususnya kerjasama regional yang digalang melalui ALBA. Dengan memutar haluan politik Honduras melalui kudeta militer, AS berharap bisa menghambat dan mengisolasi negara-negara berhaluan kiri di Amerika Latin—khususnya; Venezuela, Kuba, Bolivia.
Perlawanan Rakyat dan Tekanan Internasional
Sejak hari pertama kudeta, perlawanan berbagai kelompok sosial di Honduras sudah menjelma menjadi pemberontakan di jalan-jalan. Rakyat miskin yang berdiri di belakang presiden Zelaya, telah menunjukkan perlawanan heroik selama 5 bulan paska kudeta. Sebuah kolaborasi antara gerakan kiri dan massa rakyat berhasil membentuk front perlawanan rakyat dan front nasional melawan kudeta.
Puluhan ribu orang kaum buruh, petani, mahasiswa, kelompok adat, dan aktivis HAM memasang barikade di depan istana presiden, menuntut pengembalian presiden Zelaya. Pemimpin kudeta mengirimkan militer untuk menindas kelompok perlawanan, dan mengakibatkan puluhan orang terluka dan tewas dalam satu bentrokan berdarah.
Selama beberapa bulan, jalan-jalan utama dikuasai oleh pengunjuk rasa, sedang serikat-serikat buruh menggelar pemogokan umum nasional. Beberapa jurnalis yang melaporkan kejadian ini, seperti wartawan Telesur, ditahan oleh pemerintah. Jam malam diberlakukan berkali-kali, disertai penangkapan dan penahanan tokoh dan pimpinan gerakan sosial.
Tekanan internasional pun menguat. Dukungan pertama-kali datang dari pemimpin ALBA, melalui penarikan seluruh dubes mereka dari Honduras. Seluruh pemimpin negara Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) juga bersepakat untuk mengutuk kudeta ini. Kementrian luar negeri Perancis pun terus terang mengutuk kudeta.
Pemilu Cuci Tangan
Menghadapi perlawanan rakyat dan tekanan dunia internasional, AS mencoba merestorasi rejim baru pendukungnya di Honduras melalui pemilu “illegal”, sebuah pemilu yang dirancang untuk memenangkan tokoh politik pendukung kudeta.
Dalam hal ini, presiden Obama mengingingkan agar dunia internasional menyerahkan masa depan demokrasi di Honduras melalui pemilu, yang dikontrol pelaku kudeta dan lembaga-lembaga milik AS. The International Republican Institute dan National Democratic Institute, dua lembaga yang ditugaskan untuk menyaring dana dari USAID dan National Endowment for Democracy (NED) untuk mendanai partai politik pro-kudeta dan menjadi “pengamat pemilu”.
Kelompok teroris seperti UnoAmerica, yang dipimpin oleh pemimpin kudeta Vebezuela Alejando Pena Esclusa, juga telah dikirim menjadi pengamat pemilu di Honduras. Kriminal dan teroris kawakan Kuba-Miami, Adolfo Franco---mantan direktur USAID, juga masuk dalam daftar pemantau pemilu Honduras pada 29 November 2009 lalu.
Kecurangan dan represi terjadi pada saat hari pemilihan, hari minggu lalu (29/11), demikian dikatakan kelompok HAM di Honduras. Militer dan Polisi mengintervensi pemilihan dan memicu pelanggaran luas. Disamping itu, pada hari yang sama, di kota San Pedro Sula Polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan 500 orang massa yang memprotes kecurangan pemilu.
Akhirnya, pendukun terkemuka kudeta telah memenangkan pemilu buatan AS di negeri itu. Porfirio Lobo, seorang tuan tanah yang kaya-raya dan dikenal dekat dengan AS, meraih peroleh suara sebesar 55%.
Para pemimpin Brazil, Argentina, Venezuela sudah mengeluarkan kecaman resmi terhadap pemilu kotor ini. Organisasi negera-negara OAS dan Carter Centre sudah mengutuk pemilu dan menyatakannya sebagai proses tidak sah. UNASUR dan ALBA juga sudah mengeluarkan kecaman serupa. Uni Eropa (EU) malah menolak mengirimkan pemantau pemilu ke negeri itu, sedang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum mengakui pemilihan tersebut.
Satu-satunya aliran dukungan terhadap hasil pemilu illegal ini datang dari AS bersama negara bonekanya seperti Kolombia, Panama, Costa Rica, dan Israel. Kementrian luar negeri AS sudah mengucapkan selamat kepada pemimpin illegal Honduras yang baru, Porfirio Lobo. Ini merupakan bukti kuat atas dukungan AS terhadap pelaku kudeta.
Begitu demonstratif, Obama telah menunjukkan kesetiaan kepada para pendahulunya, tantang bagaimana menundukkan negeri-negeri yang membokongi Amerikat Serikat. Kehadiran Obama di Gedung Putih bukan akhir dari periode agressif AS, melainkan kesinambungan dari kebijakan politik luar negeri yang mensubordinasikan bangsa-bangsa lain.
Rudi Hartono, pemimpin redaksi Berdikari Online. Selain itu, menjadi peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS) dan pengelola jurnal Arah Kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H