[caption id="attachment_228219" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi " Merdeka atau Mati""][/caption] Hari itu, tanggal 17 Agustus 1945, masih pagi-pagi buta, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan negara baru: Republik Indonesia, bertempat di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Segera setelah membacakan proklamasi kemerdekaan itu, Soekarno berkata, “ demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita! Negara merdeka, Negara Republik Indonesia,--merdeka kekal dan abadi. Ya, untuk pertamakalinya dalam sejarah beratus-beratus tahun, negeri yang luasnya sama dengan Inggris, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia kalau digabungkan menjadi satu, telah menyatakan “pekik” berhenti kepada kolonialisme.
17 Agustus 1945 memang tidak se-monumental dan se-heroik peristiwa “serbuan ke Istana Musim Dingin dan kemenangan proletariat Rusia”, atau seperti yang dilukiskan oleh John Reed sebagai “sepuluh hari yang mengguncangkan dunia”. Akan tetapi, pengaruh dari peristiwa tersebut punya arti yang luarbiasa, di dalam negeri Indonesia maupun di dunia internasional.
Di dalam negeri, peristiwa ini telah membakar semangat rakyat Indonesia untuk terlibat dalam revolusi kemerdekaan, dan seolah menjadi “arus besar” yang menyeret begitu banyak pemuda untuk terlibat dalam revolusi. Segera setelah proklamasi itu dibacakan, para pemuda dan rakyat seperti dikomando untuk menggelar aksi-aksi massa merebut senjata yang ketika itu masih di tangan Jepang.
Di dunia internasional, negeri-negeri imperialis menyaksikan satu lagi mata rantai kolonialisme mereka yang terputus, sementara negara-negara anti-kolonial mendapatkan saudara baru; Indonesia. Kemerdekaan Indonesia adalah salah satu pemicu revolusi pembebasan nasional negara jajahan dalam skala yang lebih luas.
Segera setelah terjadi kesepakatan antara Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda revolusioner mengenai waktu untuk memproklamirkan kemerdekaan, maka segala persiapan pun segera dilakukan. Bendera telah dijahit sendiri oleh ibu Fatmawati, istri Bung Karno, dalam waktu semalam. Tiang benderanya dari yang buru-buru ditebang untuk keperluan ini.
Menurut Soebardjo, proklamasi kemerdekaan itu mula-mula direncanakan di lapangan Gambir, tetapi tiba-tiba dipindah ke halaman rumah Bung Karno, Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Penyebabnya, lapangan Gambir telah dijaga ketat oleh pasukan artileri Jepang yang diperkuat dengan pasukan bersenjata lengkap. Meskipun begitu, para pemuda dan massa rakyat tetap mendatangi lapangan itu.
Karena sangat mendadak dan untuk menghindari reaksi Jepang yang berlebihan, maka pengumuman pemindahan tempat ini hanya digantung dan ditempelkan di pohon-pohon. Setelah mengetahui kabar perpindahan tempat, rakyat pun mulai berjalan menuju pegangsaan 56, tempat kediaman Bung Karno. Maeda melukiskan kejadian itu dengan sangat menarik; “gerombolan orang bersama menuju halaman upacara seperti datangnya air kehidupan di waktu pasang.”
Menurut Sudiro, salah satu pelaku sejarah saat itu, mengatakan, pihaknya diberitahu oleh Dr. Suwardi bahwa malam itu agar segera mengumpulkan barisan pelopor untuk menghidiri proklamasi kemerdekaan di lapangan Gambir. Karena, di mata para pemuda saat itu, kemerdekaan Indonesia harus diekspresikan secara revolusioner.
Segera setelah Hatta tiba di lokasi, yaitu kediaman Bung Karno, upacara proklamasi kemerdekaan pun dimulai dengan sangat sederhana. Bung Karno, yang didampingi oleh Bung Hatta, membacakan teks proklamasi. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” segera berkumandang setelah bendera merah-putih berkibar di angkasa. Ada yang mengatakan, jumlah orang yang menghadiri acara yang sangat monumental ini berjumlah ratusan.
Beberapa saat setelah kemerdekaan, beberapa orang Jepang datang kepada Bung Karno dan mengatakan, bahwa Gunseikan melarang Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan. Namun, menurut pengakuan Sudiro, orang-orang Jepang segera angkat kaki karena sudah dikepung oleh para pemuda yang bersenjata.
Supaya kemerdekaan ini segera tersiar di seluruh Indonesia, para pelukis revolusioner, diantaranya Basuki Reksobowo dan kawan-kawannya, sudah melakukan grafiti action di gerbong kereta Api dan Trem, yang membuat kabar mengenai kemerdekaan cepat tersiar kepada massa rakyat.
Tidak hanya itu, seperti ditulis oleh Peter A. Rohi, seorang wartawan senior di NTT, bahwa Bung Karno menugaskan Riwu Ga dan Sarwoko untuk mengabarkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia di Jakarta. "Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!" kata Bung Karno.
Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bersaman Sarwoko sambil menumpangi jip terbuka bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan.....dan seluruh sudut Jakarta. Ini sangat penting, tulis Peter Rohi, karena saat itu Jepang sudah memblokir semua stasiun radio, sehingga rakyat harus diberitahu dari mulut ke mulut.
Di samping itu, pada tengah hari, berita mengenai kemerdekaan sudah tersebar hingga ke Surabaya dan Jogjakarta melalui kantor berita Domei, yang saat dipimpin oleh Adam Malik, salah satu tokoh pergerakan nasional.
Versi lain mengatakan, berita proklamasi kemerdekaan disiarkan pertama-kali oleh Jusuf Ronodipuro, yang saat itu bekerja di Hoso Kyoku Jakarta (Radio Militer Jepang di Jakarta), setelah mendapatkan naskah proklamasi dari Adam Malik.
Meski berusaha dicegah oleh Jepang, berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah tersebar ke mana-mana dan menyulut patriotisme di setiap dada pemuda dan rakyat untuk mempertahankannya. Sore-sore hari, setelah beristirahat sejenak, Bung Karno telah memimpin apel akbar barisan pelopor yang siap mempertahankan kemerdekaan. Barisan pelopor ini, yang mana Aidit dan Lukman memimpin di dalamnya, merupakan organisasi yang terbentuk di jaman jepang, dan mempunyai kemampuan dalam menjalankan propaganda dan mobilisasi di tengah massa rakyat.
Minggu-minggu pertama setelah proklamasi benar-benar melarutkan ideologi revolusioner para pemuda dan rakyat Indonesia, yang telah merasa terkomando untuk melakukan aksi-aksi revolusioner di berbagai tempat. Nyoto mencatat; “Aurora” Revolusi Indonesia adalah suara Ir. Soekarno yang pada jam 10.00 pagi hari 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan berdirinya Republik yang merdeka – Republik Indonesia.”
Setelah proklamasi itu, hampir tidak ada pemuda, kaum buruh, kaum tani, kaum terpelajar, kaum perempuan, dan golongan rakyat lainnya yang merasa tidak terpanggil untuk mengobarkan revolusi kemerdekaan. Demikianlah situasi yang menyusul proklamasi yang gemilang itu, dan seperti yang dikatakan Bung Karno; Kita nyatakan ke seluruh dunia; ‘Kita Republik, kita merdeka! Gelap, gelap dunia di sekeliling kita, akan tetapi di dalam bathin kita terang benderang, menyala-nyala api kemerdekaan dan api kebangsaan.”
Selamat merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-65! Mari kobarkan kembali semangat revolusi anti-kolonial itu! (Rudi Hartono)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H