Mohon tunggu...
Rifqi Maulana
Rifqi Maulana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya suka berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Negara

29 September 2024   16:16 Diperbarui: 29 September 2024   16:26 0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pancasila merupakan dasar ideologi bangsa Indonesia yang telah teruji dalam perjalanan sejarah bangsa, sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era modern saat ini. Dirumuskan sebagai fondasi negara yang mampu mempersatukan keberagaman bangsa Indonesia, Pancasila mengandung lima sila yang mencerminkan cita-cita luhur para pendiri bangsa: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Meski demikian, dalam sejarah panjang Indonesia, Pancasila terus mengalami dinamika yang mempengaruhi peran dan relevansinya sebagai dasar negara, terutama dalam menghadapi tantangan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Dinamika Pancasila dalam Perjalanan Sejarah

Setelah diproklamirkannya kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Pancasila secara resmi ditetapkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa awal kemerdekaan, Pancasila memainkan peran vital dalam menyatukan berbagai kepentingan politik, agama, dan ideologi yang ada di Indonesia. Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan golongan, Pancasila diharapkan mampu menjadi payung bersama yang menaungi seluruh elemen bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, serta arah pembangunan bangsa.

Namun, sejak awal penerapannya, Pancasila dihadapkan pada berbagai dinamika dan tantangan. Pada era Orde Lama (1945-1966), Presiden Soekarno berupaya memperkuat persatuan bangsa dengan konsep Demokrasi Terpimpin, yang memadukan unsur nasionalisme, agama, dan komunisme dalam konsep NASAKOM (Nasionalis, Agamis, Komunis). Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk meredam konflik ideologis yang saat itu terjadi di Indonesia. Namun, dinamika politik yang terjadi, termasuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), menunjukkan bahwa Pancasila masih terus diuji oleh berbagai kekuatan ideologi lain yang berusaha menggantikan atau merubahnya sebagai dasar negara.

Pada masa Orde Baru (1966-1998), di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Pancasila mengalami perubahan dalam hal penerapan. Pemerintah Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, yang berarti bahwa setiap organisasi dan partai politik harus berlandaskan Pancasila. Pada satu sisi, kebijakan ini memperkuat posisi Pancasila sebagai ideologi negara, namun di sisi lain, penerapannya sering kali dilakukan secara represif dan digunakan sebagai alat politik untuk menekan oposisi. Pemerintah Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya, mengakibatkan munculnya kritik bahwa Pancasila tidak lagi dipahami secara substansial sebagai pedoman moral dan etika, tetapi lebih sebagai alat kontrol politik.

Tantangan Pancasila di Era Reformasi

Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 menandai dimulainya era Reformasi, di mana demokratisasi, kebebasan berekspresi, dan desentralisasi kekuasaan menjadi ciri utama. Pada era ini, posisi Pancasila kembali mengalami perubahan. Asas tunggal Pancasila dihapuskan, dan Indonesia membuka ruang lebih luas bagi kebebasan ideologis. Meski demikian, era Reformasi juga membawa tantangan baru bagi Pancasila, terutama dalam hal menjaga relevansinya di tengah perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang cepat.

Salah satu tantangan terbesar adalah radikalisme dan ekstremisme. Munculnya gerakan-gerakan yang berbasis ideologi keagamaan yang keras, seperti radikalisme agama, berupaya merongrong eksistensi Pancasila sebagai dasar negara. Gerakan-gerakan ini sering kali menawarkan alternatif ideologi berbasis agama, yang bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme dan inklusivitas yang dianut oleh Pancasila. Isu ini diperparah dengan pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi, di mana arus informasi yang tidak terkontrol membuat sebagian masyarakat, terutama generasi muda, mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem.

Selain itu, politik identitas menjadi tantangan serius bagi Pancasila, terutama dalam konteks pemilu dan kontestasi politik di era Reformasi. Politik identitas, yang mengeksploitasi perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (SARA) untuk kepentingan politik, semakin menguat dan sering kali memecah belah masyarakat. Fenomena ini bertentangan dengan nilai-nilai sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Munculnya kelompok-kelompok politik yang berbasis identitas tertentu, serta retorika politik yang memecah belah, telah menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam persatuan bangsa.

Tantangan lain yang dihadapi Pancasila di era Reformasi adalah ketimpangan ekonomi dan sosial. Meskipun ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan, kesenjangan antara yang kaya dan miskin masih sangat tinggi. Keadilan sosial yang diamanatkan dalam sila kelima Pancasila belum sepenuhnya tercapai, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Ketimpangan ini memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang dapat mengarah pada disintegrasi sosial dan melemahkan rasa persatuan bangsa.

Pancasila dalam Era Globalisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun