Saya memang belum menonton film Cinta Tapi Beda (CTB) karya Hanung. Namun, kalau dibaca sinopsinya di sini, di sana hanya dikatakan bahwa Diana adalah gadis dari kota Padang. Lalu di mana letak masalahnya? Sebagian orang di luar masyarakat Sumatera Barat atau di luar masyarakat dari suku Minangkabau hanya paham bahwa "padang" itu adalah nama suatu suku dan juga wilayah di propinsi Sumatera Barat. Kalau orang bertanya asal usul saya dan saya tahu ia bukan orang Minangkabau, maka akan saya jawab secara singkat bahwa saya orang Padang. Saya hanya akan menjawab saya orang Minangkabau kalau saya ingin berlama-lama berbicara dengan orang itu. Misalnya karena ia ingin mengetahui lebih jauh tentang suku itu. Kalau tidak, maka saya akan menjawab bahwa saya orang Padang. Saya tidak sendirian. Coba periksa buku HAMKA: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (atau karya beliau yang lain), ia mendeskripsikan si tokoh Zainudin sebagai orang Padang. Hanya setelah kita membaca lengkap baru kita tahu bahwa si tokoh adalah orang dari suku Minangkabau. Selain itu, lazim dikenal di luar Sumatera Barat masakan yang berasal dari sana disebut dengan masakan padang. Sehingga, dengan begitu kesalahan Hanung adalah tidak sensitif pada definisi "Padang" yang mewakili sebuah suku yang merantau ke kota Padang. Merantau? Ya, bagi suku Minangkabau, kota Padang adalah wilayah rantau atau lebih tepatnya disebut dengan wilayah pesisir seperti yang termuat di sini. Jika suku Minangkabau berprinsip bahwa adat bersendi kepada syara', syara' bersendi kepada Kitabullah (Alquran) atau suka disingkat ABS-SBK, maka kita perlu menentukan siapa yang dimaksud dengan suku Minangkabau itu: apakah hanya didefinisikan sebagai hanya orang-orang disebut berasal dari darek (lihat definisi di tautan di atas) ATAU termasuk semua orang yang di zaman modern ini telah menjadi keluarga suku Minangkabau. Pengetahuan saya yang pendek, sedikit, dan tidak lengkap mendefinisikan orang Minangkabau dengan cara melihat apakah di wilayah itu ada rumah gadang yang menandakan sebuah kaum atau tidak. Di luar itu, bukan orang Minangkabau. Kalau definisi sempit saya ini dipakai maka kota Padang bukanlah wilayah suku Minangkabau, atau bukan wilayah di mana adat Minangkabau berlaku. Namun, di dalam masyarakat modern sekarang ini, seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat dan ditambah dengan wilayah-wilayah lain yang disebutkan di atas juga dianggap suku Minangkabau. Jadi, jika definisi sempit di atas saja yang dipakai, maka prinsip ABS-SBK hanya terbatas pada wilayah yang sempit, tidak termasuk kota Padang. Dalam konteks ini Hanung tidak terlalu keliru. Padang sekarang bukanlah sebuah bandar kecil, namun sebuah kota besar, beragam. Sedangkan kalau definisi modern dan aktual yang dipakai, yang mana suku Minangkabau sudah meliputi semua orang yang berdiam di Sumatera Barat dan harus muslim, maka Hanung jelas keliru. Orang-orang Padang, berasal dari darek atau bukan berarti adalah orang Minangkabau dan dengan demikian mesti muslim. Namun, mari pula kita lihat dari sisi historis keislaman orang Minangkabau. Sejak kapan orang Minangkabau menjadi muslim dan kemudian mendeklarasikan dan bertekad menjadi sebuah suku beragama muslim? Tebakan kasar saya tidak jauh dari keislaman Nusantara dan mencapai puncaknya pada masa perang Paderi. Namun, jauh sebelum itu adat Minang tentu telah tumbuh dan  berterima di tengah masyarakat. Sebagian darinya dihapus karena tidak bersesuaian dengan agama Islam dan hanya budaya yang bisa bersesuaian dengan Islam yang dibawa hingga sekarang. Nah, salah satu yang dibawa sampai sekarang itu adalah sunting yang digunakan sebagai mahkota anak daro. Sunting itu kabarnya dipakai oleh Diana di dalam tokoh di dalam film itu. Dan karena dipakai oleh orang non-muslim, maka masyarakat Minangkabau menjadi ribut. Pertanyaan saya, apakah orang Minangkabau semua pernah ribut dengan pakaian anak daronya yang ini? Kalau Diana itu fiktif, ini real. Tebak sendiri apa yang seharusnya telah diributkan itu. Sumber Sebagai kritik kepada diri sendiri, saya ingin pula bertanya apakah memang adat orang Minangkabau telah lepas dari tahayul, kemusyrikan, dan sepenuhnya islami? Mari kita lihat kasus sunting itu. Tengoklah di belakang pelaminan orang Minangkabau saat ini. Kalau ada yang mau bersusahpayah sedikit, di balik pelaminan itu anda setidaknya akan menemukan sepiring beras. Untuk apa? Apa dalil naqli dari sepiring beras di belakang pelaminan itu? Ketika sebuah rumah dipasangi kuda-kuda (batagak kudo-kudo) kita bisa melihat ada kelapa dan bendera merah-putih. Apa dalil naqli adat ini? Islamikah itu? Riba dan judi saat ini berkecamuk di Sumatera Barat. Pengikutnya alim ulama segala. Bagaduru!. Di mana adat yang islami itu? Lalu ke sendi kehidupan manakah ABS-SBK itu dijalankan? Jadi, ketika saat ini kita, orang Minangkabau protes kepada Hanung, marilah kita berdiri di depan cermin. Minangkabau-muslim seperti apakah kita? Benarkah orang Minangkabau ketika berikrar hanya akan menjadikan Alquran sebagai sendi kehidupan adatnya, telah benar-benar membasuh adat itu sehingga hanya yang islami yang dibawa? Wallauhu'alam. Jadi, apakah Hanung keliru dalam menafsirkan budaya? Saya kira ia hanya kurang berhati-hati. Kita, orang Minangkabau, justru mesti bersyukur telah "dicubit" oleh urang sumando ini. Nusantara, 5 Januari 2012 Didedikasikan buat ibunda kami yang hari ini berulangtahun ke-68.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H