Ada satu tempat yang sangat ingin saya datangi setiap pulang kampung, yaitu sebuah kolam pemandian alam yang dikenal dengan nama Selokambang. Jika tidak mampir kesana, rasanya ada yang kurang. Ya, meski di kota kelahiran saya saat ini banyak dibuka pemandian baru yang lebih modern, tempat-tempat itu tak mampu mengalihkan pesona Selokambang dari daftar kunjungan saya.
[caption id="attachment_185774" align="aligncenter" width="480" caption="kolam utama"][/caption] Saya lahir dan besar di Lumajang, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang mungkin tidak terbaca dalam peta. Empat tahun lalu saya menetap di Samarinda, Kalimantan Timur. Sebagai seorang perantau, saya selalu merindukan banyak hal ketika pulang kampung, salah satunya berendam sepuasnya di Selokambang.
Nama Selokambang terbentuk dari dua kata, yaitu selo yang berarti batu dan kambang atau kumambang yang berarti apung. Konon pemandian ini terbentuk dari peristiwa ajaib yang terjadi pada jaman Majapahit. Alkisah, Mpu Teposono yang sakti berniat membantu seorang abdi Demang Ploso untuk menyelamatkan harta benda Sang Demang yang berhasil melarikan diri saat peperangan. Abdi itu hendak menyembunyikan harta sang majikan di bawah sebongkah batu besar. Karena sangat berat, dengan kesaktiannya Mpu Teposono melempar batu itu ke tengah danau. Anehnya, batu itu tidak tenggelam, tetapi mengapung. Sejak saat itulah tempat itu dinamakan Selokambang.
Pemandian alam Selokambang terletak di Desa Purwosono, 7 km dari pusat kota. Ada banyak pilihan kendaraan untuk menuju kesana, seperti kendaraan pribadi, angkot, ojek, atau kereta sewaan yang bisa mengangkut puluhan orang.
Hari itu berkendara motor saya ke Selokambang. Hampir setahun saya tidak berkunjung. Jalanan yang mulus membuat saya berani agak ngebut.
Setelah gerbang ‘Selamat Datang’, jalanan menuju pemandian melandai. Pemandangan eksotis Selokambang mulai terlihat dari sini. Kanan kiri jalan dipenuhi sawah yang di tepiannya mengalir sungai berair bersih. Tak jarang penduduk setempat menggunakannya untuk memandikan ternak mereka.
Aura kesejukan mulai terasa ketika dari jalan landai itu juga mata saya menangkap danau kecil di samping kolam Selokambang. Danau ini seperti telaga. Berair tenang. Di tengahnya tumbuh beberapa pohon yang menaungi permukaan danaudari sengatan matahari. Tampak pula beberapa sepeda air aneka bentuk yang diparkir di tepian danau. Ada bentuk bebek, katak, dan naga. Biasanya sepeda air itu beroperasi saat libur hari-hari besar. Dengan merogoh lima ribu rupiah, pengunjung bisa berkeliling danau dengan sepeda air itu. Saya pernah bertanya kepada petugasnya, kenapa hari-hari biasa tidak dijalankan? “Rugi mbak, kalau pengunjungnya cuma sedikit,” kilah petugas tersebut.
[caption id="attachment_185777" align="aligncenter" width="560" caption="Sepeda air saat dioperasikan"]
Saya segera memarkir motor di tempat parkir yang diteduhi banyak pohon besar. Kemudian membeli tiket masuk seharga tiga ribu rupiah saja. Tiket ini nominalnya berubah menjadi lima ribu rupiah jika hari libur.
Selokambang adalah pemandian alam biasa. Tidak ada waterboom atau aneka fasilitas meriah ala waterpark di kota-kota besar. Hanya ada dua papan luncur di kolam dewasa, dan satu di kolam anak. Tempat bilasnya pun sederhana, masih ada tempat bilas yang dilengkapi bak air dan wc. Beda dengan kolam modern, yang kebanyakan memakai shower untuk berbilas. Dasar kolam utama juga tidak berkeramik. Ketika kita menyelam, akan terlihat batu-batu kecil yang memenuhi dasar kolam. Waktu saya kecil, kolam anak juga seperti itu. Tetapi sekarang sudah dirombak total.
Namanya pemandian alam, tentu saja airnya alami. Ya, air kolam Selokambang bukan dari PDAM, melainkan dari mata air yang memancar di bawah pohon beringin yang terdapat di kawasan itu. Airnya dibiarkan mengalir sepanjang waktu,jernih tanpa kaporit. Terbayang kan segarnya?
[caption id="attachment_185788" align="aligncenter" width="560" caption="Bukit kecil di atas kolam utama"]
Hari itu tak sampai satu jam saya di kolam. Bukannya apa, berendam di Selokambang rasanya seperti berendam di air es, lama-lama bisa beku, ha ha ha.
Untuk menghalau dingin, saya membeli sepiring tahu petis panas lengkap dengan sejumput garam, cabe rawit, dan sambal petisnya. Makanan ringan yang dijual lima ratus rupiah per biji ini terasa sangat nikmat saat disantap di pinggir kolam. Atau dengan cara separuh badan terendam di kolam. Nyam nyam nyam, rasa pedas panas tahu petis membuat saya berani nyebur lagi ke kolam! Momen seperti inilah yang tidak bisa dijumpai di pemandian lain. Kalau di pemandian lain, mana boleh makan-makan di pinggir kolam? Boro-boro boleh, ketahuan mau bawa makanan ke dalam saja langsung distop sama petugas.
Meski warung apung yang menjual berbagai makanan berjejer di tepi kolam, saya tetap memilih tahu petis sebagai pengganjal perut. Entahlah, tahu dan petisnya seperti bercita rasa khas, beda dengan yang dijual di tempat lain. Terselip sensasi yang ngangenin di setiap gigitannya. Ya, tahu petis ini sudah terlanjur lekat dengan Selokambang. Keduanya merupakan perpaduan yang tak terpisahkan. Saya berpendapat, tidak afdol berkunjung ke Selokambang tanpa makan tahu petis.
[caption id="attachment_185784" align="aligncenter" width="640" caption="Jembatan kecil di atas sungai yang mengalirkan air kotor dari kolam ke luar area Selokambang"]
[caption id="attachment_185780" align="aligncenter" width="560" caption="Bangkai pesawat"]
Selokambang merupakan ikon kota Lumajang selain pisang agung. Kalau berkunjung ke Lumajang, jangan lupa mampir ke pemandian Selokambang ya…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H