Mohon tunggu...
rezza widia utami
rezza widia utami Mohon Tunggu... Guru - informasi sangat penting!

jalani takdir, syukuri apa yang sudah ditakdirkan:)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peluang Pandemi, Matinya Empati, Pencuri Negeri (Analisis Kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Perspektif Sosiologi Korupsi)

29 Oktober 2021   15:27 Diperbarui: 29 Oktober 2021   19:18 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Komisi pemberantasan korupsi mengamankan enam orang di beberapa tempat di bandung dan Jakarta dalam kegiatan tangkap tangan pada sabtu, 5 Desember 2020. Kegiatan tangkap tangan ini dilakukan terkait dengan perkara dugaan suap dalam pengadaan bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 (terbitan Siaran Pers KPK, 5/12/2020). Program pengadaan bantuan sosial oleh pemerintah untuk penanganan Covid-19 ini berupa paket sembako senilai sekitar Rp 5,9 Triliun oleh Kementrian sosial tahun 2020 dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 priode. Saat itu mantan menteri sosial Juliari Peter Batubara (JPB) menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen dalam pelaksaan proyek pengadaan paket sembako untuk bantuan sosial penanganan Covid-19 tersebut dengan cara menunjuk langsung para rekanan kepada kemensos melalui MJS dan adanya dugaan kesepakatan ditetapkannya adanya fee dari setiap paket bantuan sosial. Fee yang disepakati untuk setiap paket sebesar Rp 10.000 dari nilai Rp. 300.000/paket bansos yang akan diterima masyarakat. MJS dan AW membuat  kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang diantaranya Ardan I M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) dan juga PT RPI yang diduga PT tersebut milik MJS. fee ini kemudian harus disetorkam para rekanan kepada kementrian sosial melalui MJS. 

Pada periode pertama dalam implementasi paket Bansos diduga diterima fee sebesar Rp. 12 Miliar, pembagian fee oleh tersangka MJS diberikan secara tunai kepada tersangka JPB melalui tersangka AW. Diduga total suap yang diterima oleh mantan menteri sosial sebesar Rp. 8,2 Miliar. Selanjutnya uang tersebut dikelola oleh orang kepercayaan JPB yaitu Eko dan Shelvy guna membayar keperluan pribadi tersangka JPB. Dan pada periode  kedua implementasi paket Bansos sembako terkumpul uang  fee dari Oktober hingga Desember 2020 sebesar Rp. 8,8 Miliar. Jadi total uang yang diterima tersangka JPB sebagai mantan menteri sosial sejumlah Rp. 17 Miliar. Dugaan seluruh fee yang diterima tersangka JPB digunakan untuk keperluan pribadi. (terbitan Kompas, 23/08/2021).      

          Atas perbuatan mantan menteri sosial tersangka JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindakan pidana korupsi yang telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dan Tersangka MJS dan AW sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a/pasal 11 tahun dan Pasal 12 huruf (i) UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Serta Tersangka AIM dan HS sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (i) huruf a/ Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No 31 Tahun 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tersangka mantan menteri sosial,  JPB divonis 12 tahun penjara dan Denda Rp. 500 Juta oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta, pada Senin (23/8/2021). JPB terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diubah dalam UU No 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sejumlah Rp. 14,59 Miliar. Jika tidak dibayar dapat diganti pidana penjara selama 2 tahun. Hak politik/ hak dipilih tersangka dicabut oleh hakim selama empat tahun (terbitan Kompas 23/08/2021). 

Tersangka mantan pejabat pembuat komitmen (PPK), tersangka MJS divonis pidana 8 tahun penjara denda Rp. 400 Juta subsidi 6 bulan kurungan pada Jum'at, (13/8/2021). Selaim itu, hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti paling lambat setelah satu bulan keputusan pengadilan berkekuatan tetap sebesar Rp. 1.56 miliar. Jika tidak dibayar harta benda akan disita dan dilelang, jika tidak mencukupi maka dipidanakan selama 1 tahun penjara. (terbitan Liputan6, 13/08/2021).

Sedangkan Tersangka mantan kuasa pengguna anggaran Kementerian Sosial (KPA Kemensos), AW divonis 7 tahun penjara dan Denda Rp. 350 Juta subsider 6 bulan kurungan pada Rabu, 1/9/2021). Hakim mengabulkan permohonan Justice Collaboratore (JC) tersangka AW karena terdakwah konsisten mengakui perbuatannya dan sudah mengembalikkan uang sejumlahRp. 200 Juta, Sehingga majelis hakim menyetujui memberikan Justice Collaboratore kepada tersangka AW.

Pandemi covid-19 merupakan musibah terbesar yang sedang dihadapi oleh seluruh negeri, namun miris terjadi pencuri korupsi tumbuh subur saat krisis ekonomi pandemi. Upaya bantuan sosialpun turut menyayat hati, pasalnya pencuri merusak fondasi masyarakat karena matinya empati. Naluri pencuri disaat situasi pandemi, mencari celah saat darurat bantuan ekonomi. Disisi pemerintah mengeluarkan dana guna mengembalikan stuasi ekonomi, tujuan memberi dukungan bagi rakyat yang menjerit ditengah kesulitan pandemi, namun di sisi lain rakyat di cederai oleh para pencuri yang mati akan empati. Sangat miris terjadi, penyalahgunaan jabatan mempermudah pencuri menyuap sumber daya dari rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi. hasrat merusak empati diri demi memperkaya diri sendiri.

Lantas, hukuman macam apa yang pantas diterima pencuri yang mati empati karena kerakusan diri sendiri? Pasal apakah yang pantas menjerat pencuri Negari ditengah kondisi situasi krisis pandemi? Rasanya tak ada hukuman yang pantas bagi pencuri Negari yang mati empati selain hukuman mati yang mematikan diri. Namun apakah saat ini hukum Indonesia memberlakukan  hukuman mati bagi pencuri negeri ? sayangnya, berlakunya Hak asasi manusia ditengah kasus korupsi, menjadikan pertimbangan tersendiri yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjatuhkan hukuman bagi pencuri negeri. Seandainya hukuman mati berlaku bagi pencuri negeri, maka tidak akan ada yang berani mencuri uang indonesiaku ini. Sangat pantas bagi pencuri bantuan sosial yang telah mencuri hak-hak masyarakat dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Namun tetap seberat-beratnya vonisan hukum pencuri negeri, lebih berat nasib rakyat di negeri ini, ditambah kondisi pandemi yang tak henti-henti, menjadi rakyat semakin bersedih hati. Dalam kasus korupsi, pemerintah melakukan pemulihan bagi pelaku pencuri negeri, namun pemerintah lupa bagaimana cara untuk memulihkan hak-hak rakyat. Pemerintah selayaknya memberikan kebijakan yang membantu penderitaan rakyat sehingga hak-hak rakyat yang hilang karena pencuri negeri lantas digantikan, karena masyarakat Indonesia sebagai korban korupsi yang paling menderita dari kesedihan negeri akibat korupsi di tengah pandemi.

Analisis perspektif sosiologi terkait kasus korupsi Dana Bantuan Sosial yang menjerat mantan Menteri Sosial. Tindakan korupsi dalam kasus Dana Bansos dilakukan oleh pejabat dan elit politik yang dilakukan oleh sekelompok orang. Menurut George Junus A mengatakan bahwa korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri. Dengan adanya modal, perilaku untuk berbuat korupsi semakin besar karena memiliki jaringan. Jaringan kepercayaan yang ada ditambah adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan pihak yang yang terlibat dalam tindakan korupsi. Sejalan dengan Menurut pierre bourdie menjelaskan konsep (Habitus x Modal) + Ranah = Paktik. Adanya perilaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan dilihat dari banyak kasus korupsi oleh para pejabat ialah bentuk perilaku menyimpang, dan melawan nilai dan norma dalam masyarakat. Perilaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan atau Habitus yang mendarah daging, sehingga tidak bisa di hilangkan, karena sistem jaringan yang sudah terbentuk dan saling melindungi antar jaringan. pada kasus korupsi dana bantuan sosial ini, adanya habitus yang terbentuk, sesuai dengan permainan yang sedang dilakukan oleh sekelompok orang. Didukung dengan modal, modal ini ialah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan dilihat dari adanya hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan didalamnya menjadikan sebuh modal (sosial,ekonomi, budaya dan simbolik) bagi seorang korupsi. Ditambah Adanya ranah sebagai sebuah jaringan atau konfigurasi, hubungan-hubungan akjektif antarberbagai posisi didalamnya terlihat dari jaringan menteri sosial dan anak buahnya, Sehingga menghasilkan praktik tindakan korupsi.

Daftar Pustaka: 

https://www.liputan6.com/news/read/4631369/jaksa-tuntut-matheus-joko-santoso-8-tahun-penjara-terkait-korupsi-bansos (diakses 13/10/2021 pada pukul 20:30 WIB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun