"Sebelum mengumpulkan ujian, jangan lupa dikoreksi lagi!" adalah perintah guru yang sering diucapkan kepada saya dan kita (sepertinya). Tetapi perintah itu seakan-akan tidak penting. Sebab yang lebih penting adalah jawaban dari soal ujian. Bukankah begitu? Terlebih lagi jika jawaban yang kita tulis sudah pasti benar, seperti 1+1 sudah pasti 2, mengoreksi hanya akan membuang-buang waktu, tidak efisien.Â
Dan fakta yang kita alami adalah kita pernah mengabaikan perintah sesederhana itu. Lalu apa yang terjadi? Kadang kita tidak perlu mengoreksi ujian itu karena sudah giat belajar sebelum dilaksanakan ujian tersebut atau pasrah saja karena yang kita kerjakan hanya memindahkan soal ujian pada lembar yang jawaban. Tetapi apakah perintah guru kita hanya sesederhana itu? Rasanya tidak. Dan itu akan kita rasakan ketika selesai ujian. Menyesal.
Bukan karena jawaban yang tidak benar, tetapi soal identitas. Ketika waktu pembagian hasil ujian, semua siswa menahan nafas, tiap nama beserta nilai ujian diumumkan, sungguh malu bila nilai rendah bersanding dengan nama kita. Tetapi begitu juga sebaliknya, akan disanjung layaknya para malaikat.
Semua siswa telah menerima hasil ujian, kecuali kita. Dan tidak ada lagi nama yang diumumkan. Kemudian sebuah pengumuman dari guru menggemakan ruangan "ada satu hasil ujian yang tidak tertulis identitas!"
Itu adalah kita. Seharusnya terlebih dahulu menulis kolom identitas yang terletak di atas soal pertama. Celaka, guru bisa marah besar, sekurang-kurangnya kita akan mendapatkan "sentilan" kecil pada salah satu telinga, atau mungkin keduanya.Â
Bodoh sekali, sebuah kesalahan fatal. Seketika perenungan terjadi. Kita terlalu mengandalkan efisiensi yang sejajar dengan pikiran (logika). Nafsu mencari kebenaran, tapi malas akan sebuah pengakuan.
Perintah "jangan lupa koreksi lagi!" ternyata bukan hanya sebatas soal-jawaban saja, ada hal yang lebih penting. Seperti sebuah pesan filosofis. Seorang guru bisa saja membentuk kecerdasan, tetapi tidak dengan pribadi murni, sebab kita bukanlah sebuah mesin fotokopi yang selalu menghasilkan sesuatu tersurat.
Cara pemahaman kita harus berbeda dengan seorang anak kecil, gunakan luasnya perspektif, mulai membaca dengan kemampuan tersirat, maknai suara yang tidak terdengar, bagaimana?
Ketika perintah guru itu kita dengarkan dengan cara yang biasa, maka kata "koreksi" hanya terpaku pada apa yang telah kita kerjakan. Padahal mengoreksi sesuatu bukan sebatas kerjaan saja.
Ada hal yang sering dilupakan, yaitu kenyataan. Kenyataan tentang siapa kita sebenarnya. Mengapa begitu ingin terlihat memenangkan segala hal, mencari metode pembenaran atas nama moral, sampai begitu berani menjadi sebuah "kebenaran". Sungguh ironi. Memalukan. Terhina.
Kita kehilangan jiwa yang telah diberikan bagaikan istana yang begitu luas dan megah tetapi hanya debu dan tikus yang berkembang. Bukan soal seberapa banyak buku yang telah dibaca, atau seberapa sering menajamkan cara berlogika.