Kesendirian dan kesepian merupakan dua momok yang menakutkan bagi segelintir manusia, terutama bagi masyarakat yang terkenal dengan bangsa paling ramah sedunia. Kenyataannya di negeri ini, masyarakat yang tinggal di kota seakan mencari ketenangan itu.
Mencari ketenangan dapat diperoleh dengan berbagai upaya, salah satunya dengan secara sadar memisahkan diri sebentar dari kerumunan orang. Upaya sadar tersebut dapat dilakukan dengan berjalan-jalan sendirian, tanpa adanya interaksi lebih lanjut. Transportasi umum jadi pilihan, karena kita tidak perlu berletih lebih untuk mencapai suatu tempat.
Transjakarta merupakan salah satu dari banyaknya pilihan transportasi di kota Jakarta, sebuah kota dengan berbagai julukan baik-buruknya. Berbagai skema perjalanan memudahkan masyarakat untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, didukung dengan kenyamanan yang dihadirkan di dalamnya. Meski terkadang ramai berdesakan, jika pintar memilih waktu Transjakarta dapat disulap jadi tempat introspeksi diri sebab kesenyapannya.
Inilah sedikit kisah perjalanan seseorang yang memutuskan merayakan kesendirian dengan moda transportasi umum. Sebuah keanehan sebenarnya yang mana dewasa ini orang mengganggap jika ingin bertamasya perlu uang dengan jumlah yang besar. Tapi justru ternyata terdapat opsi alternatif merefleksikan kehidupan, dan menghargai diri sendiri, inilah ceritanya.
Perjalanan dimulai pukul 08.30 dari Halte Ragunan, alasan memilih waktu tersebut karena waktu yang tepat dimana matahri sedang ramah terhadap kulit, dan para pejuang nafkah sudah sampai di panggung perjuangannya masing-masing. Terbukti saat di bis yang saya tumpangi hanya terdapat 7 penumpang saja.
Bis melaju ke arah Monumen Nasional, apda saat seperti ini duduk di dekat jendela adalah kewajiban. Memandang segala hal yang ada dari atas mempresentasikan seolah-olah kehidupan akan terus berlanjut dengan caranya. Seperti pemandangan orang berjualan sepatu bekas.
Pasti terdapat alasan penjual tersebut memilih menjual produk sepatu bekas dibandingkan produk lainnya. Pada saat pemandangan seperti itu juga terlihat seorang calon konsumen melihat jualannya. Kedua kegiatan tersebut tidak ada yang merencanakan, tapi keduanya mampu menciptakan interaksi yang harmonis. Akhirnya kedua individu tersebut berbincang, dan barangkali mencapai kesepakatan. Memang kehidupan akan terus berjalan, dan tidak ada yang mampu merencanakan secara sempurna.
Bis telah sampai di setengah perjalanan, pada saat di halte daerah Kuningan, seketika terdapat seorang wanita parubaya bertanya mengenai alur transit. Apakah artinya wanita parubaya tersebut membuat agenda perayaan kesendirian itu gagal? Jawabannya tentu sebaliknya, saya justru jadi lebih sadar bahwa interaksi sosial tidak dapat dihindari, dan memberikan dorongan kebahagiaan yang tidak mampu dideskripsikan.
Hingga ucapan terima kasih wanita tersebut terucap, timbul perasaan bahagia karena telah berhasil membantu seseorang yang tidak pernah kita temukan. Benar ternyata kalau terdapat ungkapan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dimanapun. Bahkan saat kesendirian, akan muncul peluang kebahagiaan tersebut. Terima kasih, bu.
Perjalanan berlanjut ketika bis sampai di Bundaran HI, sebuah simbol kemegahan ibukota. Para gedung saling merangkul menghadirkan lukisan megah khas kota metropolitan. Aduhai, pemandangan seperti ini juga bisa dinikmati, betapa indahnya manusia dapat menciptakan puluhan gedung dengan kecerdasannya. Perkembangan modernisasi dan globalisasi terlepas dari negatifnya, kedua hal tersebut tidak dapat dihindarkan.
Bayangkan 100 tahun yang lalu ketika kuda masih menjadi andalan masyarakat Batavia, kini masyarakat Jakarta telah mampu mencengkram langit dari ruangan berkaca. Perubahan terus berlanjut suka tidak suka, manusia yang menolak perubahan, kelak akan tergusur oleh perubahan itu sendiri. Tentu saja perubahan tidak bearti membangun sebuah gedung besar, cukuplah merubah diri sendiri menjadi lebih baik.