Indonesia adalah negara berkembang dengan penduduk mendekati seperempat milyar, tentunya angka yang tidak sedikit lagi. Hal ini sangat mempengaruhi keterlambatan pembangunan yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, angka ketergantungan yang tinggi yang tidak diimbangi dengan SDM yang mumpuni. Begitu juga pendidikan formal yang masih dalam tahap perkembangan atau inovasi. Bercermin dengan berlakunya kurikulum 2013 yang baru.
Cultural Shock atau Demonstrative Effect adalah kejadian dimana manusia kaget dengan datangnya budaya baru ketika kita belum terlalu siap untuk menerimanya, hal ini tidak bisa dianggap remeh karena dapat memicu depresi atau shock yang berlebih. Dampak ini bisa digambarkan dari fenomena ‘anak alay’ atau (maaf) yang kadang disebut ‘anak norak’ mulai banyak diperbincangkan di sosial media yang tidak dapat terelakkan lagi. Contoh perilaku dari anak alay adalah memakai baju tidak sesuai kondisi, terlalu belebihan, atau berlaku aneh dalam menyikapi zaman. Hal ini tentu diakibatkan oleh keinginan akan eksistensi diri dalam menyikapi era baru. Contohnya saja MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang membebaskan keluar masuknya barang yang sudah pasti akan mempengaruhi gaya hidup, terutama anak muda atau remaja.
Dewasa ini budaya alay sudah menjalar dikalangan anak sekolah maupun anak kuliahan, hal ini tentunya dapat merubah sikap maupun gaya hidup mereka. Untuk itu kita harus besikap sewajarnya saja dalam menyikapi zaman tidak perlu berlebih-lebihan. Budaya alay ini juga dapat merusak bahasa Indonesia EYD, mengapa begitu? karena biasanya mereka anak alay menggunakan bahasa yang aneh atau tidak wajar. Misalnya saja bahasa sms hurufkecil huruf gedhe, huruf I diganti pakai tanda ! (tanda seru) dan masih banyak lagi.Budaya alay ini sendiri juga sering memunculkan kosakata baru seperti kepo (rasa ingin tahu yang berlebih), woles yang berasal dari kata selow atau santai, bingits yang awal mula dari kata banget dan galau yang jauh dari makna aslinya.
Dikhawatirkan penggunaan bahasa alay dapat merubah tatanan bahasa yang aslinya. Hal itu semua dapat dicegah dengan kesadaran diri masing-masing. Menyukai atau membenci mereka adalah suatu pilihan. Sebenarnya tak perlu khawatir dengan bahasa anak alay, karena dalam dunia pembelajaran formal pelajaran bahasa Indonesia masih tetap diajarkan.
Tidak lengkap rasanya jika bicara budaya alay jika tidak menyinggung sosial media. Ya, sosial media juga berpengaruh besar dalam ‘penularan’ budaya alay. Di dalam sosial media, mereka (anak alay) memasang foto narsis. Berfoto narsis sendiri sudah menjadi kebiasaan para anak alay supaya dianggap eksis, apalagi dilengkapi dengan perangkat seperti tongsis (tongkat narsis) sebuah alat sebagai aksesoris berfoto ria. Budaya alay ini secara tidak langsung juga dapat memunculkan kesenjangan dalam pergaulan. Contohnya saja mereka yang bersikap bijaksana dalam menyikapi budaya alay itu sendiri dan mereka yang berlebihan dalam menyikapinya
Oleh karena itu, kita harus lebih siap bijak dan profesional dalam menyikapi budaya alay iniagar tidak terbentur Cultural Shock. Namun kita tidak bisa menyalahkannya begitu saja karena setiap hal itu ada sisi positif maupun negatifnya, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Begitu juga dengan anak alay. Dengan mengikuti trend semacam itu mereka ingin eksistensi mereka diakui oleh orang lain. Terlepas dari semua itu mereka secara percaya diri membuka diri untuk berkembang dengan gaya pergaulan mereka sendiri di dalam sebuah komunitas. Sehingga secara tidak langsung mereka tidak kuper atau ketinggalan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H