Mohon tunggu...
Andi REzky Restu Rakasi
Andi REzky Restu Rakasi Mohon Tunggu... -

Hidup ini penuh tantangan... untuk yang terjatuh maka wajib hukumnya untuk bangkit..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Banjarmasin dan Makassar Balik Jendela Bajaj

1 Desember 2010   11:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Suaranya yang mirip kaleng-kaleng rusak, diiringi getaran mesinnya yang ikut membuat seluruh tubuh juga ikut bergetar bak di setrum listrik. Asapnya yang hitam mengepul keluar bagai awan-awan gelap dengan ukuran mini. Bentuk alat transportasi dari India ini juga sangat unik. Di Thailand kendaraan ini disebut Tuk-Tuk, dianggap sebagai kendaraan wisata, ya diumpamakan seperti andong bila di Indonesia. Namun di Ibukotaku dianggap sebagai kendaraan marjinal.

Suara bising bajaj? Hahaha itu sedah dikenal sejak dahulu. Namun anehnyaAku dan Suci tetap nekat mengendarainya usai melakukan ANSOS (analisis Sosial) di daerah blok M. Meski ini bukanlah yang pertama kali untuk kami berdua, tapi inilah kali pertama dapat kumaknai secercah keindahan di balik jendela Bajaj.

Sambil berlari terbirit-birit akibat hujan yang tiba-tiba saja turun, kami berdua langsung naik ke Bajaj. Awalnya kami berdua bersenda gurau membahas petualangan berdua menanti anak sekolah yang lagi “bolos”. Kami tertawa karena harus berbicara sekeras mungkin akibat suara Bajaj yang makin syahdu ditambah derasnya hujan yang mengiringi. Belum lagi getaran mesinnya yang seolah ingin meluruhkan lemak-lemak yang ada di tubuh kami berdua (berhubung postur kami memang “agak bongsor” alias “bondeng” bagi istilah orang Makassar).

Saat itu hujan sedang mengguyur ibukota. Tirai bajaj yang berwarna hitam sedikit kubuka. Mata kami memandang ke luar, menerawang dari balik jendela Bajaj. Baru saja hujan mengguyur, tapi banjir sudah menyapa riuh di sepanjang perjalanan. Biasanya saat hujan turun setelah panas terik yang tercium adalah wangi tanah, wangi yang selalu membuatku rindu kampung halamanku. Tapi di Ibukota kami kali ini yang tercium adalah bau jalan yang berpadu dengan asap kendaraan. Unik. Itu gumamku dalam hati. Mereka yang terlahir hati ataupun jiwanya di sini pasti akan merindukan bau ini, sama seperti aku merindukan kampung halamanku.

Tak berapa lama macetpun melanda di jalan protocol. Supir Bajaj memulai aksinya. Kali ini kami berdua seperti berada di arena sirkus. Dengan sangat lihai si bapak menyalip kendaraan lain, dua gadis Makassar dan Banjarmasin ini mulai berpegang pada besi tempat duduk di pak supir. Sepertinya pertunjukan baru akan dimulai!!! Di tengah kemacetan itu si bapak melenggangkan bajajdi celah-selah kendaraan lainnya, layaknya motor yang dengan lincah menaklukkan kemacetan. Kami tertawa terbahak-bahak, namun tak berapa lama si Bapak langsung berbelok dengan posisi ban yang terangkat di sebelah kanan. Jadilah aku yang ada di sebelah kiri hampir menjadi tumbal. Pintu bajaj terbuka, bila saja aku tidak berpegangan maka bias dipastikan kala itu aku sudah tergeletak di jalan. Namun kami berdua tetap saja tertawa terkekeh-kekeh melihat nasib kami hari itu.

Insiden yang paling aku suka adalah melihat wajah Suci yang berteriak sangat kencang sambil berpegangan erat. Bola mata si pemilik mata sipit ini hampir saja terpental ke luar. Bagaimanatidak, Pak supir menyeberangkan Bajajnya tanpa perhitungan yang matang (menurut ratio kami, kali aja supir bajaj yang berpengalaman punya hitungan sendiri) hampir saja kami di ulek oleh mobil.

Perjalanan kamipun berlanjut. Jendela Bajaj kembali disingkap. Di balik jendela ini wajah Ibukota kami terlihat dengan sangat jelas. Keramaian, Mall yang bertebaran, gedung-gedung, sampah yang dapat disaksikan setiap beberapa meter saja. Jendela Bajaj yang tanpa kaca, memberikan sentuhan alami Ibukota kami. Udara, pemandangan langsung dengan view-view yang unik. Berbagai sisi bisa dilihat dengan sangat gamblang.

Meskipun alat transportasi ini selalu di keluhkan akibat polusi udara dan polusi suara yang ditimbulkannya. Bahkan sudah tidak ada SIM khusua untuk pengemudi Bajaj.akan tetapi bagiku di sanalah seonggok hati nurani tersisa. Sebuah perjuangan indah terukir sangat dalam untuk mereka yang mengemudikannya. Sebuah langkah untuk berjalan beriringan dengan kerasnya Ibukota kami. Tak ada yang ingin memilih untuk memilihnya, namun pilihan itu hanya ada satu. Bilakah mereka memiliki seorang anak, maka anak itu adalah calon pemuda. Bilakah sang ayah harus di gusur dari profesinya, maka hidup sang generasipun akan terancam. Mereka juga adalah bagian dari bangsa kami, mereka juga punya hak untuk memajukan bangsa kami bersama-sama.

Eqhy dan Suci, Makassar dan Banjarmasin. Dua gadis yang baru saja berkenalan, dua gadis yang bercengkrama dengan dialek berbeda di atas BMW (Bajaj Merah Warnanya) membuka ruang-ruang sinergi, berbagi ekspresi, berbagi kepolosan. Menatap Ibukota kami di Balik jendela Bajaj

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun