Jika kita mendengar tentang Filosofi Sinisme, kita semua pasti teringat dengan nama seorang filsuf  dari Yunani yang terkenal pada masanya yaitu Diogenes dari Sinope yang hidup sekitar abad 300 SM. Meskipun filosofi ini sebenarnya diperkenalkan terlebih dahulu oleh filsuf Yunani lainnya yaitu Antisthenes (445-365 SM ). Antisthenes merupakan salah satu guru dari Diogenes sendiri dan setelah Antisthenes wafat, Diogenes melanjutkan petualangannya sendiri sebagai filsuf nomaden. Dibandingkan dengan gurunya, Diogenes memiliki sifat yang agresif dan ekspresif dalam menyampaikan ajarannya dan terkadang menggugah emosional sembari membuat kegaduhan dalam cara berpikir masyarakat. Dia terkenal dengan kelakuannya yang dapat dibilang gila dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Yunani, seperti masturbasi di tempat umum, melempari orang-orang dengan kulit almond, dan meludahi seorang bangsawan dari Athena. Diogenes mengatakan itu semua adalah caranya untuk membongkar kemunafikan dan kepalsuan konvensi masyarakat yang sopan.Â
Apa itu Sinisme?
   Jika kita berkaca dari karakter dan cara pandang tentang kehidupan dari Diogenes sendiri, kita dapat menafsirkan bagaimana arti dari sinisme itu sendiri. Lillian Florence Hellman seorang penulis terkenal di Amerika mengungkapkan bahwa "Cynicism is an unpleasant way of saying the truth." Bahwa sinisme merupakan cara tidak menyenangkan untuk mengatakan sebuah kebenaran. Sinisme cenderung menolak empati ataupun sifat tenggang rasa dari seseorang, filosofi ini lebih mengutamakan menolak semua unsur  kebohongan dan menganjurkan kejujuran sepenuhnya setiap saat dan dalam keadaan apa pun, tak peduli sesakit hati apa orang-orang jika mendengar itu. Karena itu filsafat ini seringkali mengekspos kemunafikan dan ketidaklogisan dari semua aturan-aturan dan norma-norma sosial yang disetujui orang ramai ini sebagai kebenaran. Gorys Kerap mengungkapkan bahwa sinisme merupakan sindiran berbentuk sanksi dan mengandung ejekan terhadap ketulusan dan keikhlasan hati. Ciri lain dari filsafat sinisme yaitu kesederhaan. Filsafat ini memiliki semboyan "betapa banyak benda yang tidak kuperlukan".
   Filsafat ini mengajarkan kita untuk menolak kemewahan kekayaan dan kesenangan material untuk fokus pada kebajikan dan Kebahagiaan sejati yang datang dari hidup selaras dengan alam dan hanya bergantung pada kebutuhan paling mendasar. Diogenes memiliki pemikiran bahwa memangkas sebanyak-banyaknya keinginan justru bukan sebuah pukulan sosial, melainkan sebuah mukjizat karena dengan ini menurut diogenes seseorang akan mencapai ebahagiaan yang sejati. Hal ini dapat dilihat dari kisahnya dimana dirinya merupakan seseorang yang sangat amat sederhana dalam menjalani kehidupannya. dia tidak punya rumah dan hidup di dalam  sebuah tong, hanya memiliki satu pakaian yang juga digunakannya pakaian itu untuk alas tidurnya, dia juga mencari makan dengan mencabut buah tersebut langsung dari pohonnya dihutan, atau kadang dia mencuri di pasar. Suatu ketika dia pernah bertemu dengan seorang raja yang terkenal yaitu Alexander Agung dari Makedonia yang merupakan penguasa Yunani pada saat itu. Alexander yang agung pemimpin hampir seluruh dunia saat itu sudah lelah mencari-cari mengenai orang hebat orang jenius yang lebih hebat daripada gurunya sendiri Aristoteles dan akhirnya mereka bertemu dengan Diogenes. ketika bertemu Alexander menawarkan apapun yang bisa dia berikan kepada Diogenes harta, tahta, wanita ,atau apapun itu Diogenes. Alih-alih meminta semuanya dan kemewahan bahkan jabatan yang ditawarkan, Diogenes justru menjawab dengan "minggirlah, kau menghalangi Matahariku". Diogenes benar-benar mengamalkan esensi dari Sinisme itu sendiri.
Apakah Sinisme masih Relevan hingga sekarang?
   Jika kita memahami cara pandang dan impelementasi dari Diogenes sendiri menganai filosofi Sinisme, kita dapat melihat bahwa sinisme ini bersifat destruktif dan susah diterima oleh banyak orang yang selalu menginginkan kepuasan dan mencari kebahagiaan meskipun orang-orang harus rela selalu bersikap spektif dan tidak menjadi dirinya sendiri. Filosofi ini juga tidakk menunjukan simpati ataupun empati dari seseorang. Filosofi ini sangat menekankan kebenaran dan fakta dan sangat menolak kemunafikan dan sifat manusia yang sering berubah-ubah pendiriannya tergantung bagaimana cara mereka memandang suatu situasi, apakah itu bermanfaat bagi kesejahteraan dirinya atau tidak. Namun nyatanya, kita dapat menemukan bagaimana filosofi SInisme ini bekerja dalam kehidupan kita sehari-hari tanpa kita sadari. Contohnya adalah beberapa sifat buruk manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya yang terkadang menggunakan ungkapan yang sinis, sarkastik, dan agresif. Sederhananya kita dapat melihat contoh seseorang yang selalu  melontarkan komentar pedas pada siapapun, tidak percaya kepada orang lain, selalu mengejek apapun, siapapun, dan di manapun, mencomoh prestasi orang lain, meremehkan perubahan dunia atau mungkin mengatakan inovasi untuk membuat dunia menjadi lebih baik itu tidak akan tercapai dan lainnya.Â
  Atas beberapa alasan yang logis inilah, Sinisme seringkali dianggap buruk dan rentan menimbulkan konflik dalam masyarakat terlepas dari tujuan baik dari filosofi Sinisme itu sendiri. Di zaman sekarang ini, orang-orang umumnya lebih tertarik pada filosofi Nihilisme, Realisme, Positivisme, Absurdisme, dan Eksistensialisme. Bahkan di dasawarsa 2010-an dan 2020-an, orang-orang banyak terobsesi dengan filosofi Stoikisme yang dibawa oleh Zeno. Tapi tidak memungkinkan juga eksistensi dari filsafat Sinisme ini hilang sepenuhnya, dalam situasi interaksi negatif antar intividu kita dapat menemukan bagaimana pemikiran ini bekerja dan mempengaruhi kehidupan orang-orang yang selalu memiliki sisi yang bersifat toksik dan acuh tak acuh.
  Jika kita melihat kehidupan manusia sekarang yang penuh dengan paham Kapitalisme yang mengajarkan seseorang untuk memperkaya dirinya sendiri, meraup keuntungan dari hasil pekerjaan sebanyak-banyaknya dan mengeluarkan biaya pengeluaran seminimal mungkin untuk meningkatkan dan menjaga kekayaan. Manusia zaman sekarang didorong oleh produktivitas tanpa batas untuk memperbanyak materi yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidupnya pula, hingga orang tersebut dapat meraup materi sebanyak mungkin dengan mengeluarkan tenaga sedikit mungkin. Semuanya dapat menjadi uang dizaman sekarang dan setiap manusia akan berusaha untuk mendapatkan lembaran kertas yang dianggap bernilai itu. Kontra dengan apa yang dilakukan Diogenes saat dia pernah diberi perintah oleh dari Delphi untuk merusak mata uang. Namun ,Diogenes menafsirkan perkataan ini bukan secara harfiah. Dia tidak hanya merusak koin, tapi berpikir apakah mungkin yang dimaksud adalah merusak koin secara simbolis. Yakni dengan menghancurkan segala kepalsuan-kepalsuan materialisme dari masyarakat dan sosial, dengan itu dia memungut makanan di pasar, melakukan hal-hal kotor di depan umum, dan yang lainnya dengan maksud untuk mengekspos kemunafikan dan ketidaklogisan dari semua aturan-aturan dan norma-norma sosial yang disetujui orang ramai ini sebagai kebenaran. Filosofi ini mungkin susah diterapkan secara penuh di zaman sekarang karena dapat membuat kita harus rela menderita karena melawan sistem kehidupan sosial yang telah mengakar kuat ditengah masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI